Organisasi Masyarakat Sipil Memberi Pandangan Situasi HAM di Indonesia dalam Side Event Universal Periodic Review Siklus Ke-4 di Palais Des Nations, Jenewa, Swiss.

Pada tanggal 8 November 2022, tepatnya pukul 12.00 waktu Jenewa, beberapa pihak dari Indonesia beserta Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengadakan pertemuan side-event dalam rangka memberikan catatan penting bagi Indonesia sebelum sidang UPR besoknya, 9 November pukul 09.00 waktu Jenewa. Pihak-pihak sekaligus panelis dalam sesi ini ialah KontraS, Papuan Council of Churches, Amnesty International Indonesia, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan, serta perwakilan dari FORUM-ASIA sebagai moderator.

Sesi langsung dimulai dengan para perwakilan yang menyampaikan pesan kunci dari rekomendasi yang diterima oleh Indonesia serta evaluasi penting dari implementasi rekomendasi tersebut. Dimulai dari Amnesty International Indonesia, organisasi ini mempresentasikan pesan kuncinya seputar isu Papua dan isu kekerasan terhadap masyarakat sipil, spesifiknya pada jurnalis, aktivis lingkungan, dan para aktivis pembela HAM yang dikriminalisasi oleh tersangka pelaku yakni POLRI. Secara spesifik, organisasi ini juga memberikan rekomendasi langsung kepada pemerintah Indonesia yang menghadiri pertemuan untuk memberhentikan tindakan kekerasan kepada warga Papua serta tindakan diskriminasi yang berlebihan dari aparat keamanan.

Sesi berikutnya dilanjut dengan perwakilan dari Papua Council Of Churches yang memberikan beberapa pandangan serta laporan apa yang sepatutnya diberikan perhatian oleh pemerintah Indonesia. Beberapa di antaranya yakni sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto, kondisi HAM di Papua tidak diperhatikan dan kian memburuk dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari pembunuhan di luar jalur hukum (EJKs) dan penyiksaan yang terus terjadi di beberapa wilayah spesifik Papua serta impunitas yang terus berlanjut oleh aparat keamanan. Salah satu contoh kasus konkret dari pernyataan tersebut adalah kasus mutilasi dari 4 warga Papua. Perwakilan tersebut juga menyebutkan bahwa Komnas HAM berupaya untuk mendorong pemerintah Indonesia untuk memberhentikan tindakan-tindakan kekerasan terhadap warga Papua, namun inisiatif ini belum cukup untuk menghilangkan tindakan tersebut. Dalam sesi ini, UU No.2 Tahun 2021 tentang Daerah Otonomi Khusus Papua juga disebutkan sebagai hukum yang berperan sentral dalam ‘perkembangan Papua’ dan implikasinya pada kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Hal ini dicatat perlu dikritisi karena hukum ini sudah sepatutnya melibatkan masyarakat Papua karena akan berperan besar dalam kehidupan masyarakat sekitar.

Selanjutnya, KontraS pun menyampaikan pesan-pesan kunci dari 9 isu (penyiksaan, hak untuk berbeda pendapat, kebebasan pers, hukuman mati, impunitas, pelanggaran HAM di Papua, pembela HAM, bisnis dan HAM, pembangunan berkeadilan) yang dibungkus dalam shadow report berdasarkan rekomendasi UPR cycle sebelumnya (3rd cycle di tahun 2017) serta menjalankan kolaborasi dengan OMS berbasis HAM lainnya di Indonesia. KontraS mencatat dan mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia nyaris tidak terlihat progresnya dalam proses implementasi. Padahal, mayoritas dari 9 isu ini, pemerintah Indonesia memberikan posisi ‘supporting’-nya yang berarti ada niatan lebih untuk mengimplemenatasikan rekomendasi. Beberapanya berkaitan dengan ratifikasi OP-CAT untuk dijalankannya mekanisme investigasi yang independen untuk kasus-kasus kekerasan, mempertimbangkan moratorium hukuman mati, adanya penegakan HAM dalam kegiatan bisnis pertambangan, serta memastikan kebebasan berpendapat dan berserikat, termasuk masyarakat Papua. Akan tetapi, selama 4,5 tahun ke belakang, belum ada catatan yang memperlihatkan progres tersebut.

Kemudian tidak berbeda jauh dengan apa yang telah disampaikan oleh para panelis sebelumnya, Komnas HAM juga mencatat banyaknya tindakan kekerasan terhadap para pembela HAM dan juga jurnalis melalui tindakan-tindakan berdalih pencemaran nama baik dan pasal yang karet yakni UU ITE serta hukum yang menghambat kebebasan berpendapat yakni RKUHP No.106 dan 110. Tak hanya sampai situ, Komnas HAM juga mencatat bahwa pemerintah Indonesia perlu memperhatikan perlindungan dan penegakan HAM di Papua. Sebab, tercatat juga bahwa tindak kekerasan terus berlanjut hingga munculnya kasus yang menggemparkan tahun ini yakni peristiwa mutilasi dari 4 warga Papua.

Terakhir, panelis dari Komnas Perempuan mempresentasikan pandangannya terhadap catatan pelaporan UPR dari 4,5 tahun terakhir. Spesifik pada kekerasan terhadap perempuan, dinilai bahwa jumlah dari tindakan ini sudah berkurang dari 4,5 tahun lalu. Akan tetapi, perlu ditetapkan mekanisme yang lebih konkret agar angka berkurang semakin drastis dan hal ini akan terjadi apabila adanya upaya dan inisiatif dari pemerintah Indonesia untuk melakukan brainstorming bersama. Kolaborasi untuk strategi pengurangan tindakan kekerasan ini juga menjadi salah satu bentuk dari rekomendasi entitas internasional kepada Indonesia untuk menegakkan keadilan bagi korban kekerasan serta tanggung jawab negara untuk menegakkan HAM, termasuk perempuan, agar terhindar dari segala bentuk kekerasan bagi mereka.

Sesi kemudian dilanjut dengan dibukanya sesi tanya jawab serta tanggapan dari para peserta yang menghadiri side-event. Dalam kesempatan tersebut, perwakilan pemerintah Indonesia melalui Diplomat Indonesia, memberikan tanggapannya terhadap beberapa hal yang telah dipresentasikan oleh para panelis. Pertama, beliau mengapresiasi apa yang telah dipaparkan oleh para panelis sebagai bentuk refleksi dan masukan untuk pemerintah Indonesia untuk beberapa tahun kedepan. Namun, ada beberapa catatan yang harus dipikirkan dan konsiderasi lebih lanjut dari pihak panelis. Berkaitan dengan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, beliau menyampaikan bahwa hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kondisi dan situasi ekonomi di Papua. Selain itu, beliau juga memberikan pernyataannya terkait OP-CAT yang masih dalam proses untuk diratifikasi dan akan menjadi concern utama dari pemerintah Indonesia untuk mempercepat hilangnya tindakan-tindakan penyiksaan dan kekerasan di Indonesia.