Upaya Paksa Sewenang-Wenang, Penyiksaan dan Penggunaan Kekuatan Berlebihan Terhadap Alm. Hermanto Harus Diusut Secara Transparan dan Akuntabel!

Tim Advokasi Anti Penyiksaan yang terdiri dari KontraS dan pendamping hukum keluarga telah bertemu pihak keluarga korban, saksi, serta Polres Kota Lubuklinggau dan melakukan pendalaman kasus kematian Alm. Hermanto. Kami mendesak Polres Kota Lubuklinggau untuk memproses para pelaku penyiksaan terhadap Alm. Hermanto secara transparan dan akuntabel. Sejauh ini, proses hukum memang sudah masuk ke dalam tahap penyidikan, akan tetapi kami melihat bahwa Polres Kota Lubuklinggau tidak serius untuk membuka kasus ini secara terang benderang. Hal tersebut tercermin dari informasi perkembangan perkara yang sama sekali tidak diberikan pada keluarga korban. Selain itu, kami juga menemukan bahwa terjadi dugaan rekayasa kasus yang diikuti oleh upaya paksa sewenang-wenang, tindakan penyiksaan dan penggunaan kekuatan secara berlebihan pada korban Alm. Hermanto.

Berdasarkan kronologis yang kami terima, korban ditangkap di rumah pada 12 Februari 2022 oleh tiga anggota Polsek Lubuklinggau Utara pada pukul 11.00 WIB. Penangkapan yang dilakukan tanpa disertai dengan surat tugas dan surat perintah penangkapan. Selain itu, keluarga pun tidak diberikan informasi mengenai alasan penangkapan. Sekitar 90 menit setelah dilakukannya penangkapan, Petugas kembali mendatangi rumah korban untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Sama halnya dengan penangkapan, kedua upaya paksa itu tidak dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan dan penyitaan. Kami menilai telah terjadi kesewenang-wenangan aparat dan pelanggaran prosedur dalam penangkapan, penggeledahan serta penyitaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18, 33, 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Saat dibawa ke Kantor Polsek Lubuklinggau Utara, kami pun menduga bahwa telah terjadi tindakan penyiksaan yang dilakukan sejumlah petugas Polsek Lubuklinggau Utara yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari korban. Pasca 11 jam ditangkap, keluarga korban mendapatkan informasi bahwa korban telah meninggal dunia dan jenazah sudah berada di RSUD Siti Aisyah. Adapun pada jenazah korban ditemukan adanya luka lebam di sekujur tubuh, luka pada lengan sebelah kanan, luka pada hidung, bibir atas dan bawah pecah, leher patah, tangan kanan patah, dan jari kelingking patah. Temuan tersebut mempertegas bahwa aparat melakukan tindakan berupa penyiksaan yang begitu brutal kepada Alm. Hermanto. Penyiksaan tersebut secara nyata mencederai semangat Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang HAM,  Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi. 

Kami juga melihat bahwa 6 anggota Polsek Lubuklinggau Utara juga telah menggunakan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Hal tersebut dibuktikan dengan temuan korban yang telah dinyatakan meninggal dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Selain itu, bukti tindak pidana yang disangkakan pada korban pun tidak jelas sehingga menandakan adanya rekayasa kasus oleh Kepolisian. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari tidak adanya alat bukti sah yang dapat mengarahkan korban sebagai pelaku – dari kejahatan yang dituduhkan. Berdasarkan keterangan keluarga pun barang bukti yang disita kepolisian berupa tabung elpiji 3 kg, diperoleh bukan dengan tindak pidana. Peristiwa ini sekaligus menunjukkan bahwa Kepolisian tidak mempertimbangkan prinsip legalitas, necesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif dan masuk akal (reasonable) dalam menggunakan kekuatan sebagaimana mandat Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009. Pada saat korban berada di RSUD pun Kepolisian sempat menyatakan bahwa korban meninggal karena takdir dan keluarga dihalang-halangi untuk melihat kondisi jenazah. 

Selain itu, kami memberi catatan atas pasal yang disangkakan kepada para tersangka penyiksaan yang mengakibatkan matinya Alm.Hermanto. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, pihak penyidik yang menangani kasus meninggalnya Alm.Hermanto mensangkakan para pelaku dengan Pasal 170 dan/atau 351 Ayat (3) KUHP terhadap 4 orang tersangka dengan inisial AR, AL, RD, BD. Kami menilai pemberian pasal tersebut dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun 6 bulan serta 7 tahun merupakan hukuman yang masih tergolong ringan. Lebih lanjut,  kami berpendapat bahwa pihak Polres Kota Lubuklinggau dapat mensangkakan para pelaku dengan Pasal 338 KUHP yang pada intinya menyebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Hal tersebut penting untuk dipertimbangkan dan dianalisa lebih lanjut sebab penjatuhan hukuman maksimal perlu dilakukan mengingat para tersangka merupakan bagian dari anggota aparat keamanan. Penghukuman maksimal juga bertujuan  agar para pelaku memperoleh efek jera sehingga hal-hal serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.

Kami juga mendesak pengusutan kasus ini harus dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel. Pengusutan kasus ini penting untuk dilakukan secara terbuka guna memitigasi kecenderungan aparat yang berupaya melindungi aktor pelaku kejahatan. Lebih lanjut, pengusutan kasus ini juga harus dilakukan dengan berbasis pada akuntabilitas publik. Sampai saat ini saja, keluarga korban belum juga mendapatkan informasi/dokumen mengenai perkembangan kasus kematian Alm.Hermanto. Kepolisian pun belum mengumumkan nama-nama anggota Polsek Lubuklinggau Utara yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Kami juga mendapatkan informasi bahwa terdapat upaya-upaya untuk menyelesaikan peristiwa pidana ini dengan jalan damai atau kekeluargaan. Upaya ini sempat dilakukan oleh Kasat Reskrim Polres Kota Lubuklinggau, namun keluarga menolak ajakan damai tersebut. Upaya-upaya serupa bahkan juga dilakukan oleh anggota kejaksaan, Babinsa hingga ketua organisasi mahasiswa di sebuah kampus. Jalan penyelesaian ini hanya akan menciptakan impunitas dan membuat para pelaku lari dari pertanggungjawaban hukum.

Peristiwa penyiksaan terhadap Alm. Hermanto juga kembali mempertegas kultur kekerasan yang masih mengakar dalam institusi Kepolisian. Praktik pelanggaran HAM semacam ini kembali menambah deretan hitam kinerja institusi Polri yang tak kunjung menunjukan tanda-tanda perbaikan. Lemahnya pengawasan, resistensi, minimnya evaluasi dan koreksi harus menjadi agenda perbaikan utama mengingat kejadian serupa akan berpotensi terus terjadi di kemudian hari. 

Atas dasar penjelasan sebagaimana diuraikan di atas, kami mendesak berbagai pihak:

Pertama, Polres Kota Lubuklinggau untuk mengusut secara tuntas kasus upaya paksa sewenang-wenang, penyiksaan dan penggunaan kekuatan berlebihan secara profesional, transparan dan akuntabel. Mengingat kasus ini memiliki dimensi pidana dan etik, kedua mekanisme pengadilan tersebut harus diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pidana, kami mendesak agar ketentuan yang digunakan yakni pasal pembunuhan dalam KUHP. Sementara dalam ranah etik, kami mendesak agar para pelaku diberikan penjatuhan hukuman maksimal yakni PTDH.

Kedua, Polda Sumatera Selatan untuk menaruh perhatian terhadap kasus ini dengan melakukan pengawasan serta memastikan pengusutan diselenggarakan secara tuntas dan komprehensif;

Ketiga, Komnas HAM RI untuk proaktif melakukan pemantauan terhadap proses hukum pelaku penyiksaan Alm. Hermanto.

Lubuklinggau, 16 Maret 2022

Tim Advokasi Anti Penyiksaan

Narahubung:
Abimanyu Septiadji (KontraS) – 0895-7010-27221
Fachri Yuda Husaini (Pendamping hukum keluarga) – 0821-7970-2940

Klik disini untuk mengunduh dokumen selengkapnya