Temuan Atas Investigasi Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Empat Warga Sipil di Mimika, Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menaruh perhatian serius terhadap situasi kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus terjadi di Bumi Cenderawasih. Kondisi perlindungan, pemenuhan, dan pengakuan hak asasi manusia di Papua tak kunjung membaik hingga hari ini. Peristiwa pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Mimika pada 22 Agustus 2022 yang menimpa orang asli papua amat mencederai rasa kemanusiaan. Hingga kini dalam kasus tersebut sebanyak 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, enam diantaranya merupakan prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad. 

Empat korban warga sipil yakni Arnold Lokbere (AL), Irian Nirigi (IN), Lemaniol Nirigi (LN), dan Atis Alias Jenius Tini (JT)  diketahui berasal dari Kabupaten Nduga, Papua. Mereka sempat dituduh sebagai bagian dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Selain itu para korban juga dituduh melakukan transaksi jual-beli senjata api dengan para pelaku. Belakangan, tuduhan-tuduhan tersebut minim bukti dan aparat tidak konsisten.

Pada pertengahan September 2022 lalu, KontraS melakukan investigasi  untuk melakukan pendalaman terhadap informasi dengan menemui sejumlah pihak seperti, keluarga korban, hingga melakukan konfirmasi secara langsung ke otoritas terkait seperti Kasat Reskrim Polres Mimika, Penyidik Subdenpom XVII/C Mimika, dan pihak RSUD Mimika. Setidaknya, terdapat sejumlah temuan fakta yang dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Tuduhan bahwa keempat korban terlibat gerakan separatis tidak terbukti. Hal tersebut bertolak belakang dengan kesaksian keluarga yang disertai bukti pendukung. AL misalnya, merupakan pengurus gereja yang juga ditunjuk sebagai panitia pembangunan gereja. Korban IN merupakan pejabat aktif kepala Desa Kampung Yunat sekaligus pengurus gereja di Kenyam, Nduga. Korban LN yang beraktivitas sehari-hari sebagai sopir perahu yang stand by menunggu pesanan antar/jemput dari Nduga-Jita-Timika. Sedangkan, AT merupakan seorang anak yang sering membantu pamannya bertani dengan bercocok tanam.  

Kedua, Salah satu korban pembunuhan dan mutilasi masih berusia anak. Hal tersebut dibuktikan dengan data administrasi kependudukan berupa kartu keluarga yang menyatakan bahwa korban JT masih berusia 17 tahun.  

Ketiga, Tersangka militer dan sipil diduga menjalin hubungan bisnis. Mulanya, pelaku sipil dengan inisial J merupakan pelatih gym di pusat kebugaran Markas Komando Brigif Raider 20/IJK Kostrad. Para pelaku diketahui kerap berkumpul di gudang milik J. Informasi yang diperoleh dari warga sekitar lokasi gudang, pernah melihat mobil masuk membawa BBM jenis solar. Para tersangka dari militer tidak hanya mengetahui aktivitas J tersebut namun patut diduga turut terlibat.

Keempat, Minim bukti soal jual beli senjata. Tuduhan sedari awal yang dilakukan aparat salah satunya menggiring opini bahwa korban terlibat dalam jual beli senjata. Persoalannya yakni bahwa barang bukti senjata api laras panjang rakitan tidak dalam penguasaan penyidik Satreskrim maupun Subdenpom XVII/C Mimika. Kedua institusi tersebut menyatakan bahwa senjata yang dimaksud telah dibuang di sungai Pigapu bersamaan dengan pembuangan jenazah para korban.   

Kelima,  Seluruh jenazah korban ditemukan dengan kondisi tidak lengkap dan sejumlah potongan tubuh seperti kepala, tangan, dan kaki belum ditemukan hingga saat ini. Kami menduga bahwa mutilasi adalah bagian akhir dari proses pembunuhan tersebut. Ada dugaan lain yang memungkinkan bahwa potongan tubuh belum ditemukan hingga sekarang, seperti penembakan di bagian kepala. 

Keenam, Terdapat upaya menghilangkan barang bukti dan lari dari pertanggungjawaban pidana. Bahwa setelah rangkaian pembunuhan yang dilakukan, para tersangka melakukan mutilasi terhadap korban, membuang jenazahnya ke sungai hingga membakar mobil sewaan korban. Tidak responsifnya unsur negara dalam upaya pencarian jenazah. Bahwa sejak pertama kali jenazah ditemukan pada 26 Agustus 2022 yang terkonfirmasi merupakan korban AL, keluarga langsung meminta pertolong pencarian ke Polres dan kantor SAR Mimika. Sayangnya, pihak keluarga tidak mendapat tanggapan sehingga membuat keluarga melakukan pencarian mandiri. Hal tersebut membuat proses pencarian potongan tubuh jenazah semakin sulit, sebab telah dibiarkan berhari-hari.  

Ketujuh, Dugaan ada pelanggaran prosedur dalam proses autopsi. Bahwa proses autopsi terhadap keempat jenazah korban dilakukan atas permintaan penyidik Reskrim Polres Mimika tanpa pernah diberitahukan kepada keluarga. 

Kedelapan, tidak ada agenda pemulihan yang terencana. Sejak peristiwa pembunuhan dan mutilasi ini terungkap, keluarga korban tidak pernah sekalipun diajak berdiskusi terkait dengan agenda reparasi terhadap kerugian yang diderita keluarga korban. Institusi negara yang berwenang seperti halnya LPSK semacam tak punya itikad baik untuk menyembuhkan atau meringankan beban penderitaan yang dialami keluarga empat korban pembunuhan serta mutilasi. 

Dari hasil temuan investigasi sebagaimana telah dijabarkan di atas, kami menemukan pola kejahatan  yang terjadi di dalam struktur kasus tersebut, antara lain:

Pertama, tindakan aparat negara yang melakukan stigmatisasi terhadap keempat korban dengan menuduh mereka terlibat KKB merupakan tindakan yang berulang untuk memberikan legitimasi pembunuhan terhadap warga sipil tanpa pernah dibuktikan di pengadilan. 

Kedua, upaya stigmatisasi dengan mengaitkan korban terafiliasi KKB yang dibangun aparat negara digunakan untuk menyembunyikan fakta peristiwa yang terjadi. Akibatnya, fakta peristiwa yang sebenarnya kerap tidak terungkap ke hadapan publik sehingga menyebabkan adanya informasi yang tidak berimbang.

Ketiga, aparat penegak hukum seringkali mengindikasikan adanya aktivitas jual beli senjata sebagai rangkaian dari suatu tindak pidana. Hal ini merupakan penggiringan opini agar publik pecah fokus terhadap peristiwa sebenarnya. Padahal tidak ada bukti kredibel yang membuktikan bahwa terdapat jual beli senjata.

Keempat, terdapat tindakan penghilangan barang bukti untuk mengaburkan kejahatan yang dilakukan para tersangka. Perbuatan penghilangan barang bukti tersebut juga mengakibatkan proses hukum yang dilakukan oleh penyidik tidak didasarkan pada alat bukti yang lengkap.

Kelima, proses hukum terhadap para pelaku militer kerap diadili melalui peradilan militer dan bukan peradilan umum. Proses yang tidak transparan serta akuntabel berpotensi penghukuman terhadap para pelaku tidak maksimal.

Jika ditinjau lebih jauh, rantai kekerasan yang tak kunjung usai, terlebih yang dilakukan oleh militer di Papua merupakan masalah struktural. Cara pandang yang meminggirkan aspek kemanusiaan dan menyepelekan nyawa OAP telah membudaya di tubuh militer. Kami menyayangkan stigmatisasi yang terus berlanjut terhadap OAP dengan tuduhan-tuduhan palsu seperti KKB ataupun simpatisan OPM. Dengan stigma tersebut, dibangun kesan kekerasan dan penembakan terhadap mereka normal karena merupakan musuh negara yang keberadaannya harus diberangus. Padahal, mereka memiliki hak untuk dapat diadili melalui mekanisme hukum (due process of law). 

Berangkat dari catatan kami di atas, melihat ada indikasi yang kuat perihal pembunuhan berencana atas peristiwa tersebut. Di luar itu, kasus mutilasi 4 orang di Timika tidak bisa dilihat sebagai pidana biasa, melainkan lahir karena konsekuensi dominasi militer yang terjadi selama ini di Papua. Sehingga penyelesaian kasus di Papua tidak bisa didekati dengan solusi kasus per kasus melainkan perlu solusi utuh dan komprehensif guna memperbaiki situasi kemanusiaan di Papua. 

Atas dasar berbagai paparan di atas dan temuan terkait fakta-fakta di lapangan, KontraS merekomendasikan beberapa hal dan mendesak berbagai pihak:

Pertama, Polres Mimika dan Polda Papua untuk mengusut kasus penembakan, pembunuhan di luar hukum dan mutilasi terhadap 4 warga sipil Nduga di Timika  secara transparan, akuntabel, imparsial dan independen. Atas tindakannya, seluruh pelaku harus dikenakan delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Aparat penegak hukum juga harus mendalami seluruh bukti yang ada guna menemukan motif sesungguhnya dari tindakan yang dilakukan para pelaku. Selain itu, stigmatisasi dalam proses ini juga harus dihentikan agar proses yang dijalankan tidak bias dan dapat berlangsung secara independen guna mencari kebenaran materiil. Adapun penyidik harus melibatkan keluarga korban dalam setiap rangkaian penegakan hukum. 

Kedua, Panglima TNI untuk menyelenggarakan penegakan hukum secara berkeadilan agar  para pelaku dihukum dengan menjamin seluruh kebenaran peristiwa tanpa intimidasi dari pihak manapun. Serta, para pelaku yang berasal dari institusi militer harus segera dipecat. Sementara itu, sesuai dengan keinginan keluarga korban, seluruh pelaku baik sipil maupun militer harus diadili lewat peradilan umum yang terbuka. Begitupun untuk lokasi peradilan, seluruhnya harus diadakan di Timika untuk menjamin akses keluarga korban melihat jalannya persidangan. 

Ketiga, LPSK RI untuk memberikan reparasi dan pemulihan bagi kepentingan keluarga korban sesuai mekanisme yang ditentukan UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK juga harus hadir untuk memberi perlindungan fisik terhadap saksi-saksi yang terlibat dalam peristiwa ini agar kesaksiannya dapat utuh tanpa adanya intimidasi. 

Keempat, Panglima TNI beserta jajarannya untuk segera melakukan mekanisme korektif secara menyeluruh termasuk meninjau kembali mekanisme penurunan/pergantian pasukan, praktik bisnis yang mungkin saja dilakukan, termasuk juga pengawasan yang ketat di tubuh militer.

Kelima, Pemerintah RI dan DPR RI harus bekerja sama dalam menghentikan segala bentuk pendekatan militeristik di Papua. Selama ini pendekatan yang dipilih terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflik yang terus berkepanjangan. Alih-alih menciptakan kedamaian, pendekatan yang digunakan justru terus menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Pemerintah harus segera menarik mundur aparat dari Papua dan memperjelas situasi keamanan agar konflik dapat terselesaikan.