Penggunaan Pasal 170 KUHP Terhadap Para Tersangka Kasus Alm. Hermanto Wujud Nyata Keberpihakan Polres Lubuklinggau Kepada Pelaku Penyiksaan!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Penyiksaan (KontraS) mengecam sikap Kapolres Lubuklinggau atas penggunaan Pasal 170 KUHP oleh penyidik yang disangkakan kepada para tersangka kasus meninggalnya Alm. Hermanto pada 12 Februari 2022 silam.

Berdasarkan informasi yang kami terima, Kapolres Lubuklinggau melalui siaran pers media pada 20 Maret 2022 menyatakan dengan tegas bahwa Pasal yang disangkakan kepada para tersangka merupakan Pasal 170 ayat 2 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun berdasarkan gelar perkara yang telah dilakukan. 

Kami menilai, keputusan penggunaan pasal 170 KUHP tentu saja jauh dari kata tepat, sebab pada intinya penggunaan Pasal tersebut menerangkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka seharusnya dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat dan benar-benar terbukti bertujuan ingin mengganggu ketertiban publik sebagaimana delik BAB V KUHP tentang “kejahatan terhadap ketertiban umum”. Hal tersebut tentu saja jauh berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi. Pasalnya, locus tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka adalah di dalam Polsek Lubuklinggau Utara yang mana tempat penyiksaan tersebut bukan merupakan ruang yang mudah untuk diakses oleh publik dan terkesan tertutup. Hal yang semakin memperkuat dalil sulitnya locus penyiksaan untuk dijangkau adalah ketika keluarga korban dihalang-halangi saat hendak menjenguk Alm. Hermanto yang ditahan di dalam Polsek. Selain itu, selama praktik keji tersebut berjalan, tidak ditemukan catatan yang menggambarkan timbulnya gangguan ketertiban umum yang disebabkan tindakan penyiksaan oleh para tersangka.

Disamping itu, apabila mencermati isi pasal 170 Ayat (2) yang disangkakan kepada para tersangka sangat tidak sesuai dan tidak relevan sebagaimana fakta yang terjadi. Pasal 170 Ayat (2) dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun menyatakan pelaku dapat disangkakan pasal tersebut apabila korban mengalami luka-luka. Padahal, Alm. Hermanto mendapati perlakuan penyiksaan begitu sadis berupa lebam di sekujur tubuh, luka pada lengan sebelah kanan, luka pada hidung, bibir atas dan bawah pecah, leher patah, tangan kanan patah, kelingking kanan patah, yang diduga mengakibatkan meninggalnya korban. 

Bahwa Kapolres Lubuklinggau menuturkan bahwa tidak perlu dilakukan tindakan otopsi terhadap jenazah Alm. Hermanto dengan alasan bukti-bukti yang sudah cukup. Nyatanya, berdasarkan hasil gelar perkara, penyidik justru menggunakan Pasal 170 Ayat (2) yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan fakta-fakta di lapangan. Padahal, berdasarkan keterangan keluarga korban, sebenarnya mereka sangat berkenan untuk melangsungkan seluruh tindakan terhadap jenazah Alm. Hermanto termasuk tindakan otopsi dengan catatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan bertujuan untuk memberikan titik terang atas tindak pidana serta penyebab kematian Alm. Hermanto, agar tidak terjadi spekulasi atau disinformasi yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena sampai saat ini penyidik Polres Lubuklinggau belum melakukan tindakan otopsi, kami menilai pertimbangan penggunaan pasal 170 KUHP oleh penyidik disebabkan Polres Lubuklinggau terindikasi berupaya untuk menghindari tindakan otopsi agar para tersangka bisa lepas dari jeratan Pasal pembunuhan atau sejenisnya dengan vonis hukuman yang lebih berat.

Lebih jauh, Polres Lubuklinggau selaku penyidik dari tindak pidana ini harus menempatkan dimensi penyiksaan terhadap Alm. Hermanto, sebab Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998. Tindakan yang dilakukan oleh para tersangka pun telah jelas memenuhi unsur penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UNCAT. Dalam ketentuan pasal tersebut terdapat beberapa unsur pokok, seperti: Timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa; Oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat-pejabat Negara yang berwenang: Untuk suatu tujuan tertentu, seperti mendapatkan informasi, penghukuman atau intimidasi. Penggunaan pasal pengeroyokan pada kasus penyiksaan jelas mencerminkan minimnya pemahaman dan simpati aparat terhadap korban penyiksaan. 

Atas hal di atas, kami berpendapat sepatutnya penyidik Polres Lubuklinggau hendaknya menggunakan delik kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, sebab apa yang dilakukan oleh para tersangka jelas-jelas sebuah konstruksi hukum kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dan melalui perbuatan tersebut mengakibatkan korban meninggal dunia. Maka dari itu, kami berpendapat pasal yang tepat untuk disangkakan terhadap para tersangka kasus meninggalnya Alm. Hermanto adalah Pasal 338 KUHP dan/atau Pasal 353 Ayat (3) KUHP.

Selain telah mencederai rasa keadilan bagi keluarga korban atas tindakan penghukuman yang cenderung ringan dan cacat hukum, kekeliruan penggunaan Pasal oleh penyidik Polres Lubuklinggau membuktikan kepada publik bahwa proses hukum yang dilakukan oleh Polres Lubuklinggau sangat tidak profesional dan tidak masuk akal (reasonable).

Berangkat dari keterangan Kapolres tersebut, kami juga menilai penerapan pasal yang disangkakan penyidik Polres Lubuklinggau kepada para tersangka jelas mencerminkan proses hukum yang tidak berkeadilan. Lebih lanjut, kami mengkhawatirkan jika proses hukum yang cacat terus dinormalisir, hal tersebut akan berdampak pada praktik-praktik impunitas dan sengaja dibuat hanya untuk keuntungan tersangka serta mengaburkan fakta-fakta di lapangan.

Atas dasar tersebut, kami mendesak beberapa pihak untuk:

  1. Kapolda Sumatera Selatan untuk segera bertindak tegas, memantau, dan menindak atas tindakan Polres Lubuklinggau beserta jajarannya yang telah melakukan tindakan tidak profesional atas kinerja kepolisian Polres Lubuklinggau terhadap proses penegakan hukum terhadap kasus meninggalnya Alm. Hermanto;

  2. Kapolres Lubuklinggau segera mengevaluasi kinerja penyidik kasus Alm.Hermanto mengingat penyidik Polres Lubuklinggau telah mengenakan Pasal terhadap para tersangka yang jauh dari kata tepat dan tidak memenuhi unsur-unsur pasal sebagaimana praktik tindak pidana yang terjadi di lapangan, serta penyidik Polres Lubuklinggau untuk segera melakukan otopsi sesuai dengan prosedur medis atas jenazah Alm. Hermanto agar memudahkan proses pembuktian akan penyebab korban meninggal dan cara korban meninggal;

  3. Kejaksaan Negeri Lubuklinggau untuk menolak dan mengembalikan berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik Polres Lubuklinggau yang tidak sesuai dengan fakta-fakta di lapangan;

  4. Komnas HAM untuk segera bersikap proaktif melakukan tahap penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berupa penyiksaan hingga mengakibatkan matinya Alm.Hermanto yang dilakukan personil Polsek Lubuklinggau Utara.

 

Jakarta, 24 Maret 2022
Badan Pekerja KontraS,

 

Rivanlee Anandar, M.Kesos.
Wakil Koordinator