Hentikan Tindakan Perendahan Martabat Manusia Terhadap Aksi Massa Penolak Tambang di Parigi Moutong

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari JATAM, KontraS, WALHI, Solidaritas Perempuan, YLBHI, PBHR Sulawesi Tenggara, LBH Sulawesi Tengah, dan JATAM Sulteng mengecam keras tindakan represif dan tidak manusiawi yang diduga dilakukan oleh pihak Polres Parigi Moutong dalam menangani massa aksi penolakan industri pertambangan PT. Trio Kencana oleh sejumlah warga sipil Kabupaten Parigi Moutong yang terjadi pada 12 Februari 2022.

Tindakan represif tersebut dilatarbelakangi oleh agenda aksi massa yang terdiri dari elemen mahasiswa, perempuan, petani, dan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tani Peduli (ARTI) Kabupaten Parigi Moutong yang berlangsung sekitar pukul 10.30 WITA hingga dini hari. Aksi tersebut pada intinya menuntut janji gubernur Sulawesi Tengah pada tanggal 7 Februari 2022 lalu melalui tenaga ahlinya untuk hadir di tengah-tengah massa aksi yang menolak kehadiran industri pertambangan PT. Trio Kencana seluas 15.725 hektar. Hal tersebut dikhawatirkan warga berpotensi menimbulkan gangguan ekologis, hilangnya mata pencaharian mereka sebagai petani karena pencemaran lingkungan akibat dari aktivitas pertambangan perusahaan, dan hilangnya areal pemukiman warga dikarenakan luas konsesi pertambangan yang juga mencakup lahan pemukiman warga sekitar. Namun, nyatanya janji untuk hadir di tengah massa aksi tersebut tidak diindahkan. Bahkan pihak kepolisian justru bersikap represif terhadap massa aksi. Hal tersebut dimulai ketika aparat kepolisian mengeluarkan water cannon, gas air mata, serta flash ball untuk membubarkan secara paksa massa aksi pada pukul 22.00 WITA.

Disamping itu, kami sangat menyayangkan timbulnya korban jiwa bernama Erfaldi (21) warga dari Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan yang diduga meninggal diakibatkan timah panas aparat kepolisian yang menembus bagian belakang dada korban. Berdasarkan informasi yang kami himpun, peristiwa penembakan tersebut terjadi saat korban berusaha mengamankan diri dari situasi aksi yang semakin tidak kondusif. Peristiwa tersebut mencerminkan penggunaan kekuatan yang berlebihan serta penyalahgunaan senjata api oleh aparat keamanan dalam penanganan massa aksi penolakan industri pertambangan PT. Trio Kencana.

Selain peristiwa penembakan yang berujung pada kematian tersebut, diketahui 59 (lima puluh sembilan) orang massa aksi lainnya ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan ditahan di Polres Parigi Moutong mendapati perlakuan penyiksaan dan tidak manusiawi. Bentuk-bentuk penyiksaan yang didapati korban penangkapan sewenang-wenang tersebut antara lain berupa pukulan menggunakan kaki di bagian kepala, badan, dan perut. Kemudian menggunakan tangan di bagian kepala, disiku di bagian dada dan wajah. Selain menggunakan tangan dan kaki, aparat keamanan kepolisian setempat kerap kali menggunakan alat rotan. Lebih lanjut, tindakan brutal kepolisian lainnya terlihat dari perburuan dan penyisiran yang dilakukan oleh kepolisian terhadap warga sipil setempat. Padahal, beberapa warga korban penyisiran tersebut sama sekali tidak tergabung dalam aksi massa penolakan perusahaan pertambangan PT. Trio Kencana. 

Kekerasan aparat yang menyebabkan kematian warga ini bukan pertama kali terjadi. Pengerahan pasukan secara berlebihan sebelumnya juga terjadi pada kasus Wadas, Jawa Tengah, begitu juga saat penangkapan Efendi Buhing, Kinipan, Kalimantan Tengah. Pada kematian warga sebelumnya kasus Industri Pariwisata di NTT, Sumba, menyebabkan kematian (alm) Poroduka yang tertembak dari jarak dekat di dada. Berbagai peristiwa tersebut juga memberikan goncangan dan trauma mendalam, terlebih bagi perempuan dan masyarakat yang sesungguhnya tengah mempertahankan dan memperjuangkan ruang hidupnya. kasus-kasus ini menjadi Indikasi Reformasi Keamanan POLRI-TNI masih jauh dari harapan, penyelesaiannya seringkali hanya berhenti di pelaku lapangan, dengan jarang sekali menyentuh pertanggungjawaban komando. Pada akhirnya bahkan seringkali kasus-kasus tersebut tidak menyentuh akar permasalahan, hal tersebut bisa dilihat pada kasus di Parigi Moutong, bahkan setelah adanya korban meninggal, sehari setelahnya Gubernur masih memberikan pernyataan di media “minta korlap tambang di Parimo ditangkap”. Ironinya, tidak ada statement terbuka pemerintah daerah pasca insiden yang secara spesifik menyinggung dampak lingkungan-sosial-ekonomi tambang yang telah terjadi akibat operasi PT. Trio Kencana.

Kedatangan perusahaan tambang di kehidupan mereka seakan mimpi buruk bagi mereka. Pasalnya, sampai saat ini sejumlah warga Kabupaten Parigi Moutong masih menggantungkan dirinya atas sumber daya alam yang ada seperti petani dan nelayan dalam pemenuhan hajat hidup mereka. Pemerintah merasa perlu memperlihatkan keberpihakannya atas konflik yang timbul akibat dari kehadiran perusahaan tambang yang kian mengancam keberadaan warga setempat. Maka, perlu adanya langkah yang jelas dan terstruktur untuk mencegah kembali adanya korban yang jatuh kedepannya karena minimnya keberpihakan dan gagapnya pemerintah dalam melihat permasalahan publik yang terjadi.

Atas dasar tersebut, kami mendesak:

  1. Kapolri harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi Polri maupun tindakan anggotanya di lapangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan mengevaluasi secara menyeluruh penggunaan senjata api anggota-anggotanya
  2. Kapolri untuk mencopot Kapolda Sulawesi Tengah dan Kapolres Parigi Moutong karena telah gagal dalam menangani aksi massa hingga menimbulkan korban jiwa dari warga sipil yang diduga diakibatkan karena timah panas anggotanya dan beberapa warga aksi massa yang mendapatkan perlakuan penyiksaan dan tidak manusiawi lainnya
  3. Kapolri untuk memproses dugaan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat  kepolisian dengan menempuh melalui proses mekanisme peradilan umum. Hal ini sebagai bentuk efek jera dan agar kejadian yang sama tidak terulang di kemudian hari.
  4. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menghentikan operasi dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Trio Kencana.
  5. Gubernur Sulawesi Tengah untuk melaksanakan komitmennya dalam mendengar dan memenuhi kepentingan warga yang hendak menyelamatkan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka dari kerusakan ekologis.
  6. Gubernur Sulawesi Tengah melakukan tindakan berdasarkan kewenangan yang dimiliki untuk melindungi masyarakat terutama perempuan dan anak-anak, dari tindakan represifitas yang dilakukan oleh aparat, termasuk melakukan pemulihan bagi mereka yang trauma.

Narahubung:

Sunardi (WALHI Sulteng) – 082319411177
Melky Nahar (JATAM) – 081319789181
Abimanyu Septiadji (KontraS) – 0895701027221
Dinda Yura (Solidaritas Perempuan) – 081818722510
Fanny Tri Jambore (WALHI) – 083857642883