Surat Terbuka Koalisi SSR kepada Panglima TNI

No                     : 01/SK-SSR/I/2022
Perihal             : Surat Keberata Berkaitan Dikeluarkannya Surat Telegram Panglima TNI nomor ST/1221/2021
Lamp                :-

 

Kepada Yang Terhormat
Jendral TNI Andika Perkasa
Di tempat

Dengan Hormat,

 

Melalui surati ini kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari KontraS, Imparsial, SETARA Institute, LBHM, LBH Jakarta, HRWG dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya yang beralamat di Kramat II/7, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Melalui surat ini bermaksud mengajukan keberatan terkait dikeluarkannya Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 perihal prosedur pemanggilan prajurit TNI oleh aparat penegak hukum.

Bahwa surat tersebut diketahui ditandatangani oleh Kepala Staf Umum (KASUM) TNI, Letnan Jenderal Eko Margiyono atas nama Panglima TNI pada 5 November 2021. Pada surat telegram tersebut pada intinya mengatur apabila terdapat prajurit TNI dilakukan pemanggilan dalam rangka penegakan hukum, maka harus melalui dan didampingi oleh perwira hukum atau perwira kesatuannya.

Kami menilai keputusan atau kebijakan hukum yang dikeluarkan institusi TNI tersebut tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Adapun alasan-alasan kami terkait penolakan Surat Telegram tersebut, ialah sebagai berikut:

  1. Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menegaskan bahwa asas persamaan dihadapan hukum atau asas equality before the law yang penting untuk dikedepankan dalam konteks baik penegakan hukum ataupun di dalam proses pemerintahan. Sejalan dengan Pasal tersebut, pada tingkatan UU juga sudah memberikan penegasan seperti Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 26 Kovenan Hak Sipil dan Politik.
    Namun kemudian, asas dan Pasal-Pasal tersebut dilanggar dengan diterbitkannya Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021. Oleh karena Surat Telegram tersebut memberikan praktik pengistimewaan atau privilege bagi prajurit TNI. Hal ini tentunya akan menyulitkan atau menghambat penegakan hukum. Selain itu, baik menurut KUHAP dan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang menjadi rujukan dalam Surat Telegram tersebut, sesungguhnya juga tidak mengatur terkait adanya prosedur pemanggilan yang harus melalui dan didampingi oleh perwira hukum atau perwira kesatuannya.
  1. Bahwa pemanggilan Prajurit yang harus meminta Izin Komandan merupakan bentuk ketidaksesuaian dan ketidakpatuhan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP diatur secara eksplisit bahwa Pemanggilan hanya ditujukan kepada pihak yang bersangkutan dengan Perkara Dugaan Tindak Pidana dan Bukan Atasan dari subyek hukum yang dipanggil, sehinga jika surat pemanggilan tersebut dikirimkan atau harus mendapatkan izin dari Komandan maka Pemanggilan tersebut menjadi cacat formil atau tidak sah. Hal Ini justru mencerminkan ketiadaan komitmen dalam upaya mengatasi/ mencegah terjadinya impunitas bagi prajurit TNI dan dapat menghalangi proses hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, serta manifestasi pelanggaran asas persamaan dimuka hukum (equality before the law);
  2. Bahwa berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB”. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Surat Telegram tersebut bertentangan dengan ketiga asas tersebut. Dalam konteks legalitas, rujukan peraturan yang menjadi dasar diterbitkannya Surat Telegram tersebut, tidak mengatur secara eksplisit berkaitan prosedur pemanggilan terhadap prajurit TNI oleh aparat penegak hukum.
    Mengenai asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, Surat Telegram justru memberikan ruang terjadinya praktik impunitas dan terlanggarnya proses fair trial. Di tengah mandegnya reformasi peradilan militer, institusi TNI justeru melanjutkan ketertutupan tersebut dengan memberikan sejumlah “hambatan”. Sebab, ST ini menambah mekanisme pemeriksaan/ pemanggilan terhadap seseorang, dalam hal ini prajurit TNI, untuk terlebih dahulu meminta izin dan melalui persetujuan dari komandan atau kepala satuan. Selain itu. Surat Telegram tersebut juga tidak sejalan dengan asas-asas pemerintahan umum yang baik, yang mana asas tersebut memberikan penegasan perlunya keputusan administrasi yang mengedepankan asas kemanfaatan, ketidakberpihakan hingga kepastian hukum.
  1. Bahwa kami berpendapat dengan diterbitkannya Surat Telegram tersebut menunjukan pengingkaran dari institusi TNI atas agenda reformasi peradilan militer. Diterbitkannya ST tersebut semakin menjauhkan kita dari harapan/agenda revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. ST ini justru semakin menguatkan bahwa penegakan hukum terhadap prajurit militer berada pada domain yang berbeda dengan sipil, serta masih menyisakan persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas dan transparansinya dalam setiap proses penegakan hukum. Padahal merujuk Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR VII/2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI, prajurit TNI harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum apabila terjadi pelanggaran hukum

Bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB”. Prajurit TNI merupakan pejabat pemerintah yang menjalankan tupoksi dalam pertahanan negara, sehingga Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga mengikat bagi dirinya, namun demikian dalam praktiknya Institusi TNI diduga tidak benar-benar menjalankan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang sudah kami jelaskan pada angka 1 sampai angka 3.

Berdasarkan uraian kami di atas, bahwa Institusi TNI diduga telah melanggar baik asas-asas hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demi menjalankan administrasi pemerintahan yang  sesuai dengan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka kami meminta kepada Jenderal TNI Andika Perkasa selaku Panglima Tentara Nasional Indonesia untuk taat dan patuh terhadap hukum dengan menarik secara segera Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 perihal prosedur pemanggilan prajurit TNI oleh aparat penegak hukum.

Demikian surat keberatan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

 

 

Jakarta, 10 Januari 2022
Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan 

Tembusan:

  1. Presiden Republik Indonesia