Panglima TNI Selanjutnya Harus Menuntaskan Warisan Masalah pada Tubuh Institusi!

Dalam waktu dekat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa akan memasuki masa pensiun yang berarti bahwa posisinya saat ini juga akan berganti. Proses pergantian pun sudah berjalan ditandai oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Puan Maharani menyatakan bahwa akan mengumumkan nama Calon Panglima TNI selambatnya hari Senin tanggal 28 November 2022. Berdasarkan informasi yang dihimpun, nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Surat Presiden (Surpres) ke DPR-RI.

Menuju momentum pergantian jabatan tersebut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menuliskan beberapa catatan evaluatif terhadap kinerja institusi TNI. Dalam kurang lebih satu tahun kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa, pekerjaan rumah institusi TNI masih banyak yang kami anggap belum tuntas. Sejak menjelang masa pensiun Jenderal Hadi Tjahjanto, kami juga telah menuliskan dan mengirimkan berbagai catatan kritis kepada DPR dan Pemerintah agar dapat secara serius meninjau masalah pada tubuh TNI. Sayangnya, ragam permasalahan tersebut bahkan tak mendapatkan perhatian Panglima TNI dalam setahun ke belakang seperti halnya kembalinya TNI di domain sipil dan reformasi peradilan militer.

Lebih jauh, berbagai catatan permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, belum berjalannya reformasi peradilan militer. Selama setahun lebih masa kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, perbaikan terhadap sistem penegakan hukum formil dalam tubuh militer tak kunjung ditunaikan. Padahal proses peradilan militer saat ini terbukti bermasalah dan memiliki urgensi untuk diperbaiki. Dalam agenda reformasi sektor keamanan, harus diupayakan tersedianya mekanisme peradilan yang akuntabel dan transparan jika aparat militer melakukan pelanggaran. Kami mencatat bahwa telah terselenggara 65 peradilan militer dalam kurun waktu Oktober 2021 – September 2022. Adapun proses tersebut telah menghadirkan terdakwa sebanyak 152 orang. Tindakan dominan yang disidangkan dalam peradilan militer dalam kurun waktu setahun terakhir yakni penganiayaan. Sayangnya, hukuman dominan yang dijatuhkan terhadap para pelaku sangat ringan, mayoritas hanya penjara dengan hitungan bulan. Hal tersebut menegaskan terdapat ruang keistimewaan bagi prajurit yang melakukan pelanggaran. Padahal UU No. 34 Tahun 2004 telah spesifik memandatkan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Kedua, kultur kekerasan yang belum berhasil diminimalisir. Sejak berakhirnya rezim otoritarian pada masa Orde Baru, militer di Indonesia belum berhasil lepas sepenuhnya dari tendensi arogansi yang berbuah pada tindakan kekerasan di lapangan. Kentalnya kekerasan dalam tubuh institusi militer salah satunya disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa antara anggota di lapangan dengan entitas lainnya khsusunya sipil. Selain itu, situasi yang memperparah kondisi ialah TNI yang notabene merupakan alat pertahanan terlalu mudah untuk berelasi dengan masyarakat dan bersikap tidak profesional. Hasilnya, anggota TNI yang diberikan kewenangan senjata api tak jarang menyalahgunakan otoritasnya demi kepentingan pribadi seperti halnya bisnis. Belum lama ini, pada 22 Agustus 2022 lalu, 6 anggota militer aktif terlibat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga sipil di Timika, Papua. Walaupun telah di proses dan mendapatkan perhatian Panglima TNI, proses yang berlangsung melalui mekanisme peradilan militer dikhawatirkan jauh dari transparansi dan akuntabilitas. 

Ketiga, problematika Perwira tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen) non-job yang jumlahnya membengkak. Sekitar 500an Kolonel dan 70an Pati kini non-job, angka ini tentu lebih besar jika melihat Pamen pada pangkat Mayor dan Letnan Kolonel. Tingginya jumlah non-job pada level perwira ini membebani anggaran TNI, serta mempengaruhi efisiensi kerja institusi. Panglima TNI yang baru perlu merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah banyaknya jumlah Perwira non-job, perlu dilakukan penghitungan perekrutan anggota TNI khususnya perwira secara akurat. Panglima TNI yang baru perlu merekrut perwira TNI berdasarkan supply and demand yaitu merekrut calon perwira berdasarkan kebutuhan institusi dan jika diperlukan menetapkan moratorium tambahan pada proses perekrutan Perwira. Penerimaan perwira melalui mekanisme Akademi Militer, Akademi Angkatan Udara, Akademi Angkatan Laut serta Perwira Karier perlu dilakukan berdasarkan kebutuhan perwira pada tiap matra dan kesatuan atau korps secara riil, bukan hanya sekedar untuk memenuhi kuota pendidikan demi penyerapan anggaran pembinaan sumber daya militer.

Keempat, nihilnya mekanisme vetting atau uji kompetensi serta pemeriksaan dan pertimbangan latar belakang secara transparan bagi Perwira tinggi yang ditunjuk untuk menduduki jabatan strategis. Pada masa Jenderal Andika Perkasa, beberapa Perwira tinggi dengan latar belakang penuh masalah masih dapat menduduki jabatan strategis contohnya mantan anggota Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis dan penghilangan paksa Untung Budiharjo yang menjadi Panglima Kodam Jaya, penunjukkan Perwira tinggi untuk menduduki jabatan tertentu terkadang juga ditengarai berbasis subyektivitas antar- angkatan dan antar-satuan. Sebagai institusi yang anggarannya bersumber dari pajak masyarakat para Perwira yang didapuk menduduki jabatan strategis tertentu seharusnya melalui vetting mechanism yang transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban TNI kepada rakyat. Panglima TNI yang baru harus memastikan vetting mechanism bagi perwira yang akan menduduki jabatan strategis berjalan dengan transparan sebagai bentuk keterbukaan informasi dari institusi TNI yang juga sejalan dengan semangat reformasi TNI.

Kelima, penunjukkan anggota TNI aktif sebagai PJ Kepala Daerah. Tercatat hingga Oktober 2022 setidaknya terdapat dua kepala daerah yang yang justru berangkat dari unsur TNI yaitu Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai PJ Kepala Daerah Bupati Seram bagian Barat dan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai PJ Gubernur Aceh.  Penunjukkan PJ kepala daerah dari unsur TNI justru berkebalikan dengan semangat reformasi yang menghendaki adanya penghapusan dwifungsi ABRI. Penempatan anggota TNI tersebut juga berpotensi memunculkan permasalahan yang lebih jauh. Faktanya, TNI belum sepenuhnya berhasil lepas dari kultur kekerasan, pelanggaran HAM, penggunaan kekuatan secara berlebihan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Secara tidak langsung, persetujuan Panglima TNI dalam membiarkan TNI aktif masuk kedalam ranah sipil merupakan tindakan sewenang-wenang yang seharusnya menjadi perhatian dalam tubuh institusi TNI. Panglima TNI selanjutnya harus memberikan jaminan tidak berulangnya pemilihan anggota TNI aktif sebagai PJ Kepala Daerah.

Keenam, militer tak hentinya terlibat dalam ragam konflik agraria. Setiap tahunnya KontraS mencatat upaya keterlibatan TNI dalam konflik agraria masih terus berlanjut dalam wujud pengerahan kekuatan dan okupasi lahan. Keterlibatan militer dalam ranah agraria seharusnya menjadi perhatian bagi Panglima Baru; sebab keterlibatan militer pada konflik agraria menunjukkan identiknya institusi TNI dengan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menghadapi sengketa tanah dengan masyarakat. Kasus Wadas merupakan satu dari sekian banyak kasus yang melibatkan TNI sebagai salah satu kasus terkait dengan keterlibatan TNI dalam konflik agraria. Penurunan aparat dalam kasus Wadas yang didalamnya terdapat unsur TNI, merupakan bentuk intimidasi fisik dan psikis terhadap warga wadas yang menolak tambang batuan andesit. Kerentanan TNI dengan menggunakan cara-cara intimidatif dan arogan terhadap warga merupakan catatan yang harus di evaluasi secara serius oleh Panglima baru.

Ketujuh, berlanjutnya pendekatan militeristik di Papua. Setelah dilantik, Panglima TNI selanjutnya juga harus memutar otak guna memutus konflik berkepanjangan di Papua. Selama ini, rantai kekerasan terus berlanjut di bumi Cenderawasih sebagai akibat dari pendekatan militeristik yang sangat kental. Penurunan aparat terus dilakukan oleh negara tanpa didahului keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam UU TNI. Sehingga dapat diindikasikan bahwa operasi yang dilangsungkan selama ini tidak berbasis hukum (illegal). Tak lama setelah terpilih, tepatnya di penghujung 2021, Jenderal Andika Perkasa mengumumkan dibentuknya pendekatan pengamanan Teritorial-Sosial yang tujuannya mengedepankan tugas Kodim dan Babinsa yang bisa langsung menyentuh masyarakat setempat.  Sayangnya, pasca pendekatan baru tersebut dipilih, eskalasi kekerasan di Papua tak berhasil diredam. Alih-alih melakukan koreksi serta evaluasi, penurunan aparat terus saja dilakukan dengan motif yang bermacam-macam seperti keperluan pengamanan perbatasan, penempatan di pos keamanan, hingga penumpasan terhadap KKB.

Kedelapan, langgeng dan masifnya praktek bisnis militer. Keterlibatan prajurit militer dalam mendapatkan sumber-sumber pendanaan lain selain dari APBN terus berlanjut di era kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa. Sebagai contoh, TNI kembali melanjutkan pola pembuatan perjanjian dengan perusahaan terkait dengan pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas). Terbaru, TNI menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bersama dengan PT Freeport Indonesia dan PT Pertamina. Aktivitas ini tentu saja tak memiliki dasar hukum yang jelas, sebab UU TNI hanya mengatur pengerahan aparat setelah adanya keputusan politik negara. TNI seharusnya dapat profesional dengan tunduk pada mekanisme ketatanegaraan yang berlaku, bukan menjalin hubungan keperdataan langsung dengan perusahaan dengan bentuk perjanjian atau MoU. Selain aktivitas kelembagaan yang berkelindan erat dengan bisnis, Panglima TNI selanjutnya juga harus berani menertibkan prajurit di lapangan yang melakukan penyelewengan bisnis ilegal seperti halnya praktik jual-beli senjata dan amunisi di Papua.

Pemilihan Panglima TNI selanjutnya harus benar-benar menjawab permasalahan struktural dan kultural dalam institusi TNI. Panglima TNI selanjutnya tak boleh hanya bentuk pergantian jabatan yang sifatnya formalitas dan sebagai fasilitasi kepentingan politik belaka. Agenda pembenahan dan pemajuan institusi TNI harus dilakukan secara konkret guna mewujudkan TNI yang profesional, transparan dan akuntabel sebagai bagian dari upaya perwujudan agenda reformasi sektor keamanan.

 

Jakarta, 25 November 2022
Badan Pekerja KontraS, 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator