33 Tahun Talangsari 1989: Gonta-Ganti Kebijakan yang Tetap Tidak Berpihak Pada Korban dan Keadilan

“Proses penyelesaian kasus talangsari sudah berlarut larut dan korban sudah terlalu lama menanti kepastian hukumnya. Pada peringatan ke 33 tahun PK2Tl berharap ada kepastian hukum dari Presiden Jokowi,” tambah Edi Arsadad, PK2TL.

Kebijakan dan pengaturan mengenai pemulihan korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia patut untuk selalu kita soroti. Sebab kerap terdapat indikasi dan bukti bahwa muatannya menyalahi prinsip keadilan, misal dengan tidak berpihak kepada korban sebagai pemangku utama kepentingan. Pemerintah di sejumlah kesempatan tertangkap tangan membuat peraturan dan kegiatan yang seolah ingin pelanggaran HAM berat selesai, namun tidak sesuai dengan standar penegakan HAM yang berlaku secara universal.

KontraS dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) dalam memperingati 33 tahun Peristiwa Talangsari yang terjadi pada 7 Februari 1989 bertemu dan memberikan masukan kepada sejumlah Kementerian dan lembaga Negara terkait penuntasan pelanggaran HAM berat Talangsari 1989. Terdapat perkembangan sejumlah kebijakan pemulihan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang menjadikan Talangsari sebagai area fokus dari penerapan pemulihan versi pemerintah kini di ambang masa purna tugas. Pilihan ini menjadi sangat masuk akal setelah serangkaian kontroversi hingga maladministrasi yang ditemukan Ombudsman RI. Dalam pelaksanaannya, tim ini tercatat sering tidak mengindahkan ketentuan peraturan serta suara publik utamanya para korban. Senasib dengan Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Melalui Mekanisme Non-Yudisial (UKP-PPHB) yang tidak jadi disahkan sebab intensi, proses dan muatannya begitu buruk sehingga ditolak oleh banyak pihak.

Dalam pertemuan Senin, 7 Februari 2022 yang dihadiri oleh Rudy Syamsir (Asisten Deputi Koordinasi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam) dan Mualimin Abdi (Direktur Jenderal HAM Kemenkumham) juga tercetus bahwa sudah ada proses serius penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Adanya Komisi pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia memang penting, tapi harus diawasi betul seperti apa tujuan, cara kerja dan prinsip dari Komisi pengungkapan kebenaran yang akan dibentuk tersebut. KontraS dan PK2TL berpendapat ada upaya yang sama buruknya dengan tidak dilibatkannya suara korban dan publik dalam penyusunannya. Padahal UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 88, 89, 96 jo. Perpres No. 87/2014 Pasal 171, 175 telah menyebutkan penyebarluasan RUU yang berasal dari Presiden wajib dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa (dalam hal ini Kemenkumham) pada setiap tahap dimulai sejak penyusunan RUU dengan tujuan untuk memberikan informasi dan memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan (dalam hal ini korban).

“Pemerintah harus berhenti menjadikan korban hanya sebagai obyek sosialisasi, dan mulai melibatkan korban sebagai apa adanya mereka, yakni pemangku kepentingan. Oleh karena itu sebagai partner pemerintah, korban harus diajak berdiskusi sejak awal penyusunan kebijakan yang berimplikasi pada korban dan kemudian dalam setiap tahapnya,” ujar Tioria Pretty, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS.

Audiensi juga dilaksanakan pada 8 Februari 2022 bersama Taufik Basari (Fraksi Partai Nasional Demokrat) dan Nasir Djamil (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) yang keduanya merupakan anggota Komisi III DPR RI Periode 2019 – 2024. Setelah mendengar aspirasi dan perkembangan situasi mengenai Peristiwa Talangsari, keduanya menyatakan komitmen untuk turut aktif mendorong penyelesaian permasalahan ini. 

“Memang masih ada pihak-pihak yang anggap upaya memproses pelaku pelanggaran HAM masa lalu seperti mengorek luka lama… Jika kita sebagai anggota DPR berusaha untuk membawa ranah hukum, jangan dianggap kita hanya ingin mengorek dan menyudutkan pihak-pihak yang saat ini masih ada dalam lingkaran kekuasaan. Tetapi karena korban sudah lebih dari 30 tahun menunggu keadilan,” jelas Nasir. Selain itu Taufik Basari juga menilai pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan pelanggaran HAM berat masa lalu sekarang menjadi areanya DPR tidak tepat berdasarkan Putusan MK No. 18/2007. “Maka dari itu, keputusan harus muncul dari pemerintah. Pemerintah harus membuat pernyataan untuk upaya hukum penyelesaian kasus HAM, bukan justru menunggu DPR seperti ucapan Prof. Mahfud MD,” ujar Taufik. Keduanya setidaknya berkomitmen akan adanya rencana tindak lanjut berupa pertemuan dengan Kemenko Polhukam serta adanya inisiasi mempertemukan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam rangka mencapai titik temu dari masalah bolak-balik berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Selain itu, sejumlah elemen masyarakat sipil juga turut menyampaikan pendapatnya dalam penanganan kasus Talangsari 1989 yang dinilai buruk saat ini, bukan hanya di pemerintah pusat tetapi juga di tingkat daerah. “Kabupaten Lampung Timur sudah mendeklarasikan diri sebagai kota ramah HAM dan ramah anak, padahal hingga kini masih ada stigma buruk ke masyarakat korban Talangsari Lampung. Mestinya pemerintah daerah yang sudah mengklaim sebagai kota ramah HAM bisa lebih memperhatikan korban pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Hendi Gusta Rianda, LBH Bandar Lampung.

Akademisi Universitas Lampung Dr. HS. Tisnanta, SH, MH mengungkapkan, “Perjuangan Talangsari bukan hanya untuk Talangsari. Tetapi 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah dinyatakan oleh Komnas HAM. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat sering jadi komoditas dagangan, termasuk Talangsari. Ketika Polhukam masuk kasus Talangsari cara menyelesaikannya seperti barang dagangan, korban mau dikasih ini itu lalu dianggap selesai. Padahal harusnya penyelesaian diutamakan lewat jalur hukum sehingga ada hukuman buat pelakunya.”

Berkaitan dengan reparasi mendesak bagi korban, dari total ratusan jumlah korban Talangsari, sayangnya hanya sekitar 12 korban yang telah menerima SKKPHAM (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) untuk dapat mengakses bantuan LPSK yang sudah diatur UU No. 31/2014 dan PP No. 35/2020. Oleh karena itu pada pertemuan dengan Komnas HAM 8 Februari 2022, PK2TL juga meminta agar Komnas HAM dapat mempercepat proses verifikasi korban agar semakin banyak korban Talangsari yang mendapat SKKPHAM. LPSK dalam pertemuan dengan korban pada 9 Februari 2022 yang dihadiri oleh Hasto Atmojo Suroyo (Ketua LPSK), Edwin Partogi dan Susilaningtyas (Komisioner LPSK) menambahkan korban yang telah memiliki SKKPHAM dapat mengajukan permohonan bantuan medis hingga bantuan psikososial secara spesifik seperti beasiswa, peningkatan keterampilan maupun peralatan tani. 

Menanggapi perkembangan situasi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, kami tetap meminta Pemerintah mendengarkan apa yang selama ini menjadi kehendak korban serta masukan yang kami sampaikan, yakni:

Pertama, agar Menkopolhukam berhenti melempar tanggung jawab kepada legislatif dan Jaksa Agung segera lanjutkan proses hukum Talangsari 1989;

Kedua, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, serta lembaga Negara terkait agar melibatkan korban dalam setiap tahap bahkan sejak awal penyusunan kebijakan pengungkapan kebenaran dan pemulihan. 

Jakarta, 9 Februari 2022

PK2TL (Paguyuban Keluarga Korban Talangsari)
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)

Kertas posisi yang kami bawa dalam audiensi adalah ringkasan kajian KontraS terkait Komisi Kebenaran dan Kebijakan Pemulihan, dan dapat diakses di :

https://kontras.org/2022/02/09/kebenaran-yang-memulihkan-ringkasan-kajian-kontras-mengenai-komisi-kebenaran-dan-reparasi/