Penjahat HAM Tak Dicopot, Masyarakat #GugatPanglima

Keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998, Paian Siahaan (ayah dari Ucok Munandar Siahaan) dan Hardingga (anak dari Yani Afri) bersama dengan Imparsial, KontraS, dan YLBHI yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil sebagai kuasa hukum telah melayangkan gugatan terhadap Panglima TNI Jend. Andika Perkasa ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Jumat, 1 April 2022.

Gugatan ini dilayangkan atas Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI tertanggal 4 Januari 2022 yang berisi pengangkatan Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya. PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi II dipilih sebagai tempat para Penggugat mencari keadilan karena tidak ada konstruksi hukum yang memadai saat ini untuk menguji obyek Keputusan Panglima tersebut dalam tenggang waktu 90 hari yang terbatas. Sementara, seharusnya di negara hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum dan kemudian menciptakan eksklusivitas bahkan kekebalan. Maka tidak ada pilihan bagi Para Penggugat selain harus mengajukan permasalahan ini kepada dua pengadilan tersebut.

Adapun terdapat setidaknya tiga alasan kenapa gugatan ini dilayangkan:

Pertama, mengangkat penjahat sebagai pejabat menciptakan preseden buruk dimana orang-orang yang tidak memiliki integritas untuk memegang suatu jabatan publik/melayani masyarakat Indonesia, namun diberi apresiasi dan promosi hingga menduduki jabatan penting. Pejabat publik yang terlibat pelanggaran HAM telah menunjukkan ketiadaan integritas yang mendasar dan merusak kepercayaan warga negara yang seharusnya mereka layani. Mayjen Untung sendiri telah terbukti di Pengadilan secara sewenang-wenang menggunakan jabatan militernya untuk menculik dan menyiksa masyarakat sipil, namun sekarang diberikan jabatan penting dalam tubuh TNI seperti Pangdam Jaya yang memimpin dan mengendalikan sejumlah besar pasukan bersenjata di bawahnya. Untuk alasan seperti inilah maka memeriksa rekam jejak personil yang akan menduduki jabatan publik atau vetting mechanism sangat penting dilakukan dan terus disuarakan masyarakat sipil.

Kedua, Pengangkatan tersebut mencederai perjuangan keluarga korban dan pendamping yang terus mencari keberadaan korban yang masih hilang, namun orang-orang yang berada pada inti kasus tersebut, termasuk Untung Budiharto, tidak pernah berterus terang atas kebenaran kasus atau membantu investigasi pencarian, lagi-lagi malah diberi apresiasi dan promosi jabatan. Adapun 9 orang yang kembali dari penghilangan paksa 1997-1998 dalam hasil Penyelidikan Pro Justisia Komnas HAM mengaku ditahan bersama-sama beberapa orang lain yang belakangan diketahui ialah 6 dari 13 korban yang belum kembali. Komnas HAM menyatakan bahwa korban yang hilang atau pernah hilang pernah berada pada lokasi yang sama atau bahkan di bawah penguasaan suatu kelompok yang sama, yakni Poskotis (Pos Komando Taktis) Markas Kopassus di Cijantung, DKI Jakarta atau berada dalam penguasaan Kopassus. Sikap Untung dan Tim Mawar yang tidak pernah membuka kepada aparat hukum/proses hukum mengenai keberadaan korban yang lain menunjukkan bahwa anggota Tim Mawar (termasuk Untung Budiharto) hingga sekarang, meskipun telah memegang berbagai jabatan publik yang penting, tapi tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, atau mengaku terus terang atas apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus penculikan tersebut.   

Ketiga, diangkatnya figur yang tak berintegritas sebagai Pangdam Jaya, bersama dengan Surat Telegram (ST) Panglima TNI No. ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021, berpotensi dapat mengganggu penegakan hukum dan hak asasi manusia di wilayah Kodam Jaya. Sebab ST tersebut menyebutkan penegak hukum–seperti Kepolisian, Kejaksaan–harus berkoordinasi dengan Komandan/Kepala Satuan TNI untuk memanggil aparat militer dalam suatu proses hukum. Dengan demikian, dipegangnya jabatan Pangdam Jaya oleh pelanggar HAM sendiri menjadi “hambatan” dan berpotensi mempersulit para penegak hukum, karena integritas dari pelanggar hukum tentu dipertanyakan untuk terbuka dalam penegakkan hukum. 

 

Jakarta, 1 April 2022

 

Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Sipil

 

Narahubung:
Alghiffari Aqsa, Hussein Ahmad, Julius Ibrani, Nelson Nikodemus, Tioria Pretty, Zainal Arifin