Masukan Tak Digubris, Masyarakat Lakukan Aksi Bentang Spanduk di Car Free Day untuk Tolak Pengesahan RKUHP

Aliansi masyarakat tolak RKUHP melakukan aksi simpati dengan membentangkan spanduk penolakan saat car free day di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (27/11/2022). DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebelum memasuki masa reses, 16 Desember 2022. Padahal aturan ini masih mengandung banyak pasal bermasalah. Jika aturan ini disahkan, Indonesia akan kembali masuk ke masa penjajahan karena mengekang hak asasi manusia dan kebebasan masyarakat sipil. Muatan RKUHP ini tak hanya membuat demokrasi di Indonesia berjalan mundur, tetapi juga mencampuri kehidupan individu, termasuk hubungan atara individu dengan kepercayaannya. Sayangnya, serentetan pasal bermasalah yang terkandung dalam RKUHP itu dibahas dalam forum yang tak partisipatif. Bahkan, apabila RKUHP disahkan, akan memberangus kebebasan pers di Indonesia. Aksi ini sempat mendapatkan penghadangan oleh pihak kepolisian. Foto : Trend Asia

Jakarta, 27 November 2022 – Hari ini, masyarakat sipil dari berbagai kalangan melakukan Aksi Bentang Spanduk saat Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan aksi pembuka dari masyarakat sebagai bentuk protes dari masyarakat terhadap DPR dan pemerintah yang berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa reses ketiga atau sebelum 16 Desember 2022.

Selain aksi bentang spanduk, hari ini juga dilakukan sosialisasi bahaya RKUHP dengan membagi flyer kepada warga yang berada di area Car Free Day  terkait pasal berbahaya dari RKUHP.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat melalui siaran Youtube DPR pada 24 November 2022, RKUHP masih memuat banyak pasal bermasalah, di antaranya:

Pasal terkait Living Law: pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah. Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab saat ini masih banyak terdapat perda diskriminatif.

Pasal terkait Pidana mati: legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Hukum ini harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi.

Pasal terkait Perampasan aset untuk denda individu: hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa. Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untungk memeras atau mencari untuk dari rakyat.

Pasal penghinaan presiden: pasal ini adalah pasal anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana.

Pasal peghinaan lembaga negara dan pemerintah: pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.

Pasal terkait contempt of court: pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan dapat dainggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban.

Pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan: aturan ini juga termasuk sebagai pasal anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya justru bisa dihadiahi dengan penjara.

Pasal terkait edukasi kontrasepsi: pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orangtua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi.

Pasal terkait kesusilaan: pasal terkait kesusilaan berbahaya apabila disahkan karena penyintas kekerasan seksual bisa mendapatkan kriminalisasi.

Pasal terkait tindak pidana agama: pasal ini mengekang kekebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RKUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik.

Pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme, dan bertentangan dengan Pancasila: aturan ini dapat mengekang kebebasan akademik dan akan mudah digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis

Selain masih memuat beragam pasal bermasalah, proses pembahasan dari RKUHP juga tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan. Tak hanya itu, apabila pemerintah dan DPR mengesahkan RKUHP saat ini, menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli dengan suasana duka yang masih dirasakan masyarakat pasca Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan, Jawa Timur dan bencana alam gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat. Yang menelan ratusan korban jiwa.

Untuk itu masyarakat menyerukan kepada DPR dan Pemerintah untuk tidak mengesahkan RKUHP sebelum masa reses ini dan lebih banyak membuka ruang diskusi bersama masyarakat. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal bermasalah, dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,

Foto aksi bisa dilihat dalam tautan:

(https://s.id/BentangSpandukRKUHPdiCFD)

(https://drive.google.com/drive/folders/1VXJRCarxJfDnc7_s0pMRBvELZ2d2Aqbe)

(https://www.media.greenpeace.org/shoot/27MDHUFCXQFH)

(https://trendasia.free.resourcespace.com/?c=88&k=a3467d35b3)

(https://www.media.greenpeace.org/shoot/27MDHUFCXQFH)

Narahubung:

M. Isnur (YLBHI)

Citra Referandum (LBH Jakarta)

Aldo Marchiano (Amnesty Internasional Indonesia)

Asep Komarudin (Greenpeace Indonesia)

Adhitiya Augusta (Trend Asia)

Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat)

Ael (Yifos Indonesia)

Deta (PBHI)

Aditya Gumay (KontraS)

Bill Khairan (Imparsial)