Instruksi Kapolda Jabar Berbahaya dan Berpotensi Besar Melanggar HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengecam pernyataan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat yang menginstruksikan jajarannya hingga tingkatan Polsek untuk menindak tegas pelaku geng motor dan begal, termasuk dengan cara tembak di tempat. Kami melihat bahwa hal tersebut merupakan tindakan reaktif dan tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan selanjutnya. Instruksi ini jelas berbahaya sebab berpotensi melanggar HAM dan melegitimasi tindakan represif aparat di lapangan tanpa parameter yang terukur

Kami mafhum bahwa keberadaan begal memberi keresahan bagi masyarakat. Akan tetapi, pernyataan juga langkah kepolisian harus terukur karena langkah gagasan kepolisian diawasi oleh peraturan internal dan perundang-undangan, seperti Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian disebutkan bahwa penggunaan kekuatan harus dilakukan berdasar prinsip legalitas, proporsionalitas, preventif dan masuk akal (reasonable). Adapun sesuai dengan prinsip kewajiban umum, anggota Polri diharuskan tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum. Artinya, penggunaan kekuatan harus berdasar parameter yang terukur. Selain itu, Pasal 5 Perkap No. 1 Tahun 2009 juga menjelaskan mengenai tahapan penggunaan senjata yang mengutamakan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan atau tersangka. Artinya, keputusan anggota Polisi di lapangan tidak bisa serta merta bertujuan untuk mematikan.

Tembak di tempat sebagai upaya yang diambil oleh aparat penegak hukum juga harus tunduk pada standar yang telah digariskan Internasional dalam rangka menjaga hak hidup, hak atas kebebasan dan hak atas rasa aman. Dalam Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials disebutkan bahwa penggunaan senjata api yang tidak dapat dihindari, penegak hukum harus melakukan pengendalian diri dalam penggunaan dan tindakan tersebut secara proporsional dengan keseriusan pelanggaran dan tujuan sah yang ingin dicapai.

Institusi Kepolisian juga sebenarnya telah memiliki mekanisme deteksi dini sebagaimana yang dilakukan oleh bagian Intelkam.  Selain itu, Kepolisian juga memiliki sistem pengawalan reguler yang seharusnya dapat mengidentifikasi ancaman atau potensi tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat. 

Kami melihat bahwa aksi begal sebagai sebuah tindakan kriminal harus didekati dengan pendekatan sistem peradilan pidana, bukan justru pendekatan represif di lapangan. Pemerintah juga harus melihat persoalan keseluruhan agar akar masalahnya dapat pula terselesaikan. Solusi yang dihadirkan juga seharusnya menyasar secara sistemik, bukan justru reaktif terhadap satu masalah, terlebih akan menimbulkan korban dari warga sipil. 

Sebelumnya pada 2018 menjelang penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games, Kapolri mengeluarkan instruksi serupa. Perintah untuk melakukan menindak tegas dan tembak mati ditempat kepada jambret, begal dan pengedar narkotika justru menimbulkan korban jiwa. Sepanjang 2018, KontraS mencatat terdapat 182 peristiwa dengan model tembak ditempat yang menewaskan 236 orang. Alih-alih memproses hukum melalui sistem peradilan pidana, Polri memilih pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) yang jelas menyerabut hak hidup setiap dan merupakan hak asasi yang tak bisa sedikitpun dikurangi dalam keadaan apapun. Kami mengkhawatirkan hal serupa kembali terjadi khususnya di Jawa Barat. 

Belum lagi salah tangkap masih kerap kali terjadi ketika Kepolisian sedang memburu terduga pelaku tindak pidana. Hal ini pernah terjadi misalnya pada kasus salah tangkap dan penyiksaan terhadap Abbas dan Aji – yang dituduh melakukan begal. Begitupun dalam kasus Muhammad Fikry yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polsek Tambelang dan mendapatkan penyiksaan untuk mengakui bahwa telah melakukan pembegalan. 

Penembakan pada dasarnya merupakan bentuk penghukuman, padahal sebelumnya pelaku tersebut statusnya masih terduga. Penting untuk diingat bahwa Pasal 6 huruf a Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas menyebutkan hak setiap orang untuk diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak. Oleh karena itu, tindakan yang diambil berupa tembak di tempat terhadap terduga pelaku begal tanpa melalui proses hukum jelas masuk kategori penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Selain itu, instruksi dan tindakan ini bukan hanya melanggar HAM, tetapi juga dapat melanggengkan stigmatisasi sebagai cara buruk Kepolisian dalam mengidentifikasi pelaku tindak pidana. Hal tersebut akan semakin melegitimasi anggota di lapangan untuk bertindak sewenang-wenang, tak terkontrol terhadap warga sipil.  

Atas dasar uraian tersebut, KontraS mendesak berbagai pihak:

Pertama, Kapolri untuk menegur kinerja Kapolda Jawa Barat melakukan audit serta mengevaluasi secara menyeluruh terkait dengan pengerahan kekuatan aparat di lapangan. Selain itu, Kapolri harus menertibkan jajarannya agar tidak menerbitkan produk hukum, instruksi, langkah teknis yang melanggar HAM dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 

Kedua, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM RI dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan operasi cipta kondisi tersebut agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

 

Jakarta, 2 Juni 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator