Dugaan Kasus Penyiksaan Terhadap Mahasiswa di Kabupaten Pulau Morotai: Segera Proses Hukum dan Adili Prajurit TNI yang Diduga Melakukan Penyiksaan

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras dugaan tindak penyiksaan yang diduga dilakukan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) Leo Wattimena dengan inisial SM kepada EF, seorang mahasiswa Universitas Pasifik Morotai pada 24 November 2022, di Desa Darame, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai. Dugaan tindak Penyiksaan dilakukan dengan dalih korban diduga mengambil sejumlah cabai di halaman belakang asrama prajurit TNI.

Peristiwa keji ini bermula ketika korban dan teman-temannya membuat acara masak-masak. Bahwa dikarenakan kekurangan bahan rempah, korban beserta temannya pergi keluar mencari bahan tersebut di areal asrama Tertonadi Darame AURI. Sesampainya di sana, korban dan temannya memanggil SM dengan maksud untuk membeli cabai. Oleh karena SM tidak keluar dari rumahnya, akhirnya korban memutuskan untuk memetik sejumlah cabai terlebih dahulu sebelum membayarnya. 

Lalu kemudian, pada saat SM keluar, EF menyerahkan sejumlah uang kepada SM dan EF sempat menjelaskan bahwa ia bermaksud ingin membeli cabai tersebut, namun SM menolak dan kemudian menyiksa EF dengan berbagai bentuk . EF diduga disiksa dengan cara dipukul di bagian wajah korban, dipukul dengan kayu di bagian pinggang, hingga sempat dicekik lehernya. 

Selanjutnya, korban sempat berteriak meminta tolong dan memohon untuk dibawa ke kantor Polisi disebabkan tidak kuat menahan siksaan. Bahkan warga setempat meminta SM untuk menghentikan perbuatannya. Namun, SM tetap saja melakukan penyiksaan kepada EF, bahkan beberapa kali mengancam berulang kali mau membunuh EF di tempat. Sesaat setelah memukul korban selama kurang lebih 15 (lima belas) menit, SM mengikat tangan korban di bawah pohon. Korban kembali dipukul di bagian wajah hingga bengkak dan menendang korban di bagian perutnya. Akibat dari siksaan tersebut, korban mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya, antara lain luka bengkak di pipi bagian kiri, lebam di leher, luka bengkak di pinggang bagian kanan, dan luka gores di bagian tangan kiri.

Bahwa berkaitan dengan peristiwa ini, prajurit TNI AU tersebut telah dilaporkan secara pidana oleh korban ke Polres Morotai dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: STPL/130/XI/SPKT/2022 tanggal 24 November 2022. Akan tetapi pengaduan tersebut belum ada perkembangan yang begitu signifikan, alih-alih menindaklanjuti laporan tersebut, Polres Morotai justru secara sigap dan cepat menindaklanjuti laporan SM terhadap EF atas tuduhan mencuri sejumlah cabai dengan memanggil EF sebagai terlapor.

Kami menilai dugaan praktik penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, baik peraturan domestik maupun internasional. Dalam konteks Hak Asasi Manusia, perbuatan tersebut telah melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, hingga pelanggaran terhadap peraturan internal institusi, yaitu Peraturan Panglima TNI (Perpang) Nomor 73/IX/2010 tentang Penentangan Terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. 

Berbagai peraturan tersebut pada intinya menjelaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari berbagai bentuk penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya. Disamping itu, kami juga menilai bahwa perbuatan tersebut secara terang diduga telah melanggar dalam ketentuan KUHP, dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.

Oleh karenanya, kami mendesak agar terduga pelaku dapat segera diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab, menurut kami, berdasarkan uraian dan fakta di atas telah melanggar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang tertulis dalam delik kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, khususnya Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Sejalan dengan hal itu, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengisyaratkan bahwa prajurit TNI harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran terhadap hukum pidana umum.

Kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan prajurit TNI sebagai aktor/pelaku penyiksaan telah berulang kali terjadi. Sebelumnya, berdasarkan pemantauan kami dari berbagai klasifikasi praktik kekerasan dalam kurun waktu bulan Oktober 2021 hingga September 2022, kami menemukan sebanyak 61 kasus yang dilakukan oleh prajurit TNI. Kami menilai, berulangnya peristiwa kekerasan oleh prajurit TNI disebabkan minimnya tindakan tegas dan rendahnya penghukuman yang maksimal oleh aparat penegak hukum. Disamping itu, melalui peristiwa ini juga semakin menguatkan fakta bahwa prajurit TNI belum berhasil lepas dari kultur kekerasan dalam institusi yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Oleh karenanya, kami mendesak beberapa pihak untuk:

Pertama: Pusat Polisi Militer (Puspom TNI) untuk melakukan serangkaian upaya hukum terhadap peristiwa dugaan penyiksaan yang terjadi dan dilimpahkan kepada Kepolisian untuk diproses lebih lanjut menggunakan mekanisme peradilan umum;

Kedua, Panglima TNI harus segera mengevaluasi dan menindak tegas dengan memberikan hukuman administratif berupa pemberhentian secara tidak hormat terhadap prajurit TNI yang terlibat dalam dugaan tindak kejahatan. Penghukuman ini penting dilakukan, agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari;

Ketiga, Kapolda Maluku Utara memerintahkan jajarannya untuk mengambil alih kasus ini dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap terduga pelaku secara segera serta memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada korban dan keluarga korban atas laporan pidana yang telah diajukan;

Keempat, Komnas HAM melakukan investigasi lebih lanjut atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dan melakukan pemantauan proses hukum yang saat ini dilakukan oleh Polres Morotai.

Jakarta, 29 November 2022

 

Fatia Maulidiyanti, S.IP.
Koordinator
Narahubung: 0895-7010-27221