Hari Bhakti Adhyaksa Ke-62: Peristiwa Paniai Hanya Ada 1 Terdakwa dan Penyidikan yang Mengecewakan Warga +62

Dalam rangka Hari Adhyaksa 2022 yang bertema “Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi Nasional”, KontraS mendesak Kejaksaan Agung untuk membenahi proses penyidikan pelanggaran HAM berat termasuk yang sudah dilimpahkan ke pengadilan yakni Peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014. KontraS menyesalkan abainya Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti sejumlah catatan publik utamanya para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai. 

Buruknya kualitas penyidikan Peristiwa Paniai ditandai dengan sejumlah kejanggalan, diantaranya:

Pertama, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu satu orang terdakwa tunggal atas nama IS yang didakwa bertanggung jawab secara hukum atas peristiwa Paniai. Padahal Komnas HAM sebagai Penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran. Penggunaan pasal mengenai unsur rantai komando (Pasal 42 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM) untuk kejahatan kemanusiaan dalam perbuatan pembunuhan (Pasal 9 huruf a UU 26/2000) dan penganiayaan (Pasal 9 huruf h UU 26/2000) dalam Dakwaan yang dilansir Kejaksaan Agung namun hanya mengungkap satu terdakwa adalah bentuk ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas dengan membawa siapapun aktor yang terlibat dalam Peristiwa Paniai yang menewaskan sedikitnya 4 orang dan 21 orang luka-luka. Terdakwa IS hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Kedua, Kejaksaan Agung tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel dengan tidak melibatkan Penyidik Ad Hoc (dimungkinkan dengan diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU 26/2000) dan juga minim melibatkan para penyintas dan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya. Dalih Kejaksaan Agung yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Dr. Ketut Sumendana dalam satu wawancara dengan BBC Indonesia malah menunjukkan posisi Negara yang mengabaikan suara korban dan publik sejak peristiwa terjadi.

Ketiga, Kejaksaan Agung belum memenuhi hak para korban, penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai. Koordinasi seharusnya dibangun antara Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan dan juga memperjuangkan hak atas pemulihan baik rehabilitasi maupun restitusi atau kompensasi bagi para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai. Komunitas penyintas dan keluarga korban yang menyampaikan kekhawatiran dan posisi atas proses hukum ini merupakan akumulasi dari buruknya penanganan situasi dan kondisi mereka yang telah proaktif menyampaikan alat bukti yang ditemukan beserta kesaksian yang seharusnya dianggap penting untuk ditindaklanjuti oleh penegakan hukum yang baru dilakukan setelah hampir delapan tahun jeda dari waktu kejadian. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat keseriusan, motif dan profesionalitas Kejaksaan Agung di balik proses penyidikan ini. Dengan berbagai fakta di atas, kami berpandangan bahwa ST. Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung hari ini bukan hanya menciptakan stagnasi melainkan juga memundurkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Menyikapi hal tersebut, KontraS melakukan audiensi dengan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) pada 21 Juli 2022 untuk melaporkan berbagai kejanggalan dalam proses penting penegakan keadilan dan Hak Asasi Manusia ini. KKRI menyampaikan komitmen untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja Kejaksaan Agung yang vital peranannya dalam proses Pengadilan HAM. Permintaan audiensi juga sudah kami layangkan ke pihak Kejaksaan Agung, namun tidak ada tanggapan sampai siaran pers ini diterbitkan. 

Untuk itu, KontraS mendesak:
1. Presiden Jokowi untuk mengevaluasi dengan tegas kinerja Jaksa Agung ST. Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung yang membuat mundur situasi penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia.

  1. Komisi Kejaksaan Republik Indonesia untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dalam penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia.
  2. Kejaksaan Agung untuk membenahi proses penyidikan dengan menuntut pertanggungjawaban dari semua pelaku yang terlibat di Peristiwa Paniai. Kejaksaan Agung juga harus berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK untuk menegakkan hak para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai.

    Jakarta, 22 Juli 2022
    Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti
Koordinator