Pengamanan G20: Berlebihan dan Represif sehingga Membungkam Kritik

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti pengamanan berlebihan oleh aparat keamanan pada pra penyelenggaraan Group of Twenty (G20) di Bali. Sejumlah tindakan itu didalihkan untuk menjaga situasi kondusif dan protokoler aparat keamanan untuk menjaga citra penyelenggaraan agenda Internasional di mata dunia. Bukan hanya aparat keamanan, kelompok Ormas pun turut ikut serta melakukan pengamanan dan membatasi kegiatan dengan ikut melakukan intimidasi dan menghalangi masyarakat sipil mengkritik pemerintah dan berkampanye soal lingkungan.

Kami melihat pengamanan yang dilakukan sangat berlebihan (excessive use of force). Hal tersebut dapat dilihat dari pengerahan 11 satuan tugas pengamanan side event G20 dari satgas intelijen hingga satgas pemantauan wilayah.[1] Penempatan petugas keamanan secara berlebihan tersebut seperti di Pelabuhan dengan mengerahkan aparat Kepolisian, Satpol PP, hingga TNI yang memfokuskan pemeriksaaan digelar di pintu masuk pelabuhan menggunakan metal detector hingga kamera CCTV. Penempatan kepolisian di beberapa tempat juga bahkan menyulitkan akses dan akomodasi warga setempat.

Selain itu, kami juga menyoroti penggunaan Face Recognition terhadap warga yang keluar-masuk untuk keperluan identifikasi wajah orang yang dianggap asing dan berbahaya.[2] Di Banyak negara, penggunaan Face Recognition bermasalah perihal privasi dan kriminalisasi. Di Beberapa kasus, penggunaan alat tersebut seringkali mengidentifikasi dan mengancam keterlibatan masyarakat dalam mengemukakan pendapat secara damai karena dianggap sebagai ancaman ketertiban umum. Selain itu, pengamanan berlebihan pada momentum G20 harusnya diiringi dengan sukacita, bukan dengan penuh ketakutan warga sipil.

KontraS juga  dan mengecam rangkaian intimidasi terhadap aktivis lingkungan yang ingin menyampaikan pendapatnya soal perubahan iklim di G20. Pada hari Senin (11/8), intimidasi dialami oleh tim pesepeda Chasing the Shadow yang ingin melakukan kampanye selama Konvensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 oleh kelompok yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Probolinggo. Dari kejadian tersebut terlihat intimidasi bukan dilakukan oleh kepolisian tetapi oleh kelompok Ormas yang artinya ada pengkondisian secara berlebihan dan mempengaruhi masyarakat untuk membantu tugas aparat seakan-akan terjadi konflik horizontal. Rangkaian intimidasi tersebut secara jelas merusak prinsip demokrasi dan mencederai kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Terlebih lagi, kami mendapatkan beberapa informasi mengenai pembatalan acara-acara yang diprakarsai oleh aktivis lingkungan atas intimidasi kelompok ormas dan aparat keamanan. Hal ini mencerminkan negara yang terlalu paranoia, menggunakan pendekatan keamanan untuk merepresi masyarakat padahal segala bentuk kebebasan berpendapat diatur oleh undang-undang.  Selain itu, Pengekangan ekspresi masyarakat oleh aparat keamanan dan kelompok ormas juga justru hanya akan menampilkan wajah pemerintahan Indonesia yang semakin anti kritik di mata negara peserta G20.

Atas dasar uraian tersebut KontraS mendesak aparat keamanan dan pemerintah Indonesia untuk:

Pertama, menghentikan pendekatan keamanan dengan berlebihan pada aktivitas pengamanan G20.
Kedua, membuka akses partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan G20.
Ketiga, menghentikan tindakan represif dan intimidatif oleh aparat kemanan dan kelompok ormas terhadap aksi damai selama KTT G20 berlangsung.

 

 

Jakarta, 9 November 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

 

[1]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220819130348-12-836473/11-satgas-aparat-diterjunkan-untuk-pengamanan-rangkaian-event-g20

[2]https://en.tempo.co/read/1654398/immigration-to-use-facial-recognition-tech-to-monitor-foreigners-in-bali-ahead-of-g20-summit