Sudahi Stagnasi 13 Tahun, Hentikan Penghilangan Paksa Terjadi Lagi!

Kak Ruth dan Bang Jos, tidak terasa 5 tahun sudah dilewati tanpa berjumpa, tanpa cerita, dan tanpa panggilan video. Sejak November 2016 kami kehilangan kontak dengan Kak Ruth dan Bang Jos. Sudah begitu banyak usaha yang kami lakukan tapi hasilnya nihil. Apakah karena kami orang yang kurang mampu? Hanya segelintir orang yang peduli kepada kami, apakah karena kami bukan orang yang memiliki jabatan? Kami menduga mereka dihilangkan secara paksa oleh oknum aparat tertentu. Makanya polisi sendiri gak bisa menemukan jejak mereka.” Begitulah sepenggal surat yang ditulis Rosmawati Ginting, adik dari Ruth Sitepu salah seorang korban penghilangan paksa.   

Penghilangan Paksa adalah kejahatan keji yang tidak hanya menghilangkan hak kemerdekaan diri seseorang, melainkan juga sejumlah hak lain seperti perlindungan hukum, bebas dari penyiksaan, hak hidup dsb. Tidak seorang pun pantas mengalami hal tersebut dalam kondisi apapun, bahkan dalam perang atau keadaan darurat apapun. Mereka adalah anak, kakak, atau ayah dari keluarga yang terus menunggu kabar selama bertahun-tahun, apakah orang terkasih tersebut sudah meninggal atau masih hidup, mengapa meninggal atau dimana ia berada. Salah seorang ibu, Tuti Koto, hingga akhir hayatnya pada 5 November 2012 tidak pernah mendapat kepastian atas nasib anaknya, Yani Afri.

Kami tidak menginginkan penghilangan paksa yang dialami keluarga Rosmawati dan Tuti Koto kembali terjadi baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kepada siapapun juga. Penghilangan paksa bukan hanya terjadi di masa lalu, tetapi masih dan dapat kembali terjadi di masa depan. Untuk mencegah berulangnya kejahatan tersebut dan menjamin adanya perlindungan hukum dari Negara, diperlukan pengesahan Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa. Konvensi ini melarang segala penahanan yang dilakukan secara rahasia dan karenanya Negara harus menjamin adanya sejumlah standar hukum minimum terkait perampasan kemerdekaan. Selain itu, Konvensi ini juga mewajibkan agar setiap mereka yang hilang harus dicari dan keadilan harus ditegakkan, bahkan jika pencarian dan investigasinya harus melibatkan kerjasama dari negara-negara lain. Dengan demikian Konvensi ini mendesak dan penting diratifikasi bukan hanya bagi keluarga korban, tapi seluruh bangsa Indonesia.

Setelah mengalami stagnasi ratifikasi selama 13 tahun, akhirnya RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa telah berada di meja Komisi I DPR RI setelah Surat Presiden dikeluarkan pada 27 April 2022. Ini bukan kali pertama RUU Ratifikasi Konvensi masuk ke parlemen. Pada tahun 2013 RUU juga pernah masuk ke Komisi I DPR, namun Komisi I menunda pembahasan dengan alasan memerlukan waktu untuk mendalami. Penundaan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga akhirnya DPR periode 2009-2014 pun berganti. Padahal sesungguhnya ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa merupakan rekomendasi Pansus DPR sendiri kepada Pemerintah RI pada tahun 2009. Apalagi sebagai RUU Kumulatif Terbuka, Konvensi ini tidak perlu lagi menunggu Prolegnas untuk dibahas di parlemen. Sehingga sesungguhnya, tidak ada halangan apapun bagi Konvensi ini untuk dapat disahkan segera. 

Pembahasan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan menghidupkan semangat bagi keluarga korban serta memberikan jaminan bahwa tiap individu tidak boleh dihilangkan secara paksa dalam kondisi apapun. Langkah tersebut menjadi penting sebagai bagian dari pencegahan dan komitmen Indonesia dalam penegakan serta perlindungan hak asasi manusia agar kejahatan penghilangan paksa tidak terjadi kembali di kemudian hari.

Berdasarkan hal tersebut, kami memberikan rekomendasi kepada Komisi I DPR RI untuk: 

  1.   Segera membahas RUU Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagaimana DPR memiliki waktu maksimal 60 hari sejak Surat Presiden diterima untuk wajib memulai pembahasan RUU, sesuai dengan Pasal 50 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
  2.   Menyampaikan secara terbuka dan berkala kepada publik terkait dengan perkembangan dari pembahasan i Konvensi Anti-Penghilangan Paksa. 

 

Jakarta, 4 Juni 2022

Badan Pekerja KontraS,

 

Rivanlee Anandar

Wakil Koordinator Eksternal