Catatan Kritis Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Isu Antikorupsi, Hak Asasi Manusia, Pemilu, dan Lingkungan 2019-2022

 

Sebagai salah satu pengampu cabang kekuasaan, legislatif memegang peran penting dalam konteks bernegara. Mulai dari pembuatan legislasi, penyeimbang kekuasaan melalui fungsi pengawasan, hingga penganggaran. Bahkan, mandat penuh perwakilan masyarakat dimiliki oleh lembaga tersebut. Sayangnya, alih-alih memperlihatkan prestasi, ratusan anggota dewan itu kerap kali membuat kontroversi yang tak berkesudahan.

Praktis dari segala fungsi DPR menuai permasalahan yang sangat serius. Dalam lingkup demokrasi, anggota dewan larut akan sikap otoritarianisme legislasi. Bagaimana tidak, peran masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan diabaikan begitu saja. Terbukti, dalam putusan uji formil Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi secara terang benderang mempermasalahkan sikap pembentuk UU yang menihilkan keterlibatan masyarakat dengan sebutan “meaningful participation.” Dalam konsep itu, mahkamah menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat harus benar-benar diakomodir, mulai dari pendapatnya didengar, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan secara komprehensif. Bukan cuma itu, sebagai penyokong lahirnya legislasi yang progresif dengan titik tekan pada isu antikorupsi, penegakan hak asasi manusia, dan lingkungan, DPR pun minim, bahkan nyaris tak melakukannya.

Capaian legislasi DPR untuk tahun 2022 pun tak begitu membanggakan. Data per Agustus lalu, dari 40 UU dalam program legislasi nasional prioritas, praktis baru 12 regulasi yang diundangkan. Meskipun mengalami kenaikan ketimbang tahun-tahun sebelumnya – 2021 (8 UU), 2020 (3 UU), 2019 (14 UU) – namun tetap saja tidak menyentuh lima puluh persen dari target yang telah ditetapkan. Dengan masalah ini, ada tiga hal yang dapat disimpulkan, diantaranya, mekanisme evaluasi tidak berjalan, perencanaan legislasi bermasalah, dan kinerja pembahasan berjalan lambat. Dari yang diundangkan, tak sedikit pula yang kualitasnya bermasalah. Jadi, kuantitasnya minim, substansi yang terkandung di dalamnya masih sangat mungkindiperdebatkan.

Legislasi dengan muatan konflik kepentingan terasa amat kental pada anggota dewan periode saat ini. Dengan mayoritas latar belakang pekerjaan sebagai pengusaha, produk UU yang dihasilkan DPR diduga keras menguntungkan bisnisnya. Sekat pembatas antara kepentingan pribadi dengankepentinganpublikpunsemakinsulitterlihat.Makadariitu,menjadi dapat dipahami jika kemudian anggota dewan kerap menganggap angin lalu suara-suara kritismasyarakat.

Dalam fungsi lain, seperti pengawasan, peran DPR juga tak tampak tiga tahun belakangan ini. Konsolidasi politik dengan payung koalisi pemerintah menciptakan situasi bias dalam melayangkan kritik kepada eksekutif. Terlebih pada organ aparat penegak hukum, di tengah situasi paceklik keadilan, bukannya menjalankan fungsi pengawasan, DPR malah surplus pujian, baik ditujukan kepada kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya, tali mandat masyarakat yang menjadi korban atas penegakan hukum tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Rangkaian kegaduhan penegakan hukum pun seakan dianggap halwajar,tanpaperluperbaikan,dimataanggotadewan.

Begitu pula untuk aspek anggaran, praktik pemborosan kerap diperlihatkan oleh DPR. Padahal, sebagaimana diketahui, dua tahun terakhir Indonesia sedang dilanda pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang mengakibatkan perekonomian porak poranda. Ini menunjukkan ketiadaan senseofcrisisdarianggotadewanterhadappenderitaanmasyarakat.Melihat hal itu, tak salah jika kemudian survei Indikator pertengahan Juli lalu meletakkan DPR sebagai salah satu lembaga yang paling tidak dipercaya. Paradoks memang, satu sisi sebagai representasi masyarakat, namun pada waktu bersamaan publik enggan menaruhkepercayaan.

Keterlibatan anggota DPR dalam praktik korupsi juga masih terlihat. Sekalipun jumlahnya tidak sebanyak periode sebelumnya, namun dari segi jabatan, anggota dewan yang terjerat beberapa waktu lalu menduduki posisi penting di DPR. Belum lagi ditambah beberapa anggota dewan yang sempat diindikasikan terlibat dalam proyek bermasalah. Diperparah juga dengan rendahnya kepatuhan melaporkan harta kekayaan secara berkala kepada KPK. Ini mengindikasikan nilai-nilai integritas dalam konteks menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif belum terimplementasikan secara menyeluruh.

Atas sengkarut permasalahan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memberikan catatan kritis terhadap kinerja lembaga legislatif. Adapun fokus penulisan terbagi menjadi empat isu besar, diantaranya, antikorupsi, penegakan hak asasi manusia, pemilu, serta lingkungan hidup.

klik disini untuk melihat laporan selengkapnya