Pola Berulang: Brutalitas Kepolisian Menegaskan Pemerintah Anti Kritik

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras peristiwa kekerasan dan brutalitas Kepolisian terhadap massa aksi yang menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) di Bandung, 15 Desember 2022. Berdasarkan informasi yang kami terima, terdapat puluhan mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Jawa Barat ditangkap secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah. Selain itu, berbagai cara represif seperti penembakan gas air mata dan penyemprotan water cannon kembali dilakukan untuk membubarkan kegiatan demonstrasi. Hal tersebut kembali menegaskan bahwa negara lewat aparat Kepolisian anti kritik dan tak handal menanggapi kritik publik. 

Demonstrasi yang dilakukan di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat merupakan rangkaian penolakan masyarakat sipil dan mahasiswa terhadap pengesahan R-KUHP yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah pada 6 Desember 2022 lalu. Draf yang disahkan tersebut padahal masih memuat substansi yang problematik seperti halnya Pasal anti demokrasi yakni Pasal serangan terhadap harkat dan martabat terhadap presiden, penghinaan terhadap lembaga negara dan demonstrasi menyebabkan kerusuhan. Selain itu, secara prosedural, partisipasi bermakna juga belum diterapkan secara optimal oleh pembuat UU. 

Berdasarkan kronologis yang kami terima, penyampaian pendapat di muka umum tersebut dilakukan secara damai. Sayangnya, pad pukul 17.00, aparat kepolisian menunjukkan gelagat hendak menyerang massa aksi dengan menggunakan water canon dan pada pukul 17.30 WIB, polisi menembakkan water canon ke barisan mahasiswa. Selanjutnya, aparat secara brutal melakukan kekerasan terhadap massa aksi, menangkap massa aksi, dan menahan motor mahasiswa yang terparkir di Gedung DPRD Jawa Barat. Akibat kejadian tersebut, beberapa mahasiswa pun mengalami pingsan, luka-luka di bagian tubuh mereka seperti kepala, telinga, wajah, dada, dan kaki.

Adapun tindakan brutalitas aparat dalam terhadap massa aksi yang menolak R-KUHP berimbas pada upaya penangkapan kepada 6 orang dari UNIKOM, 2 orang dari UNPAS, 6 orang dari UNPAD, 5 orang dari UIN Sunan Gunung Djati, 1 orang dari UPI, 1 orang dari UTD, 1 orang dari STT Telkom, 1 orang dari UNLA, 1 orang dari UNISBA, 2 orang dari Universitas Widyatama, dan 4 orang tanpa kampus. Selain ditangkap sewenang-wenang, polisi juga menahan ponsel milik para mahasiswa sehingga tim bantuan hukum dan medis kesulitan mencari lokasi penahanan para massa aksi.

Peristiwa ini menunjukan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) dalam tindakan Kepolisian. Tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran atas ketentuan internal Kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian No. 7 Tahun 2012, yang mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu, Polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan melanggar HAM lainnya.

Selain itu, pembubaran dan penangkapan sewenang-wenang semacam ini merupakan pola berulang dalam beberapa tahun terakhir seperti pada aksi #ReformasiDikorupsi, penolakan omnibus law, dan penolakan perpanjangan masa jabatan presiden. Pembubaran paksa yang dilakukan aparat seringkali dibarengi dengan kekerasan, penangkapan sewenang-wenang hingga kriminalisasi massa aksi. Saat pendamping hukum berusaha mendampingi korban, akses tersebut pun dihalang-halangi. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum HAM nasional maupun internasional seperti halnya Pasal 24 UU No. 39 tahun 1999 dan Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik. 

Atas dasar tersebut KontraS mendesak:

Pertama, Polda Jawa Barat dan Polresta Bandung untuk membebaskan seluruh massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan pola represif yang terus berulang selama ini dalam menyikapi aksi penyampaian pendapat di muka umum;

Ketiga, Komnas HAM dan Kompolnas selaku lembaga pengawas eksternal Kepolisian untuk melakukan rangkaian pengusutan atas dugaan pelanggaran HAM ataupun prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Jakarta, 16 Desember 2022
Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator