Tanggapan Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II Dalam Penyelenggaraan Forum Group Discussion Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu Atas Peristiwa Semanggi I Dan Semanggi II

Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II menyesalkan tindakan pemerintah terhadap pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022. Sejak awal, Keppres Tim PPHAM ini memang sudah menuai polemik khususnya bagi korban dan keluarga korban selaku pemegang kepentingan paling utama yang ditunjukkan dari adanya ketergesaan dalam menuliskan materi, ketidakterbukaan terhadap publik, bahkan upaya memasukkan nama-nama tertentu tanpa konfirmasi. Dalam penanganan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, ketidakterbukaan dari penyusun kebijakan sudah berulang kali dialami dan janji manis sudah terlalu sering terdengar, terutama menjelang tahun-tahun politik yang tidak berbeda dengan kondisi saat ini. Dengan demikian, munculnya kembali Keputusan seperti ini yang tidak terbuka sedari awal kepada korban tentu akan menghadirkan tanda tanya perihal motif dan latar belakang pembentukan Keppres ini.

Kini Keppres Tim PPHAM, memiliki sisa waktu kurang dari dua bulan sejak ditetapkan tanggal 26 Agustus sampai dengan 31 Desember 2022 untuk melakukan pengungkapan kasus dan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun, pada pasal Keppres tersebut juga mengatur tentang jangka waktu Tim PPHAM yang dapat diperpanjang. Namun, Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II menolak adanya Keppres Tim PPHAM dengan alasan diantaranya:

Pertama, Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II menilai bahwa Keppres 17/2022 telah secara gamblang menunjukkan tidak adanya niat Negara untuk menindak para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dengan melakukan pemisahan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial. Terlebih, batang tubuh Keppres yang berisikan Pasal-pasal tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Pengadilan bagi kasus HAM berat masa lalu akan tetap diselenggarakan. Meskipun dalam berbagai agenda, anggota tim secara lisan menyatakan Keppres tidak mengesampingkan pengadilan. Ucapan lisan ini tidak bisa menjadi jaminan, karena judul dari Keppres itu jelas menggunakan kata “PENYELESAIAN”. Terlebih lagi dalam hitam diatas putih, pada bagian Menimbang Keppres menuliskan bahwa tim ini dibentuk karena diperlukannya sebuah upaya alternatif (pengganti) selain mekanisme yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain itu, kami juga menilai Keppres ini secara tegas memperlihatkan bahwa Pemerintah tidak memprioritaskan diselenggarakannya Pengadilan HAM ad hoc bagi kasus Semanggi I dan II. Sementara keluarga korban peristiwa Semanggi menghendaki agar Pengadilan HAM diselenggarakan atas kasusnya.

Kedua, Keppres ini harus ditolak sebab terbitnya Keppres tersebut akan meratakan jalan bagi upaya cuci dosa para terduga pelaku pelanggaran HAM berat, keinginan untuk pemutihan kasus, kemauan melanggengkan/melembagakan impunitas. Keppres tersebut tidak mengarah kepada pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM berat masa lalu, di mana keberadaan pelaku pelanggar HAM berat masa lalu tidak disentuh.

Keppres tersebut sama sekali tidak menginspirasi semangat mencegah keberulangan pelanggaran HAM berat masa lalu, karena di dalam Keppres itu tidak diatur ketentuan-ketentuan yang membuat seseorang jera melakukan pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan dalam Keppres secara implisit memberikan pengertian bahwa tanggung jawab yang mestinya menjadi tanggung jawab pelaku bisa dialihkan kepada negara. Pengampunan, bebas dari sanksi hukum, pun bisa diperoleh pelaku dengan langgengnya impunitas.

Ketiga, Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II menilai bahwa pemulihan bagi korban bukan sesuatu yang bersifat alternatif yang dapat dipilih salah satu saja melainkan bersifat komplementer selaras dengan standar hukum  internasional. Sejatinya ada empat kewajiban Negara dalam memenuhi hak korban pelanggaran HAM berat (masa lalu) untuk memastikan akuntabilitas, menegakkan keadilan dan mencapai rekonsiliasi yang terdiri dari hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan ketidak-berulangan (UN Guidance Note on TJ, 2010). Sehingga, Keppres ini bukanlah solusi yang strategis, tetapi lebih kepada upaya Pemerintah untuk memperkuat impunitas, bahkan berpotensi menimbulkan konflik hukum dari ketentuan yang sudah ada dan sudah berjalan yang justru akan berdampak terbukanya permasalahan lainnya.

Keempat, Keppres Tim PPHAM diberikan tugas “mengusulkan rekomendasi” pemulihan bagi korban atau keluarganya dan “mengusulkan rekomendasi” untuk mencegah agar pelanggaran HAM yang serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Rekomendasi bukanlah hal yang rigid dan mempunyai kekuatan hukum. Kami berpendapat bentuk rekomendasi yang tidak bergigi ini kembali menggantungkan nasib pada political will siapa yang menjadi Presiden dan menimbulkan celah kembali diabaikan.

Selain itu, pemberian pemulihan yang bersifat material kepada korban yang disebutkan dalam Keppres sebenarnya sudah dilaksanakan oleh LPSK, jauh sebelum Tim ini dibentuk. Kewenangan yang tumpang tindih ini menunjukan ketidakefektifan penggunaan anggaran Negara. Kewenangan pemulihan material yang ada pada LPSK seharusnya diperkuat baik secara finansial maupun dukungan hukum dan politik dari instrumen hukum maupun dukungan politik dari Pemerintah Pusat dan institusi pemerintahan lainnya, bukan membentuk tim baru.

Terakhir, sikap yang seharusnya ditempuh oleh Presiden Joko Widodo beserta jajarannya tak lain tak bukan adalah dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu, serta membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc atas Peristiwa Semanggi I dan II yang telah direkomendasikan oleh DPR sesuai dengan mandat Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibandingkan membentuk Tim PPHAM yang jauh dari semangat penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang berkeadilan. Jaminan ketidak-berulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa yang akan datang, hanya bisa dilakukan dengan memberi efek jera kepada dalang dan pelaku pelanggaran HAM berat melalui gelar perkara di meja Pengadilan HAM ad hoc, sehingga tindak kejahatan seperti yang pernah dilakukan pelaku tidak bakal dilakukan oleh generasi penerus bangsa.

Bermodalkan sisa waktu kurang dari dua bulan tersebut, kini Tim PPHAM sedang gencar melaksanakan tugas dan mandatnya untuk mengumpulkan data dan temuan sebagai bagian dari tahapan awal untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di berbagai daerah yang menjadi locus kejadian Pelanggaran HAM berat masa lalu khususnya pada hari ini, Selasa, 15 November 2022, keluarga korban Semanggi I hadir dalam Forum Group Discussion Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu atas Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2 yang diadakan di Hotel Sari Pasific, Jakarta.

FGD dipimpin oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D, Anggota Tim PPHAM didampingi oleh Anggota Tim Penulis dan Anggota Tim Asistensi. Sumarsih, keluarga korban Semanggi I didampingi oleh Anggota Koalisi Keadilan untuk Semanggi I dan II, yaitu Arief Priyadi, Lexy Rambadeta, Tioria Pretty dan Jane Rosalina. Di dalam daftar narasumber terdapat nama Jejen Zaenal Muttaqien, Sekretaris Ikatan Korban Orang Hilang Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, FGD ini justru hanya memantik rasa kecewa dan trauma yang mendalam bagi keluarga korban dengan memanfaatkan kondisi korban/keluarga korban yang terpinggirkan dan lemah secara sosial ekonomi sebagai peluang untuk menekan dan melemahkan semangat korban/keluarga korban menuntut penyelesaian secara yudisial.

Kekecewaan ini berawal dari undangan narasumber yang tidak cermat dan salah sasaran. Jika dilihat dari surat Kemenko Polhukam tertanggal 9 November 2022, undangan tersebut menyebutkan nama seperti diantaranya Widodo, Sumarsih dan Yun Hap untuk menjadi narasumber dalam kegiatan Forum Discussion Group Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu atas Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2. Perlu diketahui, Yun Hap adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas ditembak pada Peristiwa Semanggi II – September 1999. Berangkat dari hal tersebut, kami menilai penyebutan nama almarhum dalam undangan FGD menunjukkan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu tidak cermat dalam melaksanakan tugas Presiden dengan didasari atas pengetahuan dan data yang minim. Sebab, orang yang sudah tewas atau meninggal dunia masih diundang menjadi narasumber.

Selain itu, kami juga kecewa atas pelaksanaan FGD yang pada perencanaannya akan secara spesifik membahas mengenai Peristiwa Semanggi I dan II justru malah membahas mengenai topik dan isu dari peristiwa lainnya yang membuat jalannya FGD kehilangan fokusnya. Oleh karena itu, kami khawatir data dan temuan Tim PPHAM atas Peristiwa Semanggi I dan II akan menyimpang dan jauh dari apa yang diharapkan. FGD berkembang menjadi ajang/panggung memperlihatkan perbedaan sikap antara organisasi korban yang menyetujui/menerima Keppres 17/2022, dengan korban Semanggi I yang menolak Keppres 17/2022 karena akan menutup penyelesaian secara yudisial dan melanggengkan impunitas. FGD menjadi tidak fokus pada tema yang ditentukan hari itu yaitu hanya tentang Peristiwa Semanggi I dan Semanggi 2. Sementara itu, penyelenggara FGD hanya menjadi penonton tanpa mengarahkan jalannya FGD.Sehingga, Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II memutuskan untuk walk out dan meninggalkan ruangan FGD dengan secara tegas menolak upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non yudisial sebagaimana diatur dalam Keppres 17/2022.

Jakarta, 15 November 2022

Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II

Catatan:

klik disini untuk mengunduh PERNYATAAN SIKAP MENOLAK KEPPRES NO. 17/2022 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELESAIAN NON-YUDISIAL PELANGGARAN HAM  YANG BERAT MASA LALU yang diserahkan kepada Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D, Anggota Tim PPHAM