Tidak Seriusnya Polri Memproses Hukum Para Pelaku Kerangkeng Manusia Langkat: Terabaikannya Hak-Hak Korban dan Ancaman Nyata Bagi Keamanan dan Ketertiban Masyarakt!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (KontraS Sumut) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) mengecam keras segala bentuk praktik perendahan dan pengkerdilan martabat manusia yang terjadi di Kerangkeng Manusia milik Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) Bupati Langkat non-aktif. 

Berdasarkan pemantauan TAP-HAM 19 Maret 2022 lalu, Polda Sumut melalui Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) telah melakukan penyelidikan. Informasi terakhir yang diperoleh terkait dengan kasus kematian terhadap dua orang penghuni kerangkeng telah dinaikkan ke tingkat penyidikan. Namun demikian, Polda Sumut tidak transparan  sehingga terkesan menutup rapat-rapat kepada publik mengenai proses hukum yang berjalan. Tindakan Polda Sumut yang demikian tentu saja tidak diharapkan masyarakat terutama korban maupun keluarga. TAP-HAM melalui KontraS kemudian mengirimkan permohonan informasi publik dengan meminta Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SP2HP) atas kasus dugaan dua korban penghuni kerangkeng yang meninggal. Surat bernomor 38/SK-KontraS/III/2022 tertanggal 17 Maret 2022 tersebut belum mendapat tanggapan hingga rilis pers ini terbit. 

Bahwa pada 21 Maret 2022, Ditreskrimum Polda Sumut menetapkan delapan tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tersangka dengan inisial HS, IS, TS, RG, JS, DP, dan HG dikenakan Pasal 7 UU 21/2007 dengan ancaman hukuman pidana penjara 15 tahun. Sedangkan Tersangka SP dan TS dikenai Pasal 2 UU 21/2007. Diketahui salah satu tersangka yang berinisial DP tersebut merupakan anak bupati langkat-non aktif, Dewa Rencana Perangin-angin. Perlu diketahui bahwa pasal-pasal yang disangkakan oleh Ditreskrimum Polda Sumut hanya sampai pada dua orang korban kerangkeng yang meninggal. 

Mengacu pada temuan, fakta dan analisa pelanggaran hukum dan HAM, TAP-HAM yang diberi kuasa oleh para korban terdiri atas Mr. X1, Mr. X2, Mr. X3 dan Mr. X4 berdasarkan Surat Kuasa Khusus nomor 001/SKK/TAP-HAM/III/2022 diberi mandat untuk melaporkan tindak pidana yang menimpa keempat korban ke Badan Reserse Kriminal Polri. Pada 31 Maret, TAP-HAM sebagai kuasa hukum korban mendatangi Sentra Pelayanan Terpadu Kepolisian (SPKT) Bareskrim Polri. Hal ini didasarkan pada proses hukum yang sedang berjalan di Polda Sumut tidak mengakomodir hak-hak korban para klien kami. Termasuk sangkaan pasal yang hanya menyasar pada pionir lapangan dan bukan aktor intelektual. TAP-HAM melaporkan TRP, DRP dan SP atas dugaan pelanggaran Pasal 2, Pasal 8, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang jo Pasal 170 jo Pasal 351 KUHP jo Pasal 88E ayat (2) jo Pasal 185 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sesungguhnya laporan yang kami layangkan ke SPKT Bareskrim merupakan langkah awal untuk pencarian keadilan bagi para korban, akan tetapi SPKT justeru menolak laporan kami dengan dalil bahwa proses penyelidikan tengah berjalan di Polda Sumut, dan tempus delicti berada di Sumatera Utara. TAP-HAM melakukan pelaporan di Bareskrim karena melihat: 1) adanya proses penyidikan yang sangat lambat di Polda Sumut; 2) penetapan tersangka yang hanya menyasar aktor lapangan tanpa mengungkap aktor-aktor intelektual yang memiliki peran dan memerintahkan pengkrangkengan dan eksploitasi yang terjadi; 3) kepolisian terkesan subjektif dengan tidak menahan para tersangka, sehingga membuka celah bagi tersangka untuk menghilangkan bukti kejahatan.

Maka hak para korban yang diwakilkan oleh TAP-HAM memiliki hak untuk membuat laporan di Bareskrim Mabes Polri karena dugaan adanya kekuatan politik yang mendera kekuasaan hukum di wilayah Sumatera Utara. TAP HAM menduga relasi kekuasaan tersebut bisa saling mengamankan satu sama lain. Hal ini terbukti dengan tidak ditetapkannya tersangka pada aktor elit yang berada di areal kerangkeng, terutama inisiator kerangkeng dan teritori keberadaan kerangkeng memang berada di rumah TRP, dan keluarga lainnya yang dianggap mengetahui eksistensi kerangkeng sebagai tempat perbudakan dan penyiksaan.

Sehingga menjadi logis bahwa TAP-HAM lebih memilih membuat laporan ke Bareskrim Polri, hal ini bukan saja melihat pencarian keadilan bagi para korban, tetapi juga sebagai langkah untuk menentukan bahwa posisi kasus ini sesungguhnya sangat penting untuk di proses secara profesional dan akuntabel, mengingat bahwa kasus kerangkeng merupakan kasus besar,  kepolisian harusnya menyadari bahwa kasus ini sangat mendapatkan atensi dari publik, oleh sebabnya setiap proses hukum yang dijalankan harus dilakukan se transparan mungkin.

Padahal, Polri telah diberikan amanat untuk senantiasa memelihara keamanan, memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk ketika warga negara memberikan informasi mengenai adanya peristiwa tindak pidana yang terjadi dengan dan dibuatkannya laporan polisi. Selain itu, dalam tataran teknis, setiap anggota Polri dilarang menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sebagaimana ditegaskan dalam 13 Ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan alasan-alasan di atas kami menuntut agar:

  • Mabes Polri bersikap profesional dan serius untuk berkolaborasi serta melakukan pengawasan secara langsung terhadap Polda Sumut dalam menangani kasus kerangkeng manusia Langkat guna terpenuhinya hak-hak korban;
  • Polda Sumut harus segera melakukan pengembangan perkara dengan menerapkan sangkaan pasal terhadap pelaku yang menjadi aktor utama serta  menjalankan kewenangan berdasarkan KUHAP untuk melakukan upaya paksa namun tidak terbatas pada Penggeledahan, Penahanan, hingga Penyitaan   terhadap para pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka; 
  • Mabes Polri dan Polda Sumut segera melaporkan aktif dan berkala kepada publik termasuk Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) selaku kuasa hukum para korban atas setiap perkembangan proses hukum yang dilakukan oleh Bareskrim Polri;
  • Komisi Kepolisian Nasional untuk mendorong proses penegakan etik terhadap dugaan oknum anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus kerangkeng manusia Langkat;
  • Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan memerintahkan Kapolri agar proses hukum yang berjalan secara adil, transparan dan akuntabel.

 

Jakarta, 3 April 2022
Hormat kami,

 

TIM ADVOKASI PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
(TAP-HAM)