Racun Impunitas dalam Pidato Hari HAM Presiden: Karpet Merah Negara untuk Para Pelanggar HAM

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pernyataan Presiden Joko Widodo dalam sambutan peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia di Istana Negara hari ini (10/12). Tanpa ragu, Presiden telah mempertontonkan impunitas atau kekebalan hukum pada para pelanggar HAM di Indonesia alih-alih memberikan upaya penyelesaian yang bermartabat terutama di mata hukum dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Dalam sambutan hari HAM yang dihadiri oleh Komnas HAM dan para menteri tersebut, Presiden menyatakan, “Pemerintah komitmen menegakkan menuntaskan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat.” 

Pernyataan tersebut bukan hanya berbahaya dan menyakiti keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi juga menunjukkan tidak adanya komitmen nyata pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

“Penyelesaian pelanggaran HAM berat itu sesuai mandat UU No 26/2000 harus menyeluruh melalui beberapa proses, seperti mekanisme yudisial, pengungkapan kebenaran dan pemulihan, tidak bisa dipilih salah satu atau di bypass,” tegas Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. 

Ia menambahkan bahwa pemerintah harus seterang-terangnya membuka keadilan melalui pengungkapan kebenaran dan keadilan, utamanya bagi para korban, keluarga korban dan penyintas, “bukan justru keadilan dan ruang aman bagi para pelaku pelanggaran HAM berat.”

Wakil Koordinator bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Rivanlee Anandar menambahkan bahwa dengan mengedepankan mekanisme yudisial paling tidak memberi gambaran akan keseriusan komitmen presiden dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat karena melihat ada bentuk pertanggungjawaban atas peristiwa yang terjadi dan melibatkan aktor Negara. 

“Kami khawatir dengan mendorong mekanisme non yudisial saja, ruang pengungkapan kebenaran itu tertutup karena ada celah untuk mensimplifikasi peristiwa yang terjadi baik kepada korban maupun keluarga korban sebagai kelompok yang terdampak langsung,” pungkas Rivan.

Komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di hari HAM adalah bentuk lip service yang lain dari presiden. Alih-alih mengumumkan penyidikan kasus pelanggaran HAM oleh Kejaksaan Agung di hari HAM, Presiden bisa langsung menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) soal pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc pada 12 kasus yang sudah lebih dulu disidik oleh Komnas HAM. 12 kasus tersebut adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998 di DKI Jakarta; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Wasior 2001-2001 dan Wamena 2003 di Papua-Papua Barat; Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997/1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung; Peristiwa 1965-1966 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa penembakan misterius 1982-1985 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Simpang KKA di Aceh; Peristiwa Jambo Keupok di Aceh; Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 di Jawa Barat/Jawa Timur; Peristiwa Rumoh Geudong 1989 di Aceh; dan Peristiwa Paniai 2014 di Papua.

Preseden Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc tersebut pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan Keppres No. 53 tahun 2001 tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 dan Tanjung Priok 1984. Kemudian Keppres pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc tersebut diubah oleh Presiden Megawati lewat Keppres No. 96 tahun 2001 yang memberikan rincian bahwa pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang dimaksud adalah pelanggaran HAM berat Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Soae pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984.

KontraS menilai, pernyataan Presiden Jokowi sesungguhnya adalah bagian dari ‘akrobat-akrobat’ pemerintah dalam upaya semu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sejumlah penyusunan regulasi seperti Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat Melalui Jalur Non Yudisial (Rperpres UKP-PPHB) yang prosesnya tidak transparan dan berpotensi melanggengkan impunitas juga semakin mempertegas bahwa Negara bekerja untuk memutihkan kejahatan para pelaku pelanggaran HAM berat. 

Di penghujung tahun memang muncul rencana penyidikan umum terhadap kasus HAM berat utamanya terhadap kasus yang berlangsung setelah UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM muncul, atau dalam hal ini untuk Peristiwa Paniai 2014. Langkah penyidikan umum terhadap Peristiwa Paniai tahun 2014 ini juga belum bisa dinyatakan sebuah prestasi, melainkan satu situasi yang harus terus dipantau dan dikritisi agar Tim Penyidik ini dapat bekerja secara profesional, transparan serta independen guna mempercepat pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban dalam kasus Paniai. Terlebih, Kejaksaan Agung juga pernah punya sejarah kelam dalam proses Pengadilan HAM terhadap 3 kasus HAM berat di awal era reformasi. Kejaksaan Agung juga harus melibatkan partisipasi korban dalam pencarian alat bukti guna memastikan proses diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Tak hanya itu, keluarga korban pelanggaran HAM berat dan masyarakat sipil juga masih menanti janji pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Orang Secara Paksa yang telah mengkrak selama 11 tahun.

 

Jakarta, 10 Desember 2021
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator 

 

Narahubung: 081285857871