Surat Terbuka untuk Panglima TNI Perihal Desakan Pembatalan Untung Budiharto Menjadi Pangdam Jaya

Perihal: Surat Terbuka

Kepada Yang Terhormat,
Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa

Di

Markas Besar TNI
Jl. Cilangkap Raya, RT.1/RW.3, Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13870

Dengan hormat,

Bersama ini kami mendesak Panglima TNI untuk membatalkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/1/2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI yang menetapkan Mayjen Untung Budiharto (NRP 31538) sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya).

Panglima TNI yang dalam keterangannya ke sejumlah media menyatakan bahwa pengangkatan Mayjen Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya telah mempertimbangkan proses hukum dan putusan pengadilan justru menunjukkan masalah sesungguhnya. Panglima TNI menunjukkan diri seolah bukan merupakan suatu masalah mengangkat pelaku kejahatan seserius penculikan atau penghilangan paksa untuk menduduki jabatan strategis seperti Pangdam Jaya. Guidance Note of the UN Secretary-General terkait Pendekatan PBB untuk Keadilan Transisi menyatakan bahwa institusi publik yang membantu melanggengkan konflik atau aturan yang represif pada masa lalu harus ditransformasi menjadi institusi yang menopang perdamaian, melindungi HAM, dan menumbuhkan budaya menghormati aturan hukum. Adanya mekanisme vetting pada perekrutan pelayan publik, khususnya di sektor keamanan dan peradilan, sangat penting untuk memfasilitasi transformasi ini, dengan memecat dari jabatannya atau tidak merekrut pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM. Dengan demikian, adanya proses dan fakta hukum bahwa Mayjen Untung Budiharto merupakan pelaku penghilangan paksa  aktivis 1997 – 1998 semestinya dapat menjadi alasan untuk tidak mengangkat sosok yang punya rekam jejak melakukan kejahatan kemanusiaan menjadi prajurit apalagi petinggi militer di Indonesia.

Adapun yang menjadi dasar dan alasan surat terbuka sekaligus surat desakan ini adalah:

  1. Bahwa Mayjen Untung Budiharto merupakan anggota Tim Mawar, unit bentukan Kopassus yang menjadi pelaku penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998 berdasarkan Putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta No. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 dan Putusan Mahkamah Militer Agung 24 Oktober 2000. Dirinya bersama 10 terdakwa lain dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi pidana.
  2. Bahwa meski Putusan Mahkamah Militer Agung 24 Oktober 2000 tidak memberikan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer terhadap Mayjen Untung Budiharto, pelaku pidana penghilangan paksa merupakan pelaku kejahatan kemanusiaan yang semestinya tidak mendapatkan ruang dalam TNI yang dicita-citakan menjadi profesional. Pasal 2 huruf d UU TNI 34/2004 menyatakan bahwa jati diri “Tentara profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.” Dengan fakta persidangan bahwa Mayjen Untung Budiharto dan anggota lain Tim Mawar terbukti sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, diri mereka sudah tidak lagi memenuhi jati diri tentara profesional tersebut.
  3. Bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB”. Keputusan Panglima TNI mengangkat Mayjen Untung Budiharto setidaknya menunjukkan bahwa Panglima TNI tidak memperhatikan asas kepentingan umum dalam hal ini utamanya ialah korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
  4. Bahwa dengan pengangkatan Mayjen Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya tidak menunjukkan kepekaan Panglima TNI terhadap prinsip hak asasi manusia.
  5. Bahwa dengan pengangkatan Mayjen Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya telah melukai perasaan korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia utamanya penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998. Masih ada 13 orang korban penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998 yang sampai hari ini belum ditemukan.
  6. Bahwa penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998 merupakan pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Penting bagi TNI untuk bisa berperan dalam rangka penuntasan pelanggaran HAM berat guna membersihkan tubuh TNI dari para penjahat HAM di Indonesia sesuai dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
  7. Bahwa penghilangan paksa dengan pelaku anggota TNI masih terjadi dalam kurun waktu dua tahun belakangan. Setidaknya terjadi pada almarhum Luther Zanambani dan almarhum Alphius Zanambani pada 21 April 2020 yang juga terkait dengan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Intan Jaya, Papua. Panglima TNI harus menunjukkan komitmen serius TNI untuk mencegah penghilangan paksa, salah satunya dengan tidak membiarkan pelaku menjadi prajurit apalagi perwira tinggi di tubuh TNI hari

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Pembatalan Mayjen Untung Budiharto dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya akan membuktikan bahwa TNI hari ini menghormati prinsip hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud dalam UU TNI.

13 Januari 2022, Hormat Kami

Korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang turut mendesak:

  1. Paian Siahaan (Bapak dari Ucok Munandar Siahaan – Korban Penghilangan Paksa 1997/1998)
  2. Sumarsih (Orangtua Korban Tragedi Semanggi I – 13 November 1998)
  3. Anak dari Yadin Muhyidin – Korban Penghilangan Paksa 1997/1998
  4. Suciwati (Presidium JSKK dan Istri Almarhum Munir Said Thalib)
  5. Bedjo Untung (Penyintas Tragedi 1965-1966 – YPKP 65)
  6. Aminatun Najariyah (Korban Tragedi Tanjung Priok 1984)
  7. Siti Aminah (Korban Tragedi Tanjung Priok 1984)
  8. Dji Ning One (Keluarga Korban Tragedi Tanjung Priok 1984)

Individu yang turut mendesak:

  1. Muhamad Isnur
  2. Arief Budiman

Organisasi yang turut mendesak:

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (BEM STHI Jentera)
  3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  4. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  5. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)
  6. KontraS Sulawesi
  7. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)
  8. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah (SKPHAM-Sulawesi Tengah)
  9. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  10. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP65)
  11. Amnesty International Indonesia
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Aksi Kamisan
  14. Aksi Kamisan Bukittinggi
  15. Imparsial
  16. Human Rights Working Group (HRWG)
  17. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI)
  18. Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung)
  19. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  20. SETARA Institute
  21. Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
  22. Pers Suara Mahasiswa Universitas Indonesia
  23. Aksi Kamisan Bandung
  24. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)