Usut Secara Tuntas, Transparan, dan Akuntabel Peristiwa Penyiksaan Yang Diduga Dilakukan Oleh 4 (empat) Aparat Penegak Hukum Polres Halmahera Utara!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan LBH Marimoi mengecam dugaan tindakan penyiksaan terhadap salah satu mahasiswa atas nama Yulius Yatu alias Ongen (untuk selanjutnya disebut korban) oleh 4 (empat) aparat kepolisian Polres Halmahera Utara pada tanggal 20 September 2022.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, peristiwa keji ini bermula karena ekspresi korban terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan proses pengamanan aksi massa terkait kenaikan harga BBM melalui status whatsapp korban. Selang sehari kemudian, 4 (empat) orang tidak dikenal datang untuk mencari korban di kediamannya sekitar pukul 21.00 WIT. Seraya keempat pelaku bertanya mengenai identitas sebuah foto kepada korban, kemudian para pelaku sontak memukul tepat di bagian wajah, korban dicekik, dan dibawa keluar dari rumah menuju jalan umum. Ketika korban diseret, pelaku tetap memukuli korban hingga menyebabkan luka lebam di bawah mata, bibir bagian bawah pecah, dan kembali dicekik hingga korban jatuh pingsan.

Selanjutnya, sekitar pukul 21.35 WIT, keempat pelaku tersebut membawa korban menuju Polres Halmahera Utara. Sesampainya di lokasi, korban diseret untuk dimasukkan ke dalam kandang anjing dan diancam bahwa mereka bisa saja membunuh korban hingga tidak ada yang tahu. Korban kembali dipukuli oleh pelaku, ditendang menggunakan lutut kaki, dan menakut-nakuti korban dengan menunjukkan video pemukulan terhadap massa aksi bahwa ia akan bernasib sama dengan massa aksi yang ditahan dan ditangkap karena melakukan aksi tolak BBM di Ternate. Tidak berhenti di situ, setelah korban memohon untuk berhenti dipukuli karena tidak kuasa menahan rasa sakit di bagian perut sebelah kiri bekas operasi, korban dipaksa berguling-guling di lantai yang basah, dan diarahkan untuk sujud dengan posisi kedua tangan korban diletakkan di bagian punggung dalam kurun waktu yang cukup lama. Pada saat korban sudah tidak kuat lagi, kemudian ia dipaksa untuk push up.

Selanjutnya, korban dipaksa untuk jalan jongkok dan lari mengelilingi lingkungan Polres Halmahera Utara, hingga berguling di jalan aspal, dan kembali lari mengelilingi lapangan bola Voli sebanyak 5 (lima) kali dengan alasan sebagai ajang pengenalan perdana masuk ke kantor Polres tersebut. Sambil terpaksa melakukan perintah tersebut, korban terus diintimidasi dan disuruh meminta maaf kepada anjing pelacak Polres Halmahera Utara. Setelah diperlakukan dengan keji selama kurang lebih 2 (dua) jam, korban diantar pulang menuju rumahnya oleh salah satu pelaku yang diduga turut serta menangkap korban atas nama Fidi K.

Berdasarkan kronologi peristiwa di atas, kami menemukan indikasi dugaan tindakan penyiksaan dan perbuatan keji yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Halmahera Utara. Kami menilai, penggunaan cara-cara kekerasan berupa penyiksaan dalam agenda pemeriksaan tidak diperkenankan dalam kondisi atau situasi apapun (non-derogable rights). Apabila perlakuan penyiksaan terjadi kepada korban, maka dapat dipastikan telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, baik secara pidana, etik, maupun instrumen hak asasi manusia oleh anggota Polri dalam melakukan prosedur pemeriksaan atas kasus dugaan kejahatan pidana.

Dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya telah menjamin setiap orang berhak untuk bebas dari tindakan penyiksaan. Lebih lanjut, larangan tindakan penyiksaan oleh anggota Polri juga telah diatur dengan jelas dalam peraturan internal kepolisian dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Pasal 11 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan”.

Oleh karenanya, kami mendesak agar para pelaku dapat diproses dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ditempuh melalui mekanisme peradilan pidana. Kami menilai, pasal yang tepat untuk disangkakan berdasarkan temuan fakta-fakta hukum di atas adalah Pasal 353 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan bahwa “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Disamping itu, berdasarkan keterangan yang kami terima, korban juga ditawari “uang perdamaian.” Kami juga mengecam tawaran penyelesaian kasus agar ditempuh melalui jalur perdamaian dan menawarkan ganti rugi sejumlah uang terhadap keluarga korban yang dilakukan oleh pihak Polres Halmahera Utara, pihak Kecamatan Loloda, hingga pihak Kabupaten Halmahera Barat. Sebab, berdasarkan informasi yang kami peroleh, korban beserta keluarga korban dengan tegas menolak penyelesaian kasus melalui jalan damai, dan mendorong agar para pelaku dihukum dan diproses melalui mekanisme peradilan pidana. Kami menilai, langkah ini merupakan upaya busuk untuk menghindari tanggung jawab hukum para pelaku agar lepas dari ancaman pidana.

Bahwa peristiwa ini telah dilakukan pelaporan pidana berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: STPL/89/IX/2022/SPKT kepada Polda Maluku Utara. Pelaporan ini penting untuk dilakukan dan ditindaklanjuti agar mampu membuat terang peristiwa penyiksaan yang dialami korban, dan kami mendesak pihak Polda Maluku Utara untuk tidak melindungi pelaku kejahatan dan melanggengkan praktik impunitas terhadap para pelaku.

Atas dasar uraian dan penjelasan di atas kami mendesak beberapa pihak untuk:

  • Kapolda Maluku Utara, untuk segera mengusut secara tuntas dan transparan dengan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan independen terhadap dugaan peristiwa penyiksaan dan pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Halmahera Utara. Kami mendesak para pelaku dijatuhi hukuman maksimal, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Selain itu, kami juga mendesak agar pihak korban dan keluarga korban diberikan akses informasi seluas-luasnya berkaitan dengan proses hukum terhadap para pelaku yang sedang berjalan, serta menghentikan seluruh upaya penyelesaian kasus dengan cara-cara kerahiman;
  • Kapolri, untuk mencopot Kapolres Halmahera Utara, karena telah membiarkan peristiwa keji ini terjadi oleh anggotanya;
  • LPSK, secara proaktif dalam peristiwa ini untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi kunci, dan keluarga korban. Lebih lanjut, kami juga mendorong agar LPSK turut merumuskan ganti kerugian berupa restitusi apabila korban mengalami kerugian akibat dari peristiwa ini;
  • Komnas HAM, untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dan melakukan pemantauan proses hukum terduga pelaku penyiksaan berdasarkan kewenangannya yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Halmahera Utara.

 

Jakarta, 5 Oktober 2022

[Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan]
[Lembaga Bantuan Hukum Marimoi]

 

Narahubung :
Abimanyu Septiadji Sungsang – KontraS (0895-7010-27221)
Fahrizal Dirhan – LBH Marimoi (0812-4499-1939)