Menolak Calon Bermasalah: Proses Pemilihan Calon Komisioner Komnas HAM Harus Profesional dan Kredibel!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti proses pemilihan calon komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meloloskan calon Komisioner dari anggota Polri, yaitu Inspektur Jenderal Remigius Sigid Tri Hardjanto pada 27 Mei 2022.[1] KontraS menyayangkan adanya anggota polisi aktif yang masuk di dalam 50 nama calon komisioner lolos tes tertulis objektif-penulisan makalah untuk periode 2022-2027. Proses pemilihan ini seharusnya melewati proses yang transparan dan akuntabel serta memperhatikan aspek kemungkinan konflik kepentingan.

Kami melihat lolosnya Sigid tidak lepas dari sepak terjang pendahulunya seperti Firli Bahuri yang melintas ke institusi sipil lain yang kini menjadi Ketua KPK atau Iriawan alias Iwan Bule yang sempat menjadi Pjs Gubernur. Sangat disayangkan, turut sertanya polisi dalam pendaftaran anggota di Lembaga Non Struktural sudah pernah terjadi sebelumnya saat seleksi anggota LPSK dan Ombudsman.

Keterlibatan anggota polisi bukanlah barang baru. Jika ditilik ke belakang sejak 2014 hingga 2019, Presiden Joko Widodo memberi banyak peran kepada pejabat atau purnawirawan Polri. Beberapa di antaranya adalah Komjen Mochammad Iriawan sebagai Ketua Umum PSSI, Jenderal (purn) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Komjen Setyo Wasisto sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian, Komjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, dan Komjen (purn) Budi Waseso Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas).

KontraS secara tegas menolak potensi konflik kepentingan dengan adanya anggota polri aktif yang lolos di tahap administrasi dan tertulis dalam proses pemilihan ini. Diloloskannya anggota polri aktif, Komnas HAM dikhawatirkan akan menjadi bias dan diintervensi lebih dalam seperti misalnya Kompolnas yang kemudian ak mampu mencegah atau merekomendasikan hal secara konkret dalam perbaikan polri. Sehingga, akan sulit bagi Komnas HAM jika hal serupa terjadi.

Hilang refleksi di tubuh kepolisian bukan masalah besar, tetapi menjadi menghilangkan kesempatan reflektif dari tubuh kepolisian untuk pembenahan. Diloloskannya anggota polri tersebut tentu menyalahi aturan profesionalisme Polri sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 ayat (3), yaitu Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Dari data komnas HAM hingga tahun 2021 mengatakan polri sebagai aktor yang paling sering dilaporkan atas dugaan pelanggaran HAM dan tidak ada perbaikan. Lalu bagaimana jika nanti terpilih calon komisioner dari polri?

Ditinjau dari hasil seleksi tertulis yang sudah dikeluarkan, KontraS mendorong adanya proses yang diselenggarakan terbuka dengan mempertimbangkan aspek profesionalitas dan menghasilkan hasil pemilihan secara kredibel. Konflik kepentingan harus dihindari sejak proses awal seleksi karena calon komisioner yang terpilih untuk periode 2022-2027 bukan sosok yang justru menjadi ancaman bagi kondisi HAM. Komisioner yang nantinya terpilih tak hanya sekadar memenuhi syarat namun juga harus mampu menjawab kebutuhan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia.

 

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak:

  1. Panitia seleksi memperhatikan proses pemilihan calon komisioner tak hanya melalui persyaratan administratif namun harus melihat keseluruhan aspek secara holistik.
  2. Panitia seleksi membuka indikator dan alat uji dalam seleksi di luar dari public hearing nantinya untuk melihat kapasitas dari masing-masing calon juga mendorong transparansi pansel agar publik bisa konsisten mengawal.

 

Jakarta, 2 Juni 2022

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator KontraS

[1] Lihat https://tirto.id/saat-polisi-aktif-lolos-seleksi-calon-anggota-komnas-ham-2022-2027-gsuu