Penganiayaan dan Penyiksaan Anak di Puncak Papua Bukti Negara Tidak Serius Lindungi Anak di Papua

Tim Advokasi HAM untuk Papua mengutuk keras tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap 7 anak di bawah umur sehingga menyebabkan satu diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan kronologis yang telah kami verifikasi, ketujuh anak tersebut diduga kuat dianiaya dan disiksa oleh aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di Pos PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua. Peristiwa ini tentu menambah panjang deretan catatan buruk kekerasan oleh Aparat di Papua.

Berdasarkan kronologi yang telah kami verifikasi:

– Bahwa telah terjadi pencurian senjata di Sinak pada tanggal 22 Februari 2022 pada pukul 22.15 WIT bertempat di Pos PT. Modern. Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak.

– Kejadian ini terjadi pada malam hari saat semua anggota dan masyarakat sekitar bandara Tapulunik sedang bermain Togel dan permainan Dadu yang dibuka oleh anggota Pos PT. Modern.

– Peristiwa ini terjadi saat beberapa anak-anak sedang nonton TV di Modern. – — Dalam situasi tersebut terdapat tiga oknum melihat sepucuk senjata di depan mereka yang ditinggalkan oleh anggota Pos. Sehingga di kesempatan itu, tiga orang oknum langsung mengambil senjata dan kemudian membawa lari.

Setelah menyadari senjata di pos tersebut hilang, petugas menuduh bahwa anak-anak yang sedang nonton TV di pos menjadi pelaku pencurian senjata.

Padahal mereka tidak sama sekali mengetahui kejadian dari pencurian senjata tersebut. Adapun petugas di Pos langsung melakukan tindakan kekerasan serta penyiksaan terhadap tujuh anak di bawah umur. Anak tersebut antara lain:

1. DM (SD kelas 5)

2. DK (SD Kelas 4)

3. FW

4. EM

5. AM

6. WM

7. Makilon Tabuni (SD Kelas 6)

– Tindakan penyiksaan yang dilakukan telah berakibat terlukanya anak-anak bahkan satu orang meninggal dunia. Anak yang meninggal dunia bernama Makilon Tabuni.

– Mayat dari almarhum kemudian dibakar (dikremasi) di depan Kantor Polsek Sinak.

– Adapun enam korban lainnya saat ini sedang dalam perawatan di Puskesmas Sinak. Beberapa anak yang mendapatkan luka sangat parah, dirujuk menuju rumah sakit.

Kejadian penyiksaan tujuh orang anak di Kabupaten Puncak, Papua semakin mempertegas kentalnya kultur kekerasan yang digunakan oleh aparat TNI/Polri yang sedang bertugas di wilayah Papua. Selain menambah daftar panjang pelanggaran HAM, peristiwa ini juga memperkuat anggapan bahwa negara tidak mampu untuk menyelesaikan masalah sistemik dan mengakar di Papua. Alih-alih menyelesaikan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM sebelumnya secara adil, pemerintah cenderung resisten dan menggunakan pendekatan yang sama.

Dugaan tindakan penyiksaan dalam tataran internasional merupakan bagian dari ius cogens, sehingga tidak dapat diperkenankan dalam situasi apapun. Norma tersebut juga senada dengan mandat konstitusi yang menyebutkan bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (UNCAT) lewat UU No. 5 Tahun 1998. Sayangnya penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan masih kerap terjadi, bahkan melibatkan aktor negara.

Adapun tindakan yang dilakukan aparat tersebut juga melecehkan semangat perlindungan anak yang menghendaki anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jikapun tuduhan pencurian tersebut benar, seharusnya pendekatan yang digunakan adalah melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur oleh KUHAP, bukan main hakim sendiri dengan penyiksaan.

Ketujuh anak yang menjadi korban dianiaya penyiksaan tentu bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Anak-anak di Papua kerap menjadi korban dan kambing hitam atas konflik kemanusiaan yang terjadi selama ini. Masih segar di ingatan terdapat 2 orang balita yang menjadi korban salah tembak saat terjadinya kontak senjata di Papua. Hingga saat ini kasus tersebut pun tak pernah diungkap secara tuntas. Rentetan peristiwa kekerasan ini juga menegaskan ketidakseriusan negara dalam melindungi dan menghadirkan rasa aman bagi anak di Papua.

Atas dasar itu kami mendesak:

Pertama, Negara bertanggung jawab dengan mengusut tindakan penyiksaan terhadap 7 orang anak yang mengakibatkan satu di antaranya meninggal dunia secara transparan dan akuntabel.

Kedua, TNI/Polri untuk menghukum seluruh anggotanya yang terbukti terlibat dalam tindakan penyiksaan

Ketiga, pemerintah untuk melakukan pemulihan secara optimal baik secara fisik dan psikis terhadap 6 korban anak yang sedang mendapat perawatan serta pemulihan yang efektif kepada keluarga korban yang anaknya meninggal dunia.

Keempat, Komnas HAM segera melakukan Penyelidikan dan mengungkap Pelanggaran HAM yang terjadi, serta mengawal agar penghukuman kepada seluruh anggota TNI yang terlibat.

Kelima, LPSK dan KPAI bergerak secara proaktif mendampingi dan melindungi keluarga, termasuk anak-anak serta menjalankan pemulihan yang efektif.

 

Tim Advokasi HAM untuk Papua

KontraS – YLBHI – Make West Papua Safe Campaign – Asia Justice and Rights – Southeast Asia Freedom of Expression Network – Elsham Papua – LP3BH Manokwari – Amnesty International Indonesia – TAPOL – KPKC SINODE GKI TP – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua ( YKKMP ) – Imparsial – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat