Surat Terbuka untuk Mahkamah Agung Menggelar Pengadilan HAM Peristiwa Paniai dengan Berkualitas

Nomor : 22/SK-KontraS/VII/2022
Perihal : Surat Terbuka terkait Pengadilan HAM Paniai

Kepada Yang Terhormat
Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin, SH., MH
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Di Tempat

Melalui surat ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia agar menggelar Pengadilan HAM atas pelanggaran HAM berat di Peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014 seadil mungkin sejak awal bahkan sebelum persidangan dilaksanakan. Setelah tiga Pengadilan HAM sebelumnya (baik ad hoc maupun permanen) membebaskan seluruh terdakwa pada 18 tahun lalu, kualitas Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai ini merupakan tonggak penting untuk membuktikan kepada seluruh masyarakat: sesungguhnya kepada siapakah keadilan di negara ini berpihak, para korban atau pelaku.

Dalam pemantauan yang kami lakukan berdasarkan perkembangan yang tengah berlangsung, kami menemukan sejumlah catatan yang penting untuk kami sampaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini, kami meminta kepada Mahkamah Agung untuk:

Pertama, menggelar sidang kasus Paniai pada Pengadilan Negeri di tanah Papua, bukan Pengadilan Negeri Makassar. Pada Juni 2022 Kejaksaan Agung mencoba melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Makassar sebagai lokasi Pengadilan HAM. Padahal Pasal 45 UU 2/2021 jo. UU 21/2000 tentang Otonomi Khusus Papua jo. Pasal 3 ayat (1) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwasanya pelanggaran HAM berat di wilayah Papua harus diadili oleh Pengadilan HAM yang juga berlokasi di Papua. Pemilihan lokasi tentu sangat penting untuk memberikan akses bagi para korban, saksi dan warga Papua secara luas dapat mengikuti persidangan secara langsung. Berkaca pada pengalaman, kendala jarak dan akses dari kasus yang terjadi di Papua dan diadili di Makassar terbukti menghambat proses Pengadilan HAM atas Peristiwa Abepura 2000. Oleh karena itu berdasarkan hukum, persidangan kasus Paniai sepatutnya digelar setidaknya pada Pengadilan Negeri Jayapura.

Kedua, membuka akses publik untuk dapat menyaksikan tes wawancara 33 calon hakim ad hoc Pengadilan HAM Paniai agar transparan dan akuntabel, serta memperpanjang waktu penerimaan laporan masyarakat atas rekam jejak para calon. Berkaca dari pemilihan Komisioner Komnas HAM yang juga tengah berjalan, dimana masukan masyarakat diterima hingga setelah tes wawancara dilangsungkan secara terbuka. Dengan demikian publik dapat mengawal proses dan turut mengetahui kapasitas para calon dari jawaban yang diberikan. Namun batas waktu pelaporan yang tersedia bagi publik saat ini untuk memberi masukan atas para calon hakim ad hoc yakni Senin, 18 Juli 2022 membatasi masyarakat untuk memberikan masukan bahkan sebelum tes wawancara dilakukan sehingga variabel pemantauan calon yang bisa dilakukan publik sangat terbatas. 

Ketiga, tidak memilih hakim dari kalangan TNI/Polri baik aktif maupun purnawirawan dikarenakan adanya potensi konflik kepentingan sebab Paniai merupakan kejahatan kemanusiaan yang melibatkan institusi TNI/Polri berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM. Dalam hasil penyelidikannya, Komnas HAM menyebutkan bahwa terjadinya Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 merupakan dampak dari adanya kebijakan Negara melalui Kepolisian RI dan TNI RI yang menetapkan daerah rawan di Paniai. Hasil penyelidikan kemudian menyebutkan secara spesifik sejumlah Pejabat TNI/Polri yang perlu diperiksa lebih lanjut atas peristiwa ini. Sementara itu, setidaknya dua dari 33 calon hakim ad hoc saat ini berasal dari latar belakang TNI. Dengan demikian Mahkamah Agung dapat mencegah potensi konflik kepentingan dari sejumlah calon hakim yang berasal dari TNI mengingat terdakwa juga seorang purnawirawan TNI.

Sejumlah catatan di atas hendaknya menjadi perhatian bagi Mahkamah Agung untuk menjamin terpenuhinya keadilan dan hak lainnya secara utuh bagi para korban dan publik secara umum. Proses peradilan yang baik dengan menguji kejanggalan yang muncul dalam setiap proses sejak dini oleh Mahkamah Agung yang berujung pada terungkapnya kebenaran dapat menjadi cikal bakal pemenuhan hak para korban. 

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatian Bapak, kami ucapkan terima kasih.

 

Jakarta, 15 Juli 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator