Jeda Kemanusiaan Papua: Ketertutupan Informasi Menunjukkan Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Tangani Konflik Papua

Pasca serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) ke rayon militer TNI di Kisor pada akhir 2021, TNI mengintensifkan pengerahan pasukan di beberapa daerah Papua dengan tujuan menangkal serangan dari kelompok bersenjata Papua. Sejak akhir 2021, total enam wilayah yaitu Maybrat, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo dan Kabupaten Puncak telah terdampak konflik bersenjata, mengakibatkan puluhan ribu warga sipil mengungsi. Sebagai upaya merespon dan mencari jalan keluar dari konflik bersenjata tersebut, pada tanggal 11 November 2022 di Jenewa telah ditandatangani memorandum of understanding atau nota kesepahaman oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Majelis Rakyat Papua (MRP) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berisi kesepakatan untuk melakukan jeda kemanusiaan di Maybrat. Jeda kemanusiaan sendiri adalah mekanisme untuk secara sementara menghentikan “kontak senjata” di antara para pihak yang berkonflik, dalam konteks konflik di Papua jeda kemanusiaan yang dimaksud disebut bertujuan untuk menginisiasi gencatan senjata antara para pihak yang berkonflik serta memberikan kesempatan untuk “mengurusi” para pengungsi.

Kami memahami bahwa situasi di Papua terus mengalami eskalasi konflik yang tak kunjung usai. Dari daerah ke daerah, terjadi dampak serius akibat adanya konflik di Papua, kematian warga sipil, eksploitasi sumber daya alam, hingga pengungsian menjadi dampak lanjutan antar konflik bersenjata yang terjadi. Untuk itu, dalam menanggapi situasi tersebut, Negara perlu berhati-hati dalam mengambil langkah pencegahan maupun pemulihan supaya situasi yang hendak diperbaiki dapat menyasar pada sumber masalah. 

Tetapi, kami melihat bahwa keberadaan MoU tersebut tidak cukup untuk membawa situasi Papua menjadi lebih baik. Pasalnya, kesepakatan tersebut tidak ditandatangani oleh pihak yang berkonflik, TNI dan TPN-PB. Merujuk pada prinsip hukum humaniter internasional serta ketentuan-ketentuan hak asasi manusia (HAM), pihak yang berkonflik seharusnya menjamin perlindungan kepada warga sipil dan memastikan bahwa konflik bersenjata yang terjadi tidak memberikan dampak negatif serta kerugian berlebihan. 

Pada konflik bersenjata di Papua, KontraS menilai bahwa pihak yang berkonflik sama sekali tidak mematuhi aturan hukum humaniter Internasional secara khusus “Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Warga Sipil di Masa Perang” yang mewajibkan pihak dalam konflik bersenjata menjamin keselamatan warga sipil, serta prinsip kemanusiaan humaniter yang mengharuskan para pihak untuk mencegah penderitaan yang dapat ditimbulkan oleh konflik bersenjata. Jika pemerintah Indonesia konsisten dalam menerapkan prinsip tersebut maka kerugian yang ditimbulkan oleh konflik bersenjata di Papua seharusnya dapat diminimalisasi dan mekanisme seperti jeda kemanusiaan sesungguhnya tak perlu dilakukan.

Lebih lanjut, merujuk pada prinsip humaniter Internasional konflik bersenjata seharusnya dilangsungkan dengan adanya “deklarasi operasi militer” terlebih dahulu oleh pemerintah, lebih lanjut pemerintah juga seharusnya memberikan akses kepada International Committee of the Red Cross (ICRC) sebagai pihak yang secara internasional berwenang untuk memantau kemungkinan pelanggaran prinsip humaniter yang terjadi pada konflik bersenjata. Hingga lebih dari setahun, sama sekali tidak ada deklarasi operasi militer resmi dari pemerintah akan konflik bersenjata yang berlangsung di Papua, pemerintah juga belum memberikan akses secara resmi kepada ICRC untuk melakukan pemantauan. 

Pada sisi lain komitmen pemerintah untuk mengundang Office of High Commissioner of Human Rights (OHCHR) PBB ke Papua guna memantau kondisi HAM di Papua khususnya pada saat konflik berlangsung sama sekali belum dilaksanakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak menunjukkan komitmen terhadap perlindungan HAM serta enggan mematuhi prinsip-prinsip humaniter internasional pada konflik bersenjata di Papua. Kesepakatan jeda kemanusiaan di yang ditandatangani pun tidak melibatkan para pihak yang berkonflik seperti TNI dan TPN-PB, TPN-PB bahkan secara tegas menyatakan menolak kesepakatan jeda kemanusiaan serta mengancam pihak-pihak yang menyetujui kesepakatan tersebut. Berkaca dari pengalaman jeda kemanusiaan yang dilakukan pada konflik Aceh, KontraS berpendapat bahwa jeda kemanusiaan beresiko untuk dijadikan sebagai kesempatan bagi pihak yang berkonflik untuk memperkuat basis kekuatan masing-masing, menyebabkan eskalasi konflik yang mungkin lebih besar di kemudian hari. 

Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, KontraS menilai pemerintah tidak memberi perhatian pada konflik bersenjata yang terjadi serta enggan menjalankan kesepakatan jeda kemanusiaan. Menkopolhukam Mahfud MD, menolak mengakui jeda kemanusiaan sebagai hasil perundingan resmi pemerintah Indonesia serta menyatakan bahwa pemerintah belum membentuk tim pelaksana dari kesepakatan jeda kemanusiaan yang diinisiasi oleh Komnas HAM, transparansi Komnas HAM yang hingga kini belum membuka juga patut isi kesepakatan jeda kemanusiaan untuk diketahui oleh publik juga patut dipertanyakan. Pada sisi lain pengurus Komnas HAM yang baru juga masih terkesan “meraba” mekanisme yang dapat dijalankan dalam rangka melaksanakan jeda kemanusiaan. 

Jeda kemanusiaan seharusnya berfungsi sebagai mekanisme untuk memberikan kesempatan kepada penduduk sipil untuk meninggalkan area konflik serta memberikan kesempatan bagi distribusi bantuan kemanusiaan dan mengevakuasi para korban khususnya yang terluka. Berdasarkan hal-hal tersebut KontraS menganggap bahwa pemerintah kembali gagal memahami akar permasalahan serta memberikan solusi terhadap konflik bersenjata Papua dan mendesak:

Pertama, pemerintah dan Komnas HAM untuk segera membuka isi nota kesepahaman jeda kemanusiaan secara transparan dan sebagai bentuk akuntabilitas dalam memperbaiki situasi di Papua.

Kedua, pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua khususnya pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan memastikan keselamatan warga sipil serta pemenuhan kebutuhan para pengungsi sesuai dengan kaidah-kaidah HAM dan hukum humaniter

 

Jakarta, 5 Januari 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator