DPR Abai dan Minim Pengetahuan Isu Pelanggaran HAM Berat!

Pada tanggal 14 November 2022, Komisi III DPR-RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP) bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Gedung Nusantara II pada pukul 10.30-13.00 WIB. Pada rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi III tersebut, masing-masing organisasi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi RKHUP menyampaikan pedndapat dan masukan terkait pasal-pasal tertentu dalam R-KUHP. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menyoroti mengenai dimasukkannya pengaturan terkait tindak pidana yang berat terhadap HAM yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan ke dalam Bab Tindak Pidana Khusus yaitu pada Pasal 600 dan Pasal 601 R-KUHP.

Pada kesempatan tersebut KontraS menyampaikan beberapa keberatan terkait rancangan pasal mengenai tindak pidana yang berat terhadap HAM. KontraS berpendapat bahwa tidak ada urgensi untuk mengatur mengenai tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP karena pada saat ini Indonesia telah memiliki UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) yang di dalamnya telah mengatur dua jenis “Pelanggaran HAM Berat” yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Alih-alih mencoba mamasukkan pengaturan serupa ke dalam R-KUHP pemerintah lebih baik menuntaskan proses penyidikan dan penututan terhadap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat khususnya Pelanggaran HAM Berat masa lalu.

Lebih lanjut, pada kesempatan yang sama KontraS juga menyoroti R-KUHP yang dengan tegas mengatur mengenai asas non-retroaktif serta daluarsa penuntutan. Kedua pengaturan tersebut jika diterapkan pada tindak pidana yang berat terhadap HAM, tentu akan menyulitkan proses pengungkapan kasus serta upaya mengadili pelaku Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Selain itu, patut dikritisi bahwa ancaman pidana maksimum pada tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam R-KUHP pun lebih rendah dibanding UU Pengadilan HAM, jika UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana maksimal 25 tahun bagi Pelanggaran HAM Berat, maka R-KUHP “hanya” memberikan ancaman pidana maksimal 20 tahun bagi tindak pidana yang berat terhadap HAM. Hal tersebut menurut KontraS turut men-degradasi “kekhususan” dari Pelanggaran HAM Berat sebagai tindak pidana paling keji karena menyamakan ancaman hukumannya dengan tindak pidana lain.

Sayangnya, berbagai pendapat yang telah disampaikan tersebut mendapat minim bahkan hampir tidak ada respon dari Komisi III DPR-RI. Satu-satunya respon terhadap catatan kritis KontraS tersebut adalah ketika anggota Komisi III menyatakan bahwa pengaturan terkait ancaman hukuman maksimal pada tindak pidana yang berat terhadap HAM dilakukan untuk semangat “rekodifikasi” hukum pidana. Entah apa yang menjadi kaitan antara semangat “rekodifikasi” yang disebutkan dengan dimasukkannya tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP. Komisi III DPR-RI juga tidak merespon pendapat kami terkait tidak adanya urgensi untuk memasukkan tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP. 

Terdapat kesan bahwa pemerintah dan DPR-RI tidak memberi perhatian khusus kepada persoalan Pelanggaran HAM Berat. Kurangnya perhatian DPR-RI kepada persoalan pelanggaran HAM berat ini paling tidak menunjukkan bahwa selain minim kepedulian DPR-RI juga nampaknya tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai konsekuensi yang ditimbulkan dengan dimasukkannya pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM. DPR-RI seharusnya memahami implikasi yang dapat ditimbulkan jika tindak pidana yang berat terhadap HAM dimasukkan ke dalam R-KUHP, penyesuaian besar-besaran serta penyatuan kembali persepsi mengenai tindak pidana yang berat terhadap HAM perlu dilakukan sehingga akan semakin menghambat dan memperlama proses penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu. Implikasi semacam itu mungkin tidak terpikirkan sehingga DPR-RI khususnya Komisi III tidak memberi perhatian serius bagi rancangan pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM.

Bagi pemerintah, memasukkan tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP mungkin terkesan progresif bagi pemerintah, namun pemerintah melupakan implikasi yang mungkin dapa terjadi. DPR seharusnya mengkaji lebih dalam rancangan tersebut dan mendorong pemerintah untuk fokus pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pada UU Pengadilan HAM. KontraS berpendapat bahwa dalam konteks perumusan tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP baik pemerintah dan DPR telah menunjukkan pengabaian dan minimnya perhatian terhadap isu pelanggaran HAM berat, oleh karena itu KontraS kembali menyatakan:

Pertama, menolak dimasukkannya tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam R-KUHP

Kedua, mendesak pemerintah menyelesaikan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat dengan menggunakan mekanisme yang diatur oleh UU Pengadilan HAM.

 

 Jakarta, 16 November 2022
Badan Pekerja KontraS

 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator