Penunjukan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh: Melukai Hati Rakyat Aceh

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Katahati Institute, Perludem, dan ICW menyoroti secara tajam langkah yang kembali ditempuh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menetapkan Penjabat Kepala Daerah. Terbaru, Kemendagri akan melantik Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai penjabat (PJ) Gubernur Provinsi Aceh. Sebagai informasi, Achmad merupakan prajurit TNI yang pernah menjabat sebagai Pangdam Iskandar Muda pada 2020-2021 dan saat ini telah berstatus sebagai purnawirawan prajurit TNI AD, yang kemudian sempat menjabat sebagai Tenaga Ahli Pengkaji bidang Kewaspadaan Nasional Lemhannas.[1]

Kami menilai diangkatnya Achmad Marzuki menunjukkan bahwa latar belakang militer masih dijadikan pertibangan untuk mengisi jabatan sipil. Hal ini merupakan langkah yang tidak tepat sebab tidak berdasarkan pada prinsip merit sistem yang menghendaki penempatan posisi pada jabatan publik yang harus diisi berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerjanya.

Yang lebih mengecewakan, ternyata dalam prosesnya nama Achmad Marzuki  menjadi satu dari 3 nama calon penjabat yang diusulkan DPR Aceh ke Kemendagri. ​​Di samping itu, Kemendagri juga lebih memilih nama Mayjen Achmad Marzuki, sebagai PJ Gubernur Aceh tanpa memperhatikan aspek politis dan historis yang panjang.

Hal Ini tentunya melukai hati masyarakat Aceh, mengingat sejarah panjang konflik dan pelanggaran HAM serta sejumlah korban yang belum terpenuhi haknya terutama hak atas pemulihan harusnya menjadi pertimbangan. Wakil rakyat Aceh dan Kemendagri tidak mempertimbangkan aspek historis konflik di Aceh. Dua tahun setengah bukanlah waktu yang singkat, namun dalam kepemimpinan transisinya ada sejumlah pekerjaan rumah dalam upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM termasuk pendekatan humanis.

Penunjukan ini juga berlawanan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian di kantornya yakni pada bulan lalu yang menyatakan bahwa tidak akan menunjuk TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Penunjukan lagi-lagi juga tidak mengindahkan Perintah MK untuk mendasarkan penunjukan pada aturan pelaksana soal penunjukan PJ Kepala Daerah. Terlebih penting lagi, penunjukan langsung penjabat kepala daerah Aceh ini telah melanggar hak asasi manusia karena tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel karena tidak ada forum terbuka yang dapat diakses oleh publik yang berkepentingan khususnya masyarakat Aceh, untuk dapat terlibat dalam prosesnya. Padahal, Hak Atas Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak konstitusional dalam konstitusi berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.

Sebelumnya, pada tanggal 12 Mei 2022, Kemendagri telah melantik lima orang menjadi penjabat Gubernur tanpa adanya partisipasi dari publik. Antara lain ialah Al Muktabar (Sekretaris Daerah Banten) sebagai Penjabat Gubernur Banten; Ridwan Djamaluddin (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) sebagai Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung; Akmal Malik (Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri) sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat; Hamka Hendra Noer (Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga) sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo; dan Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw (Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Kementerian Dalam Negeri) sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat. Selain itu, Kemendagri juga melantik seorang perwira tinggi (Pati) TNI yang masih aktif, yakni Brigjen Andi Chandra As’Aduddin menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat.

Kami melihat bahwa Kemendagri masih melakukan tindakan tidak patuh administratif dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah. Mengingat masih banyak daerah yang akan membutuhkan penjabat kepala daerah, dikhawatirkan penunjukan yang tidak transparan dan akuntabel, lalu masih terus di agungkannya latar belakang militer untuk mengisi jabatan sipil akan menjadi preseden dan terus terjadi berikutnya.

Oleh karena itu, kami menyatakan sikap agar Kemendagri tidak melantik dan/atau mencabut penunjukan penjabat Kepala Daerah Provinsi Aceh (Gubernur Aceh). Selanjutnya, kami mendorong Kemendagri dalam menempatkan Penjabat Kepala Daerah harus secara transparan dan akuntabel, serta tidak lagi menempatkan Penjabat Kepala Daerah dengan latar belakang TNI-Polri.

 

5 Juli 202222

KontraS, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Katahati Institute, ICW, dan Perludem.

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220704221120-20-817191/tito-akan-lantik-mayjen-achmad-marzuki-jabat-pj-gubernur-aceh-esok