Putusan Majelis Hakim dalam Perkara M. Fikry dkk. adalah Karpet Merah bagi Kepolisian RI untuk Melanggengkan Praktik Penyiksaan dan Kasus Salah Tangkap

Senin (25/04), Tim Advokasi Anti Penyiksaan (TAP) mengecam keras dan menyesalkan Putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Cikarang yang menjatuhkan pidana 10 bulan penjara kepada Terdakwa Abdul Rohman, dan Pidana 9 bulan penjara kepada Terdakwa M. Fikry, M. Rizky, dan Randi Apriyanto. TAP menilai Majelis Hakim keliru dalam menjatuhkan putusan karena telah mengabaikan fakta- fakta yang terungkap dengan jelas dan terang di persidangan berdasarkan alat bukti yang masing-masing saling bersesuaian sehingga menunjukkan bahwa para Terdakwa tidak bersalah karena faktanya mereka tidak berada di tempat kejadian pada tanggal 24 Juli 2021 Pukul 01.30 WIB sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum. Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Chandra Ramadhani dan Anggota masing-masing Yudha Dinata dan Maria Krista Ulina Ginting, telah gagal menegakkan fakta persidangan yang telah menjadi kebenaran/kenyataan dan keadilan dalam perkara ini.

Atas Putusan tersebut, maka TAP berpendapat sebagai berikut:

Pertama, Majelis Hakim mengesampingkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan bukti CCTV yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum Para Terdakwa tanpa alasan yuridis yang jelas. Majelis Hakim bahkan sependapat dengan Penuntut Umum yang menyatakan bahwa seluruh saksi alibi yang dihadirkan Penasihat Hukum para Terdakwa dikesampingkan dengan alasan memiliki kedekatan dengan para Terdakwa sehingga dianggap konflik terdapat kepentingan. Padahal, seluruh saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum Para Terdakwa telah disumpah dan memberikan keterangannya di hadapan persidangan sehingga telah sesuai dengan ketentuan mengenai kualifikasi saksi dalam KUHAP sehingga memiliki nilai kekuatan pembuktian serta bukan saksi yang tidak dapat didengarkan keterangannya sebagaimana KUHAP, “sehingga seharusnya Majelis Hakim fokus ke substansi keterangan, kesesuaian dan relevansinya dengan perkara, terlebih ada keterangan saksi 3 (tiga) orang yang langsung melihat dengan jelas Penyiksaan yang dialami oleh Para Terdakwa”, selain itu terdapat “Saksi Sudarmun Pemilik Motor Honda Vario B 4956 yang dijadikan barang bukti menjelaskan bahwa motor tersebut berada dalam penguasaan dia sejak tanggal 23 sampai dengan 24 Juli 2021” juga tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.

Kedua, Majelis Hakim dalam Keterangan Ahli Roy Suryo hanya mengambil sepotong- sepotong dan tidak memahami utuh penjelaskan Ahli dipersidangan yang menjelaskan, “ identifikasi dengan face comparation hasil 63% lebih ya itu adalah terdakwa atas nama M Fikri. Saya harus bicara apa adanya, memang hasilnya di bawah 70%, karena memang hasil dari CCTV ini dia berlari agak kencang”, selanjutnya Ahli juga menjelaskan “Hasilnya memang 63%, kalau kurang pasti saya juga sampaikan. Biasanya kalau kurang dari 50% atau bahkan 40%, saya tidak berani melaporkan ini tapi karena lebih dari 60% saya bisa lakukan analisis. Kala dalam kasus ini, bisa dipastikan itu sinkron dengan foto terdakwa M. Fikry.

Untuk Motor Honda Beat yang dijadikan barang bukti ahli menjelaskan”, “plat nomornya identik dengan motor yang digunakan sebagai barang bukti. Nopolnya yaitu (B) 4358 FPW itu jelas sekali pada motor ini. Nah ini kalau di zoom terlihat jelas dan identik bahwa ini motor beat dan saya bisa pastikan warnanya gelap atau hitam dengan ciri-ciri ada stiker depan bagian samping adalah sama dengan motor barang bukti.” Bahkan dalam berbagai media

Selain itu dalam Keterangan Ahli dr. Ferryal Basbeth, Sp.F., yang menjelaskan bahwa “prinsip utama dari barang bukti (instrumenta deliciti) harus dihubungkan kepada Pelaku”, dalam Perkara ini tidak berhasil dibuktikan bahwa barang bukti Arit kepada Terdakwa Abdul, karena seyogyanya jika benar Terdakwa Abdul Rohman menggunakan Arit tersebut maka sudah pasti ada sidik Jari yang tertinggal, kami meyakini bahwa pada saat pemeriksaan tidak ditemukan sidik jari Terdakwa Abdul Rohman di Arit tersebut, selain itu Majelis Hakim juga melanggengkan kekeliruan penamaan Arit yang kemudian ditulis celurit untuk membangun insinuasi bahwa para terdakwa adalah orang jahat.

Selain itu dr. Ferryal Basbeth, Sp.F juga menjelaskan bahwa definisi membacok merupakan tindakan yang menggunakan “senjata tajam dan berat, dengan kekuatan, dan biasanya pada korban itu ada sampe patah-patah tulang”, dalam perkara ini berdasarkan Visum Et Repertum luka yang dihasilkan hanya sepanjang 1,5 cm dan lebar 0,1 cm.

Ketiga, Majelis Hakim dalam Pertimbangan juga menggunakan Keterangan Saksi Verbalisan (Penyidik Pembantu yang memeriksa Para Terdakwa) yang keabsahannya dalam berbagai Putusan Pengadilan telah dikesampingkan karena tidak memiliki kekuatan pebuktian dikarenakan adanya konflik kepentingan dengan perkara, Putusan-putusan Pengadilan tersebut telah kami lampirkan dalam Pembelaan yang juga dikuatkan oleh Keterangan Ahli Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc, yang menyatakan: “Bahwa nilai keabsahan mengenai saksi verbalisan terdapat yurisprudensi Putusan Nomor 1351/Pid.Sus/2010, yang menyatakan bahwa hakim menolak saksi verbalisan untuk dipertimbangkan sebagai alat bukti karena keterangan yang disampaikan memiliki kepentingan untuk memfinalkan proses penyidikan dan dianggap terjadi benturan kepentingan oleh mahkamah agung, kemudian hakim mahkamah agung mengeliminir keterangan saksi tersebut,

Keempat, Majelis Hakim justru mengakui dan menyatakan keterangan yang diberikan di luar Pengadilan (Confessions Given Outside Of The Court) Berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidikan atas nama Para Tersangka dan BAP Penyidikan atas nama Saksi-Saksi sebagai Alat Bukti yang sah. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan saksi adalah apa yang ia nyatakan di muka persidangan.

Terlebih, terungkap fakta dalam persidangan bahwa Para Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum dan mengalami serangkaian penyiksaan oleh Anggota Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi. Sehingga BAP tersebut tidak layak dijadikan alat bukti yang sah dalam persidangan.

Kelima, Putusan ini melanggengkan praktik jamak Tindak Penyiksaan (torture) yang dilakukan oleh Kepolisian dalam hal ini oleh Polsek Tambelang/Polres Metro Bekasi dengan mengabaikan fakta dan temuan Komnas HAM RI bahwa telah terjadi

Penyiksaan terhadap Para Terdakwa. Untuk mendukung dalil mengenai adanya penyiksaan tersebut, Penasihat Hukum sebelumnya telah menghadirkan saksi-saksi yang melihat langsung bagaimana Para Terdakwa seusai ditangkap tidak langsung dibawa ke Polsek Tambelang, melainkan ke Gedung Cabang Telkom Tambelang untuk disiksa agar mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.

Laporan hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI yang memperkuat dalil mengenai penyiksaan yang diderita Para Terdakwa. Lembaga Negara Independen tersebut menemukan adanya tindak penyiksaan yang terjadi dengan tujuan korban mengakui tindak pembegalan. Ditemukan setidaknya 10 (sepuluh) bentuk tindak penyiksaan. Selain itu, setidaknya ditemukan 8 (delapan) bentuk kekerasan verbal terhadap kesembilan orang yang ditangkap juga tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.

Keenam, masih terkait dengan penyiksaan. Majelis Hakim secara serampangan dan bertentangan dengan KUHAP justru membebankan pembuktian penyiksaan kepada Para Terdakwa. Padahal, Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Asas Actori incumbit onus probandi). Di sisi lain, Majelis Hakim membiarkan penuntut umum yang enggan membuktikan ada tidaknya penyiksaan, bahkan tidak membebankan kewajiban bagi Penuntut Umum untuk membuktikan ihwal penyiksaan hal tersebut bertentangan dengan KUHAP, Asas dan Putusan MA No. 2588 K/Pid.Sus/2010 yang menyatakan “bahwa dugaan torture (penyiksaan) yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh JPU, bukan terdakwa. dengan demikian, JPU wajib membuktikan torture tersebut tidak terjadi.

Ketujuh, perbuatan Para Terdakwa yang didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 365 ayat (2) ke-2 dengan ancaman pidana penjara 12 tahun, hanya dijatuhkan 10 bulan dan 9 bulan kepada Para Terdakwa. Terhadap putusan tersebut, menjadi lumrah ketika publik kemudian bertanya-tanya, dakwaan dengan ancaman pidana yang begitu tinggi mengapa diterapkan begitu rendah. Putusan ini justru menunjukkan keragu-raguan dan posisi yang tidak tegas dari Majelis Hakim. Padahal terdapat adagium yang begitu mahsyur yang seharusnya menjadi pegangan Majelis Hakim, yaitu: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum bahwa dugaan (peyiksaan) yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh JPU, bukan terdakwa. Dengan demikian, JPU wajib membuktikan tersebut tidak terjadi satu orang yang bersalah” dan ” Dalam keraguan, hakim akan menggunakan hukuman yang paling meringankan bagi terdakwa (asas in dubio pro reo)

Dari sana kami menilai bahwa Majelis Hakim sebenarnya meyakini bahwa Para Terdakwa bukanlah Pelaku Tindak Pidana sebagaimana dimaksud, namun sayangnya Majelis Hakim tidak berani memutus bebas para terdakwa melainkan dengan bersiasat memberikan Putusan rendah.

Kedelapan, dalam persidangan dengan agenda pembacaan putusan ini, terdapat hal yang bagi kami cukup janggal. Terdapat segerombolan Polisi baik di bangku pengunjung sidang maupun diruangan belakang meja Hakim, termasuk beberapa penyidik di Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi yang hadir melihat dan mendengar pembacaan putusan. Di awal persidangan, TAP telah mepertanyakan kehadiran Polisi kepada Majelis Hakim apakah Pengadilan meminta bantuan pengamanan dari Kepolisian. Hakim Ketua Chandra Ramadhani mengatakan bahwa pihak Kepolisian yang berkoordinasi menanyakan kapan jadwal sidang putusan M. Fikry dkk. dilaksanakan di Pengadilan Negeri Cikarang. Kehadiran Kepolisian bukanlah dalam rangka mengamankan persidangan berdasarkan keterangan Hakim kepada TAP. Tentunya hal ini patut dipertanyakan, apa kepentingan Kepolisian dalam perkara yang sudah mereka limpahkan ke Kejaksaan dan sekarang sudah bergulir di Pengadilan? Kedatangan mereka patut diduga menyiratkan pesan-pesan intimidasi bagi independensi kekuasaan kehakiman dalam memutuskan perkara.

Dengan dijatuhkannya putusan seperti ini semakin menunjukkan minimnya perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki aparat penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan maupun hakim sebagai pemutus perkara dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia. Serta menegaskan, minimnya upaya dan keberanian dari Pengadilan untuk menghentikan kasus salah tangkap dan menutup ruang-ruang penyiksaan yang kerap dilakukan oleh pihak Kepolisian untuk mengejar pengakuan dalam proses penyidikan yang berakibat luas pada terjadinya kasus-kasus salah tangkap kedepan.

Berdasarkan hal tersebut kami menilai selain telah terjadi salah tangkap (error in persona) Penyiksaan (torture), Penuntutan Jahat (Malicious prosecution) juga telah terselenggara peradilan sesat (miscarriage of justice) terhadap para Terdakwa.

Hormat kami,

TIM ADVOKASI ANTI PENYIKSAAN

1. Andi Muhammad Rezaldy (KontraS)
2. Teo Reffelsen (LBH Jakarta)