Terus Berulang, Negara Selalu Brutal Dalam Menanggapi Aspirasi Masyarakat Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras seluruh bentuk tindakan brutalitas aparat kepolisian terhadap para demonstran yang menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pada 10 Mei 2022. Berdasarkan pemantauan dan informasi yang kami terima, terdapat beberapa tindakan seperti pembubaran paksa, pemukulan, pengejaran, penembakan, dan penangkapan sewenang-wenang. Adapun sejumlah kekerasan serta pelanggaran HAM tersebut terjadi di berbagai daerah seperti Abepura dan Heram. 

Penolakan terhadap DOB yang disuarakan masyarakat Papua merupakan ekspresi yang sah dan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Penyampaian pendapat di muka umum seharusnya ditanggapi lewat proses-proses yang dialogis, bukan represi terhadap massa aksi. Kekerasan yang terjadi di lapangan lagi-lagi mempertontonkan bahwa negara tak handal dalam menanggapi kritik publik, utamanya berkaitan dengan isu Papua. 

Peristiwa kekerasan ini juga semakin mempertegas bahwa negara masih sangat diskriminatif dan kerap mengedepankan pendekatan keamanan dalam menanggapi aspirasi masyarakat Papua. Terbukti, hampir seluruh tuntutan masyarakat Papua selalu direspon atau berakhir dengan kekerasan. Pola-pola yang sama terjadi pada aksi penolakan pemekaran, otonomi khusus dan tindakan rasial. 

Selain itu, tindakan aparat di lapangan juga dapat dikategorikan sistematis, sebab didasarkan oleh perintah Polda Papua lewat Surat Telegram. Hal ini jelas merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Dalam surat telegram tersebut, disebutkan bahwa beberapa daerah seperti Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Deiyai naik menjadi siaga I. Hal ini membuktikan bahwa Kepolisian menempatkan demonstrasi sebagai ancaman yang serius. 

Terbukti, instruksi tersebut secara nyata berimplikasi pada tindakan Kepolisian di lapangan. Langkah yang diambil kepolisian setidaknya telah menyebabkan 10 (sepuluh) orang mengalami luka-luka akibat pukulan, terkena gas air mata dari pihak kepolisian. Dari sejumlah video yang beredar pun, Kepolisian terlihat begitu brutal dalam penanganan aksi dengan menyerang demonstran terlebih dulu tanpa dengan alasan yang jelas. Hal ini jelas melanggar peraturan internal Kepolisian seperti Perkap No. 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu, berdasar Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Tetapi yang terjadi sebaliknya, anggota Polri justru menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk melukai massa aksi.

Penangkapan sewenang-wenang juga dilakukan Polresta Jayapura terhadap beberapa aktivis, salah satunya berlokasi di dalam kantor KontraS Papua. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, sekitar pukul 13.30 aparat sudah memenuhi jalan di depan KontraS Papua. Tak lama, aparat merangsek masuk ke kantor KontraS Papua dan mengambil barang seperti komputer, printer, buku, dan beberapa berkas. Selain itu, Kepolisian juga langsung menangkap beberapa orang di dalam kantor. Setidaknya kami mencatat terdapat 7 (tujuh) aktivis yang ditangkap dengan alasan yang tidak jelas, antara lain :

  1. Jefry Wenda
  2. Ones Suhuniap
  3. Omikzon balingga
  4. Max Mangga
  5. Esther Haluk (Staf KontraS Papua)
  6. Iman Kogoya
  7. Abbi Douw

Adapun dalih yang digunakan Polresta Jayapura untuk menangkap sejumlah orang tersebut seperti Jefry Wenda, hanya karena sebagai penanggung jawab aksi yang tidak mengantongi izin. Hal ini jelas keliru, sebab demonstrasi sebagaimana tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998 tidak mengenal konsep perizinan, melainkan pemberitahuan. Selain itu, orang yang ditangkap juga dijerat dengan dugaan pelanggaran terhadap UU ITE—karena telah membuat seruan ajakan maupun selebaran yang diteruskan kepada masyarakat luas. Padahal ajakan untuk melakukan demonstrasi secara damai, mutlak bukan pelanggaran hukum karena bukan bagian dari ujaran kebencian.  

Jika ditelisik ke belakang, gelombang penolakan Orang Asli Papua terhadap DOB yang dibuat oleh pemerintah pusat telah dilakukan sejak tahun 1999, akan tetapi tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan kemudian dilegalkan pada tahun 2021. Penolakan masyarakat Papua berangkat dari proses perumusan yang tidak partisipatif, sebab Orang Asli Papua (OAP) tak pernah serius untuk diajak bicara. Selain itu, DOB ini juga berpotensi menimbulkan rasa tidak aman, sebab adanya kekhawatiran akan diterjunkan kembali sejumlah aparat keamanan yang dapat meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah pihak:

  1. Pemerintah dalam hal ini Presiden dan DPR RI untuk membatalkan pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Selain itu, UU Otsus sebagai landasan DOB juga harus ditunda keberlakuannya hingga proses uji materi di Mahkamah Konstitusi selesai;
  2. Polri untuk segera menarik pasukan di Papua dan menjatuhi sanksi tegas baik disiplin, kode etik, hingga pidana terhadap anggota yang terbukti melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Serta membebaskan tanpa syarat sejumlah aktivis Papua yang ditangkap secara sewenang-wenang;
  3. Komnas HAM untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam proses penanganan aksi penolakan DOB di Papua. 

Jakarta, 11 Mei 2022
Badan Pekerja KontraS,

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator