Pengusutan Kasus Kematian Brigadir J Harus Independen, Transparan, dan Akuntabel!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti proses pengusutan kasus penembakan terhadap Brigadir J yang terjadi di kediaman Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri, Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.[1] Berdasarkan informasi yang kami himpun, terdapat berbagai kejanggalan yang mewarnai proses pengusutan kasus ini.

Dari beberapa kronologis yang disampaikan Polri, terdapat beberapa kejanggalan yang sifatnya tak masuk akal. Adapun beberapa kejanggalan atas peristiwa tersebut antara lain:[2]

  • Terdapat disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik yakni sekitar 2 hari;
  • Kronologis yang berubah-ubah disampaikan oleh pihak Kepolisian;
  • Ditemukannya luka sayatan pada jenazah Brigadir J di bagian muka;
  • Keluarga yang sempat dilarang melihat kondisi jenazah;
  • CCTV dalam kondisi mati pada saat peristiwa terjadi;
  • keterangan Ketua RT yang menyebutkan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses Olah TKP; dan

Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa Kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J. Terlebih keberadaan Kadiv Propam saat peristiwa terjadi pun tidak jelas.[3] Belum lagi, keterangan mengenai luka tembak antara keterangan Polri dengan keluarga memiliki perbedaan yang signifikan. Pihak keluarga mengatakan ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher. Selain itu, mereka juga mengatakan terdapat luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki. Hal ini berlainan dengan keterangan Kepolisian yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh luka dari lima tembakan.[4]

Bukan kali pertama, upaya Kepolisian dalam menyembunyikan fakta juga terjadi pada kasus terdahulu, seperti halnya penembakan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI). Pada persidangan kasus, terbukti bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan.[5]

Selain itu, dalam kasus penyiksaan yang kami tangani yakni terhadap Alm. Hermanto, pihak Kepolisian juga terkesan menutupi kasus dengan menghalangi jenazah yang meninggal untuk dilihat oleh pihak keluarga.[6] Selain itu, untuk lari dari pertanggungjawaban pidana pun, anggota Kepolisian berdalih bahwa tindakan diambil merupakan langkah terukur terhadap pelaku kriminal. Padahal dalam peristiwa ini, kami justru menemukan adanya dugaan rekayasa kasus dan fakta.

Berdasarkan pemantauan KontraS, dalam mekanisme pertanggungjawaban perkara pidana yang melibatkan anggota kepolisian, kami menemukan sejumlah pola yang terjadi, pertama ketidaktegasan dalam mendorong mekanisme pidana pada anggota yang terbukti bersalah dan menyerahkan pada mekanisme internal (etik/disiplin) semata; kedua, upaya menyelesaikan perkara dengan cara “kekeluargaan” atau “perdamaian” yang membuat pihak korban menjadi tertekan dan menyetop perkara; ketiga, tidak adanya evaluasi kelembagaan serta perbaikan institusi dari kesalahan yang terjadi. Selain memunculkan keberulangan peristiwa, hal tersebut tentu saja akan berimplikasi pada terkikisnya kepercayaan masyarakat dan meruntuhkan wibawa Korps Bhayangkara sebab, hal tersebut akan mencoreng asas equality before the law dan hanya akan memperpanjang fenomena impunitas aparat.

Langkah pengusutan kasus brigadir J sebenarnya dapat menjadi modal institusi Polri untuk memperbaiki kinerja, utamanya di ranah akuntabilitas—yang selama ini jadi sorotan masyarakat.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, Kapolri menjamin independensi dan transparansi kepada tim khusus yang bertugas untuk mengungkap fakta peristiwa serta menyampaikan secara berkala pada publik atas perkembangan yang terjadi.

Kedua, Kapolri menjamin ruang masukan, saran, serta penyampaian dari pihak keluarga korban untuk bebas dari tindakan intimidatif dan tekanan dalam bentuk lain guna mencari fakta seterang-terangnya.

Ketiga, Meminta pengawasan eksternal Kepolisian, seperti Kompolnas juga memastikan profesionalitas kelembagaan dalam pengusutan perkara, serta meminta LPSK untuk menjamin perlindungan bagi keluarga korban.

 

Jakarta, 13 Juli 2022
Badan Pekerja KontraS

 

 

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator

 

[1] Lihat https://www.suara.com/news/2022/07/12/164859/kronologi-kasus-polisi-tembak-polisi-di-rumah-kadiv-propam-hingga-tewaskan-brigadir-j

[2] Lihat https://nasional.kompas.com/read/2022/07/12/13211071/5-kejanggalan-kasus-polisi-tembak-polisi-di-rumah-irjen-ferdy-sambo?page=all

[3] Lihat https://www.suara.com/news/2022/07/13/114903/7-kejanggalan-kasus-polisi-tembak-polisi-di-rumah-kadiv-propam-cctv-rusak-motif-hingga-luka

[4] Ibid.

[5] Selengkapnya https://kontras.org/2022/03/20/temuan-dan-keganjilan-atas-proses-hukum-kasus-unlawful-killing-anggota-laskar-fpi/

[6] Selengkapnya https://kontras.org/2022/03/17/upaya-paksa-sewenang-wenang-penyiksaan-dan-penggunaan-kekuatan-berlebihan-terhadap-alm-hermanto-harus-diusut-secara-transparan-dan-akuntabel/