Laporan UPR Pemerintah Indonesia: Bertentangan dengan Realita Lapangan

Indonesia telah melewati pemantauan berkala pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Geneva, kemarin 9 November 2022. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR yang terdiri dari: Amnesty International Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus, KontraS, KIKA, Koalisi FreeToBeMe (FTBM) Indonesia, SAFEnet, Transmen Indonesia melangsungkan agenda nonton bareng guna memantau laporan Pemerintah Republik Indonesia (PemRI) dalam sidang tersebut. 

Dalam sidang UPR putaran ke-4, PemRI melaporkan capaian-capaian Indonesia dalam pemenuhan HAM, antara lain, kesuksesan dalam mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja, mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS), pembangunan infrastruktur dan penambahan anggaran untuk otonomi daerah di Papua, serta keberhasilan penanganan COVID-19. Namun, koalisi menilai bahwa apa yang disampaikan oleh PemRI berbanding terbalik dengan situasi yang sebenarnya, yang juga telah dilaporkan oleh masyarakat sipil Indonesia melalui alternatif laporan yang dikirimkan pada bulan Maret 2022.

Mengenai isu Bisnis dan HAM serta kaitannya dengan keadilan lingkungan dan pembangunan, PemRI menyebut Omnibus Law UU Cipta Kerja sebagai capaian dalam menstabilkan bisnis dengan memperhatikan HAM dan lingkungan. Selain itu, pemerintah mengakui sudah mengikuti United Nations Guiding Principles (UNGP) on Business and Human Rights dan menjadi pelopor dalam mengadakan pertemuan terkait isu BHR. Kenyataannya, KontraS mencatat bahwa Indonesia masih sering tidak mengindahkan standar-standar dalam UNGP. Dalam melakukan pembangunan, Indonesia tidak mengindahkan kepentingan penduduk yang terdampak pembangunan, sering mengintimidasi penduduk lokal dan merusak lingkungan sekitar.

Terkait pembela HAM dan kebebasan berpendapat, PemRI merespon bahwa Indonesia selalu bekerja sama dengan pembela HAM, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan elemen sipil lainnya dalam rangka perlindungan HAM. Namun, Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS menyatakan bahwa “Pembela HAM di Indonesia menghadapi berbagai serangan, di mana mereka atau keluarga mereka dibuntuti, diawasi, menjadi sasaran tuntutan pidana, dan pencemaran nama baik di depan umum”. Sehingga KontraS menekankan harus adanya perlindungan pembela HAM dan kebebasan berpendapat secara komprehensif dalam hukum.

Dalam isu impunitas, PemRI menekankan pemberian reparasi untuk korban dan bahwa mekanisme non-yudisial merupakan pelengkap untuk mekanisme yudisial. Selain itu, PemRI merespon akan menginvestigasi dengan baik pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, KontraS dalam laporan alternatifnya menilai bahwa pemerintah sering mengusahakan adanya perdamaian dengan memberi bantuan moneter tanpa adanya proses peradilan dan reparasi yang efektif melalui Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM.

Terkait isu penyiksaan, PemRI menekankan adanya security training dan upaya mengadopsi OP-CAT yang hingga saat ini belum juga diratifikasi. Sayangnya, hingga saat ini beberapa kelompok masyarakat masih menjadi sasaran tindakan penyiksaan. Ketiadaan ratifikasi OP-CAT juga merupakan efek domino dari tindakan penyiksaan yang terus berlangsung di Indonesia. Indonesia juga belum menyusun dan menerapkan undang-undang khusus tentang penyiksaan dan penganiayaan. “Perlu juga adanya reformasi kepolisian yang menyeluruh sebagai aktor dominan dari praktek penyiksaan.”, ucap Fatia.

PemRI juga menerima banyak catatan dan rekomendasi untuk segera melakukan penghapusan hukuman mati dan moratorium hukuman mati melalui ratifikasi optional protocol ICCPR yang ke-2 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Namun, PemRi merespon bahwa hukuman mati akan tetap menjadi salah satu hukuman sampingan dalam RKUHP dengan memperhatikan standar HAM yang berlaku serta tetap memberi terpidana mati kemungkinan komutasi. “Maraknya praktik unfair trial dalam penegakan hukum dan agenda perang melawan narkotika memperparah legitimasi atas praktik hukuman mati di Indonesia” ucap Charlie Albajili, Kepala Advokasi LBH Jakarta 

Nurina Savitri, manajer kampanye Amnesty International Indonesia, mengkritisi pemerintah Indonesia yang tidak memberikan informasi utuh mengenai situasi HAM di Indonesia dalam sesi UPR. Salah satu contohnya adalah klaim bahwa pemerintah Indonesia tengah melakukan perbaikan instrumen hukum melalui RKUHP, yang kenyataannya memiliki pasal-pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM.

“Pasal pencemaran nama baik, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan pemerintah, pasal makar, ini adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan untuk membungkam mereka yang kritis terhadap kebijakan negara, merepresi mereka yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Dan pasal-pasal itu dipertahankan di dalam draft terbaru RKUHP. Padahal hak-hak tersebut dijamin di dalam instrumen hukum internasional yang diratifikasi Indonesia dalam bentuk Undang-Undang,” jelas Nurina.

Klaim mengenai pelibatan masyarakat sipil juga tidak mencerminkan situasi sebenarnya mengenai serangan yang dialami pembela HAM dalam beberapa tahun terakhir. Dalam catatan Amnesty, selama periode 2019-2022, ada 328 kasus serangan fisik maupun digital terhadap masyarakat sipil dengan 834 korban. 

Terkait isu Papua dan situasi hak asasi manusia di sana, PemRI menyampaikan bahwa sebagian besar kasus-kasus kekerasan di Papua telah diselidiki dan pelakunya telah diberi hukuman, namun kenyataannya tidak ada kasus-kasus yang melibatkan aparat keamanan di Papua, termasuk pembunuhan di luar hukum, yang sebelumnya berhasil diusut tuntas dan diadili di pengadilan yang independen. 

“Di dalam laporan, pemerintah hanya menyampaikan situasi di Papua dari perspektif pembangunan infrastruktur, kesejahteraan, padahal di saat yang bersamaan kekerasan berlanjut. Tentu tidak adil menjawab segala kekerasan ini hanya dengan jargon pembangunan infrastruktur,” sebut Nurina.

Selain itu, Koalisi juga menyoroti berulangnya pelanggaran terhadap hak masyarakat Papua atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, serta kecenderungan pemerintah untuk menguatkan pendekatan keamanan di Papua.

“Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa dunia internasional harus bisa membedakan antara persoalan HAM di Papua dengan tindakan penegakan hukum yang sah. Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia sudah bisa membedakannya?” ujar Nurina, “Pembunuhan di luar hukum, pembungkaman ekspresi, terhadap masyarakat sipil Papua bukanlah tindakan penegakan hukum, itu jelas pelanggaran HAM.”

ASEAN SOGIE Caucus, Koalisi FTBM dan Transmen Indonesia menyoroti isu mengenai HAM berkaitan dengan orientasi seksual, identitas & ekspresi gender dan sex karateristik (SOGIESC) yang sama sekali tidak digubris oleh PemRI baik dalam laporan maupun respon di masa sidang. Dalam laporan bersama dengan organisasi LGBTQIA+ di Indonesia mencatat bahwa Indonesia belum menunjukkan perbaikan dalam pemenuhan hak-hak LGBTQIA+. Sebaliknya, diskriminasi masif dan terstruktur terus terjadi dan telah menyebabkan pelanggaran hak-hak dasar seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul dengan damai dan hak untuk hidup layak serta kebebasan dan keamanan. Maraknya peraturan daerah yang diskriminatif seperti Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) 2021 di Kota Bogor, dan setahun sebelummnya perda yang serupa di Kabupaten Cianjur adalah bukti pembatasan HAM kelompok LGBTQIA+ yang terstruktur.

Semasa sidang, PemRI bungkam atas banyaknya catatan dan rekomendasi yang secara spesifik menyebutkan isu pelanggaran HAM yang dialami kelompok LGBTQIA+. Kami mencatat setidaknya Indonesia menerima 2 pertanyaan pemantik, 13 rekomendasi dan 7 catatan dari 16 negara spesifik mengenai penghapusan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQIA+ serta pemenuhan haknya. Catatan dan rekomendasi tersebut datang antara lain dari Mexico, Brazil, Irlandia, Peru, Montenegro, Swedia, Australia dan lainnya. 

Lini Zurlia, Advocacy Officer di ASEAN SOGIE Caucus sangat menyesali bungkam dan diamnya Pemri terkait isu pemenuhan HAM berbasis SOGI ini. ‘Dapat dipastikan hampir semua catatan dan rekomendasi yang disampaikan oleh 107 negara-negara peserta sidang direspon oleh PemRI, kecuali yang berkaitan dengan LGBTQIA+. Ini menandakan bahwa tidak ada rekognisi atas hak asasi manusia kelompok LGBTQIA+ di Indonesia, apalagi itikad untuk melindungi dan memenuhi’ kata Lini.  

SAFEnet dalam laporannya mencatat bahwa hak-hak digital di Indonesia juga direpresi. Sebagai contoh, pemerintah menggunakan pembatasan bandwidth dan pemadaman internet di Papua dan Papua Barat pada 2019. UU ITE juga kerap digunakan untuk membungkam suara masyarakat sipil yang bertentangan dengan rezim. Sepanjang 2020-2021, terjadi setidaknya 340 serangan digital terhadap pembela HAM, aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil lainnya. Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap perempuan selama pandemi Covid-19 melonjak menjadi 510 kasus KBGO pada tahun 2021, yang banyak kasus yang ditargetkan adalah perempuan pembela HAM.

PemRI tidak menyinggung sama sekali tentang represi digital yang dialami oleh masyarakat sipil, termasuk juga warga di Papua dan Papua Barat dan berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola dan mekanisme perlindungan untuk menjamin hak atas rasa aman dan kemerdekaan berekspresi. Sekalipun sempat disinggung tentang perbaikan revisi KUHP, namun tidak dijelaskan apa sebenarnya perbaikan dan pelindungan bagi masyarakat  dan pembela HAM di dalam RKUHP yang dikatakan akan disahkan pada akhir tahun ini. Begitu pula terkait dengan kewajiban pemRI untuk memperjelas apa bentuk perlindungan bagi perempuan di ranah digital.

Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet menilai ada kegagapan PemRI dalam mengenali pentingnya pemenuhan hak-hak digital warga. “Kami menyesalkan pelindungan dari tuntutan hukum dan serangan-serangan yang dialami pembela HAM dan warga, baik secara fisik maupun daring, tidak dipandang sebagai bagian perbaikan HAM di Indonesia.”

Mengenai isu kebebasan akademik, yang minim direspon oleh PemRI dalam laporannya, KIKA menyoroti tekanan dari aktor negara dan universitas yang menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat serta ekspresi akademis. Akademisi menjadi korban kriminalisasi, termasuk di bawah UU ITE, hanya karena berekspresi kritis terhadap pemerintah, menjadi saksi ahli dalam proses persidangan, dan berbicara tentang temuan hasil riset di ruang publik. Sementara itu, mahasiswa yang mengekspresikan kritik mendapatkan tindakan pendisiplinan oleh universitas karena mengajukan pertanyaan dan gagasan yang tampaknya kontroversial. 

“Kami mengutuk serangan terhadap para sarjana dan mahasiswa dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk bergabung dengan kami bergandengan tangan dalam membela kebebasan akademik di Indonesia,” kata Dhia Al Uyun, Ketua KIKA yang berasal dari dosen  Universitas Brawijaya.

Narahubung: aldo.kaligis@amnesty.id / adelwin@kontras.org / info@aseansogiecaucus.org / info@safenet.or.id

Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya