PTUN Menolak Gugatan Perlawanan Pengangkatan Pangdam Jaya: Bukti TNI Kebal Hukum di Negara Hukum

Keluarga korban penghilangan paksa 1997 – 1998 bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, LBH Jakarta, dan AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, menyesalkan putusan Majelis Hakim PTUN DKI Jakarta tertanggal 16 Juni 2022 yang memutus tidak menerima gugatan No. 87/PLW/2022/PTUN.JKT yang dilayangkan Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil terkait dengan perlawanan atas Penetapan Dismissal PTUN Jakarta terhadap pengangkatan Mayor Jenderal Untung Budiharto – salah satu anggota Tim Mawar Kopassus yang terbukti bersalah dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998 menjadi Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.

Dalam pertimbangan dalam putusan, Majelis Hakim PTUN Jakarta berpendapat “dengan adanya kekosongan hukum mengenai Peradilan Militer yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Angkatan Bersenjata/Militer bukan pula kemudian mutatis mutandis menjadi ranah/kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara.” Terhadap putusan penolakan gugatan perlawanan atas Penetapan Dismissal PTUN Jakarta oleh PTUN DKI Jakarta ini kami berpendapat, sebagai berikut:

Pertama, Majelis Hakim PTUN DKI Jakarta Turut Melanggengkan Praktik Impunitas di Indonesia.

Pasalnya, ditolaknya gugatan perlawanan atas Penetapan Dismissal PTUN Jakarta oleh PTUN DKI Jakarta membuktikan bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta turut melakukan pembiaran serta melanggengkan praktik Impunitas di Indonesia dimana Untung Budiharto, salah satu anggota Tim Mawar Kopassus yang terbukti diputus bersalah oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta No. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998, kemudian dibiarkan memegang jabatan penting dalam tubuh TNI seperti Pangdam Jaya. Terlebih, jabatan publik ini cukup strategis di Tubuh TNI karena jabatan ini yang memimpin dan mengendalikan sejumlah besar pasukan bersenjata di bawahnya yang notabene menjadi pemegang komando utama pembinaan dan operasional kewilayahan TNI AD yang meliputi Provinsi Jakarta Raya, Kota Depok, Kota/Kabupaten Bekasi, dan Kota/Kabupaten Tangerang.

Kedua, Mencoreng Wajah Penegakan Hukum dan Penghormatan HAM di Indonesia.

Putusan ini jelas telah mencoreng wajah penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya tentu menjadi preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi personel sektor keamanan, serta penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat. Pejabat publik yang terlibat pelanggaran HAM telah menunjukkan ketiadaan integritas yang mendasar dan merusak kepercayaan warga negara yang seharusnya mereka layani. Dipegangnya jabatan Pangdam Jaya oleh pelanggar HAM sendiri menjadi “hambatan” dan berpotensi mempersulit para penegak hukum, karena integritas dari pelanggar hukum tentu dipertanyakan untuk terbuka dalam penegakkan hukum. Terutama dengan rekam jejak Untung Budiharto sebagai penjahat hak asasi manusia, yang bersangkutan berpotensi dapat mengulangi kembali perbuatannya dengan kerusakan yang lebih masif mengingat posisi yang saat ini dijabat oleh Untung Budiharto. Dengan demikian, preseden buruk ini bukan hanya merugikan penyintas, korban, dan keluarga korban penghilangan paksa 1997 – 1998 melainkan juga seluruh warga negara Indonesia dan masa depan bangsa karena telah memberikan ruang bagi penjahat kemanusiaan untuk menjalankan pemerintahan. Pejabat dan pegawai publik yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh sejumlah instrumen hukum HAM internasional.

Ketiga, Gagal Mewujudkan Kepastian Hukum Bagi Keluarga Korban dan Masyarakat Indonesia.

Pengangkatan Untung Budiharto menjadi Panglima Kodam Jaya tentu mencederai perjuangan keluarga korban dan pendamping yang terus mencari keberadaan korban yang masih hilang, namun orang-orang yang berada pada inti kasus tersebut, termasuk Untung Budiharto, tidak pernah berterus terang atas kebenaran kasus atau membantu investigasi pencarian, namun lagi-lagi malah diberi apresiasi dan promosi jabatan. Gagalnya pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Militer di kamar Pengadilan Tata Usaha Negara justru semakin mempersempit ruang akses keadilan bagi korban (access to justice) dan menunjukkan ketiadaan kepastian hukum bagi keluarga korban. Pengambilan keputusan dalam tubuh TNI yang sewenang-wenang yang tidak dapat diuji di kamar Pengadilan manapun termasuk PTUN tentu akan membahayakan, sebab apabila terdapat Keputusan Tata Usaha Militer yang sewenang-wenang dan merugikan masyarakat banyak seperti yang ada saat ini, tidak ada sarana bagi masyarakat untuk mencari perlindungan hukum dan keadilan. Padahal Keputusan Tata Usaha Militer yang sewenang-wenang dapat merugikan banyak pihak, dan tidak terkecuali anggota militer sendiri.

Keempat, Majelis Hakim PTUN Jakarta Gagal Memberikan Keadilan Substantif Bagi Keluarga Korban dan Masyarakat Indonesia

Karena tidak ada konstruksi hukum yang memadai, Pengangkatan Pangdam Jaya justru tak dapat diuji dalam sebuah proses hukum yang objektif dan imparsial. Seharusnya Majelis Hakim PTUN Jakarta mempertimbangkan substansi keadilan dibanding prosedural semata dan sudah sepatutnya Pengadilan memegang teguh Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Hakim harus benar-benar memperhatikan hukum dan keadilan secara substantif, dengan demikian Hakim tidak hanya dikatakan sebagai corong Undang-Undang melainkan corong keadilan bagi para korban yang dirugikan. Dengan ditolaknya gugatan ini mencerminkan bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta gagal memberikan keadilan substantif bagi keluarga korban dan juga masyarakat Indonesia.

Kelima, TNI Kebal Hukum di Negara Hukum

Ditolaknya gugatan perlawanan, menunjukkan bahwa TNI kebal hukum di Negara Hukum. Secara praktik, keputusan tata usaha militer tidak dapat diuji oleh mekanisme hukum apapun. Hal ini juga secara gamblang membuka tirai eksklusivitas dalam tubuh TNI – yang membuat TNI menjadi unsur yang superior dan tidak dapat tersentuh oleh hukum. Kondisi ini juga sangat mengkhawatirkan karena telah mengakibatkan keputusan militer tidak bisa mendapat masukan atau kritik dari publik sebagai fungsi check and balances untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bahkan oleh hukum di Negara hukum Indonesia sendiri.

Jakarta, 16 Juni 2022

Koalisi Masyarakat Sipil