Peluncuran Kertas Posisi Menyoal Tata Kelola Pengamanan Objek Vital Nasional

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan merupakan organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu reformasi sektor keamanan (security sector reform). Kami memberi perhatian khusus terhadap permasalahan tata kelola Objek Vital Nasional (Obvitnas) yang sejauh ini masih membutuhkan banyak perbaikan. Salah satu masalah utama dari tata kelola Obvitnas tersebut yakni, penetapan sebuah objek sebagai objek vital nasional, keterlibatan militer atau institusi TNI dalam kerja-kerja pengamanan Obvitnas maupun Objek Vital Tertentu, serta pengamanan oleh kepolisian.

Pada dasarnya, Obvitnas dianggap begitu penting karena keberadaannya disebut memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Obvitnas juga sangat dilindungi dari segala ancaman dan gangguan karena ancaman terhadapnya dikhawatirkan berpotensi membahayakan sistem perekonomian nasional, stabilitas politik, dan juga keamanan nasional. Oleh karena itu, Obvitnas memiliki sistem keamanannya sendiri dengan standar pengamanan yang ketat demi memperkecil resiko dan dampak keamanan yang ditimbulkan. Kami melihat dilibatkannya TNI pada tugas-tugas pengamanan merupakan tindakan yang tidak perlu dan justru banyak memicu konflik serta berimplikasi terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya TNI, institusi keamanan lain seperti halnya Kepolisian juga masih menyisakan sejumlah problematika dalam menjalankan tugasnya.

Peraturan terkait Obvitnas tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional—selanjutnya disebut dengan Keppres Obvitnas. Pada dasarnya, regulasi ini memberikan kewenangan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk melaksanakan pengamanan objek vital nasional dan melakukan audit sistem pengamanan objek vital nasional secara periodik. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Obvitnas adalah suatu kawasan atau lokasi, bangunan atau instalasi dan atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Sebagai kawasan strategis negara, status Obvitnas harus ditetapkan berdasarkan keputusan menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

Konsekuensi dari Keppres Obvitnas tersebut ialah melahirkan bentuk pengamanan yang disesuaikan dengan kebutuhan dari tiap pengelola obvitnas yang mengajukan pengamanan tersebut. Alhasil, keterlibatan kepolisian dalam sejumlah sektor pengamanan akan terus bertambah sebagai satu-satunya instansi yang memiliki otoritas pengamanan. Serta, perbantuan pengamanan objek vital oleh Polri tidak lantas menjadikan aparat berhak untuk langsung mempergunakan tindak kekerasan walaupun mereka memiliki diskresi untuk melaksanakan wewenang tersebut. Mengingat, pada dasarnya, pengaturan tentang pengamanan Obvitnas ditujukan untuk meminimalisir dan bahkan mencegah dampak dari gangguan terhadapnya yang berpotensi mengakibatkan bencana kemanusiaan, terganggunya pemerintahan, terancamnya keamanan dan pertahanan nasional, terlebih rusaknya pembangunan nasional.

Secara legal, kepolisian merupakan institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbantuan terhadap pengamanan terhadap Obvitnas. Terbaru, terdapat Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 3 Tahun 2019 yang mengatur pemberian pembantuan keamanan pada Objek Vital Nasional dan Objek Vital Tertentu. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Kepolisian memiliki suatu konsep manajemen Sistem Pengamanan Obvitnas (SMP Obvitnas). Sistem ini merupakan bagian dari manajemen yang saling terkait dalam bentuk pembinaan teknis dan audit terhadap seperangkat elemen pengamanan yang terdiri dari komitmen dan kebijakan, pola pengamanan, konfigurasi standar pengamanan, standar kemampuan pelaksanaan pengamanan dan monitoring evaluasi.[1]

Namun, dalam praktiknya penggunaan kekuatan aparat keamanan di sejumlah objek vital nasional nyatanya masih terdapat dominasi praktik kekerasan oleh kepolisian. Di Jawa Timur, Pada 25 November 2015, terjadi bentrok antara aparat keamanan dengan warga Desa Sumberagung yang melangsungkan aksi protes penolakan kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu. Bentrok tersebut menuai 2 orang korban luka akibat dari selongsong peluru karet yang dilepaskan oleh aparat keamanan. Sebelum peristiwa itu, jalan mediasi telah ditempuh dengan Manajemen PT. BSI yang difasilitasi oleh Polres Banyuwangi yang pada intinya warga menolak aktivitas pertambangan di wilayah Tumpang Pitu, namun hasil mediasi tersebut gagal memenuhkan tuntutan warga. Hal tersebut telah memperlihatkan kegagalan polisi sebagai institusi sipil guna menghadirkan rasa aman dan adil justru sebaliknya merepresi gerakan aksi protes warga.

Berdasarkan Keppres Obvitnas, pada hakikatnya keamanan pada Obvitnas menjadi tanggung jawab dari pengelola masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal.[2] Namun, pada praktiknya prinsip pengamanan internal tersebut dalam beberapa kasus justru melebihi kewenangannya, seperti pelibatan militer. Pada dasarnya, TNI (Tentara Nasional Indonesia) memang diperbolehkan untuk terlibat dalam melakukan pengamanan Obvitnas sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Keppres tentang Obvitnas. Namun, permasalahan terletak pada tidak dicantumkannya prinsip-prinsip yang berperan sebagai pelindung (safeguards) dalam peraturan-peraturan tersebut demi menghindari pelanggaran HAM berupa jatuhnya korban sipil. Ditambah, penggunaan kekuatan militer seharusnya menjadi pilihan terakhir ketika kapasitas sipil, dalam hal ini kepolisian, sudah tidak lagi mampu menangani ancaman yang terjadi. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan berpotensi mengakibatkan terjadinya penggunaan kekuatan militer yang berlebihan (excessive use of force).

Keterlibatan TNI juga membuka celah besar bagi ruang bisnis militer. Dalam konteks pengamanan Obvitnas, TNI terlibat jauh lebih dari sekedar tugas pembantuan aparat kepolisian. Ditambah, TNI juga memiliki rekam jejak panjang dalam pencarian dana di luar anggaran negara, seperti melakukan bisnis jasa-jasa sewaan dan membuat jaringan perlindungan.[3] Pada dasarnya, keterlibatan aparat militer dalam ranah ekonomi merupakan praktik yang berbahaya karena memperlemah kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata dan memperbesar potensi pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam kertas posisi ini kami merekomendasikan beberapa hal:

Pertama, pemerintah harus memperhatikan implikasi buruk yang timbul akibat penetapan suatu kawasan menjadi Objek Vital Nasional. Pembenahan harus dilakukan mulai dari proses penentuannya Obvitnas yang dilakukan secara profesional dan didasarkan pada akuntabilitas. Selain itu, proses penetapan Obvitnas harus dilakukan dengan partisipatif dengan melibatkan warga setempat. Hal itu harus dibuat formal dalam bentuk regulasi peraturan perundang-undangan.

Kedua, melakukan revisi dan pembaruan terhadap Perpres 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Regulasi mengenai pengamanan Obvitnas harus diatur secara jelas dan tegas, yakni mengenai prosedur pengajuannya hingga institusi mana saja yang berwenang. Selain itu, ketentuan pengamanan perbantuan TNI untuk melakukan kerja-kerja pengamanan Obvitnas juga harus direvisi, sebab selama ini terbukti melanggengkan bisnis militer dan memperluas potensi pelanggaran HAM.  Keterlibatan militer yang terlalu jauh mencederai agenda reformasi sektor keamanan.

Ketiga, mengatur secara tegas demarkasi tugas perbantuan militer dalam melakukan pengamanan terhadap Obvitnas. Perpres yang ada selama ini seakan melegitimasi keterlibatan militer terlalu dalam dalam tugas perbantuan tersebut. Pemerintah dapat melakukan pengesahan UU Tugas Perbantuan Militer yang berisi batasan ketat mengenai keterlibatan militer dalam OMSP. Harus diingat bahwa keterlibatan militer dalam kerja pengamanan adalah last resort sehingga ukuran keterlibatannya harus dirumuskan.

Keempat, memperkuat sistem pengawasan pengamanan Obvitnas. Lembaga yang memiliki otoritas mengawasi seperti halnya DPR harus mengawasi secara ketat guna menciptakan tata kelola pengamanan Obvitnas lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, seluruh pelanggaran dalam kerja pengamanan harus ditindak dengan tegas sesuai dengan mekanisme due process of law. Hukuman yang dijatuhkan juga harus memberikan efek jera guna mencegah terjadinya keberulangan.

 

Jakarta, 1 Desember 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

[1] Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 3 Tahun 2019, Ps. 1 Angka 5.

[2] Keputusan Presiden tentang Objek Vital Nasional, Keppres 63 Tahun 2004, ps. 4 ayat (1).

[3] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 2003, Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia, hlm. 18.

 

Klik disini untuk meilat laporan selengkapnya