Amicus Curiae Untuk Pengadilan Negeri Yogyakarta Terkait Dugaan Penyiksaan dan Rekayasa Kasus Dalam Kasus Klitih Dengan Perkara Nomor 123/Pid.B/2022/PNYyk dan 124/Pid.B/2022/PNYyk

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebelumnya telah menerima pengaduan berkaitan dengan dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus dalam kasus Klitih yang mengakibatkan matinya seseorang, dengan Perkara Nomor 123/Pid.B/2022/PNYyk  dan 124/Pid.B/2022/PNYyk. Berkenaan dengan hal itu, KontraS telah menyusun dokumen Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) untuk Pengadilan Yogyakarta. Penyusunan Amicus Curiae tersebut, disusun berdasarkan pemantauan secara langsung dengan melibatkan pihak keluarga terdakwa di persidangan maupun pemantauan melalui media.

Dalam pemantauan tersebut, kami menemukan sejumlah temuan selama proses persidangan berlangsung. Temuan ini mengungkapkan adanya dugaan kuat terjadinya penyiksaan dan rekayasa kasus yang dialami terdakwa Andi Muhammad Husein Mazhahiri, Hanif Aqil Amrullah dan  Muhammad Musyaffa Affandi. Bahwa temuan yang kami maksud adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa ketika proses penangkapan hingga pemeriksaan berlangsung di tingkat Kepolisian, seluruh terdakwa tidak diberikan akses bantuan hukum yang memadai. Padahal, menurut ketentuan pasal 54 KUHAP menyebutkan dengan jelas bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk oleh tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan;
  2. Sejak proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, saksi dan para terdakwa diduga mengalami sejumlah tindak penyiksaan. Para terdakwa, baik Andi, Hanif, maupun Affandi, mengaku disiksa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan, yaitu tindak penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang pada 20 April 2022 di Gedongkuning;

    Adapun bentuk-bentuk dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian antara lain dipukul di bagian kepala dan pelipis, bagian perut, bagian rahang dan bagian pipi, dilempar dengan asbak, rambut dijambak, ditendang, dipukul menggunakan kelamin sapi yang dikeringkan hingga mata yang dilakban;

    Tindakan kekerasan dan intimidasi yang dialami terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindakan penyiksaan. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah kami tangani sebelumnya, tidak jarang aparat penegak hukum bertindak sewenang-wenang dengan mengedepankan perlakuan kekerasan terhadap tersangka untuk meraih keterangan/informasi. Tersangka ditekan, disiksa, diancam, hingga dipukuli berkali-kali untuk mengejar pengakuan dari tersangka. Pengakuan ini nantinya akan digunakan oleh kepolisian sebagai salah satu alat bukti dari kejahatan yang dituduhkan;

  3. Tidak hanya menyiksa para Terdakwa, aparat kepolisian diduga ikut melakukan penyiksaan kepada saksi RS. Saksi tersebut mengaku seluruh keterangan kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan adalah hasil pengaruh di bawah tekanan penyidik. Bahkan ia kerap mengalami tindakan keji berupa pemukulan, dilempar menggunakan asbak, hingga kepalanya dibenturkan ke tembok;
  4. Melalui alat bukti CCTV yang menjadi petunjuk penyidik, saksi verbalisan yang dihadirkan di persidangan atas nama Iyan Apriando dan Yan Ardiansyah tidak mengetahui secara pasti bahwa para terdakwa merupakan pelaku peristiwa penganiayaan yang mengakibatkan mati di Gedong Kuning. Demikian pula keduanya mengakui tidak mampu menjelaskan siapa pelaku sebenarnya melalui alat bukti CCTV yang menjadi petunjuk polisi untuk menjerat para terdakwa. Lebih lanjut, kedua saksi tersebut menyebutkan bahwa keputusan menentukan terduga pelaku penganiayaan dalam perkara ini adalah keputusan tim;Namun, ketika Majelis Hakim dan penasehat hukum bertanya atas dasar apa tim membuat keputusan tersebut, kedua saksi verbalisan yang dihadirkan juga tidak mampu menjawab apa pertimbangan tim dalam memutuskan para terdakwa merupakan terduga pelaku penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang. Keterangan ini penting, sebab hal ini semakin menguatkan bukti sebetulnya kepolisian tidak begitu yakin bahwa para terdakwa merupakan terduga pelaku tindak pidana;
  5. Dalam proses persidangan, kami menemukan bahwa tidak sedikit keterangan saksi yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan berbeda jauh dengan keterangan yang disampaikan di depan majelis hakim. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh para saksi yang dihadirkan JPU yang menjelaskan kepada majelis hakim bahwa keterangan yang ditulis dalam BAP tidak seluruhnya merupakan keterangan saksi.


Berdasarkan temuan di atas, kami menilai telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks hak asasi manusia, aparat kepolisian secara nyata telah melanggar hak seseorang untuk tidak disiksa yang tidak bisa dikurangi sedikitpun dalam situasi dan kondisi apapun sebagaimana dijamin dalam Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang HAM, hingga Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Lebih lanjut, kami juga menilai melalui rangkaian perbuatan tersebut memiliki konsekuensi hukum berupa pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam delik kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, khususnya Pasal 335 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Secara formil, kami juga menemukan temuan bahwa ketentuan dalam KUHAP telah dilanggar oleh aparat kepolisian, antara lain yaitu Pasal 117 Ayat (1)  KUHAP yang pada intinya telah menjamin seseorang untuk bebas dari berbagai bentuk tekanan pada saat memberikan keterangan kepada penyidik dalam kapasitasnya sebagai tersangka atau saksi.

Dalam Amicus Curiae yang kami susun, kami berkesimpulan dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan diduga tidak berdasarkan fakta-fakta peristiwa. Berita Acara Pemeriksaan yang dihadirkan di persidangan juga diperoleh menggunakan cara-cara yang tidak sah secara hukum, yaitu diduga dengan cara melakukan tindak penyiksaan kepada saksi dan para terdakwa. Selain itu, selama proses pemeriksaan, para terdakwa dan saksi/saksi anak juga tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai.

Praktik-praktik dugaan rekayasa kasus menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan pintas untuk meraih pengakuan tersangka/terdakwa sering kali terjadi, salah satunya adalah kasus salah tangkap tindak pidana begal oleh Polsek Tambelang terhadap Fikry dan kawan-kawan pada 28 Juli 2021 lalu.

Apabila dilihat lebih jauh lagi, rentetan peristiwa rekayasa kasus disertai penyiksaan yang terus lahir tidak dapat dipisahkan dari watak kekerasan yang sangat kental dan mengakar dalam tubuh institusi Polri yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Minimnya pengawasan dan evaluasi secara menyeluruh juga menjadi salah satu penyebab utama praktik-praktik semacam ini langgeng terjadi.

Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak:

  1. Tanpa bermaksud mengintervensi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memberikan pertimbangan dan memutus perkara ini berdasarkan fakta-fakta peristiwa yang sesungguhnya, dengan melihat kasus ini sebagai dugaan praktik rekayasa kasus yang dapat mengarah pada praktik peradilan sesat (miscarriage of justice);
  2. Kapolri memerintahkan jajarannya untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan secara tuntas, independen, dan transparan atas dugaan tindakan rekayasa kasus disertai penyiksaan terhadap saksi dan para terdakwa. Kami mendesak para pelaku untuk diberikan sanksi tegas dan maksimal, tidak terkecuali kepada atasan efektif pelaku apabila diduga terlibat;
  3. Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi secara maksimal Jaksa Penuntut Umum yang bertugas dalam perkara ini. Dalam melaksanakan fungsinya, JPU tidak profesional dan tidak cermat dalam membuat dakwaan, sehingga dinilai sesat dalam melakukan proses penuntutan (malicious prosecution);
  4. Komnas HAM segera melakukan tindakan penyelidikan dan investigasi atas temuan dugaan pelanggaran HAM  berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kami mendorong hasil investigasi atau pendalaman dapat diungkap ke publik.

Jakarta, 27 Oktober 2022

Fatia Maulidiyanti, S.IP
Koordinator

Narahubung: 0895-7010-27221

klik disini untuk melihat Amicus Curiae Kasus Klitih Affandi selengkapnya

klik disini untuk melihat Amicus Curiae Kasus Klitih Klitih Andi Hanif selengkapnya