Vonis Ringan Pengadilan Negeri Batam Terhadap Pelaku Penyiksaan Alm. Henry Alfree Bakari, Melukai Rasa Keadilan Keluarga Korban

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan vonis ringan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Batam dalam kasus penyiksaan yang melibatkan anggota kepolisian Polresta Barelang dari kesatuan Ba Subnit 2 Unit 1 Satresnarkoba, Brigadir Jifsen Ramelo. Diketahui berdasarkan Putusan PN Batam Nomor 442/Pid.B/2022/PN Batam, Majelis Hakim memutus bersalah terdakwa JR melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP, dengan putusan pidana 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara. Padahal dakwaan pertama JPU, mendakwakan terdakwa dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang dengan ancaman maksimal pidana penjara 7 (tujuh) tahun penjara.

Dalam dakwaan yang disusun JPU, terungkap bahwa Brigadir JR melakukan tindak penyiksaan dengan cara memukul ke arah wajah sebelah kiri dengan tangan kanan terdakwa, menendang paha sebelah kanan dan kiri korban dengan lutut terdakwa. Hal tersebut kemudian dikuatkan dengan adanya hasil Visum et Repertum yang menyatakan terdapat luka lecet dan memar pada keempat anggota gerak dan resapan darah pada kulit kepala bagian dalam akibat kekerasan tumpul.

Bahwa dalam proses pidana yang telah berjalan, kami menemukan berbagai kejanggalan yaitu terkait proses hukum yang hanya terfokus kepada Brigadir JR, padahal terdapat anggota Kepolisian Polresta Barelang lainnya yang diperintahkan untuk menangkap korban ketika itu, sehingga seharusnya ke-7 anggota ini juga harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut diperiksa atau diproses secara hukum. Selain itu, sudah sepatutnya juga Kasat Resnarkoba Polresta Belerang untuk ikut dimintai pertanggungjawaban secara hukum, dikarenakan bertanggungjawab selaku atasan yang berwenang memberikan perintah dan melakukan pengawasan.

Kejanggalan lain yang kami temukan ialah hingga saat ini kami selaku kuasa hukum dan keluarga korban belum mendapatkan penjelasan secara resmi perihal isi dari rekam medis dan/visum et repertum korban. Padahal keluarga korban berhak untuk mengetahui secara lengkap dari hasil otopsi yang sebelumnya pernah dilakukan.

Lalu dalam proses persidangan, keganjilan yang kami temukan ialah JPU tampak tidak professional dan serius dalam menuntut terdakwa mengingat, tuntutan yang diajukan kepada terdakwa tidak menggunakan dakwaan pertama yaitu Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang dengan ancaman maksimal pidana penjara 7 (tujuh) tahun penjara. Melainkan dakwaan kedua dengan menggunakan Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya juga berani untuk memberikan putusan dengan ancaman pidana maksimal berdasarkan dakwaan pertama yang disusun JPU, dengan pertimbangan perbuatan pelaku yang melecehkan kemanusiaan dan pelaku ialah aparat kepolisian yang seharusnya melindungi dan menghormati hak asasi manusia setiap orang.

Kami menilai tindak penyiksaan  merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang telah diatur dalam kovenan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Selain itu tindakan penyiksaan dan perbuatan yang tidak manusiawi lainnya juga dilarang berdasarkan Pasal 10 Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian 

Kasus ini bermula pada tanggal 6 Agustus 2020, diketahui waktu itu korban sedang berada di kelong ikan kemudian didatangi oleh beberapa anggota kepolisian yang hendak melakukan penangkapan terhadap dirinya tanpa membawa surat penangkapan. Lalu keesokan harinya tanggal 7 Agustus 2022 Polresta Barelang mendatangi kediaman korban untuk melakukan penggeledahan. Keluarga korban yang ketika itu berada di lokasi mengatakan bahwa wajah Alm. Henry Alfree Bakari tampak lebam dan memar, warga di sekitar rumah Henry pun mengatakan bahwa mereka melihat Henry berjalan dengan pincang dan terlihat lemas.  Lalu pada tanggal 8 Agustus 2020 Henry Alfree Bakari diketahui telah meninggal dunia dengan luka lebam di sekujur tubuhnya dan kondisi kepala yang telah terbungkus plastik.

Terkait peristiwa tersebut, tim advokasi telah mengajukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 04 September 2020 perihal adanya dugaan tindak penyiksaan dan abuse of process. Hasilnya berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari surat permohonan informasi yang kami ajukan pada 25 Februari 2021, Komnas HAM berkesimpulan adanya penangkapan secara sewenang-wenang dan tindak kekerasan dalam proses penegakan hukum terhadap alm. Henry Alfree Bakari. 

Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak kepada:

  1. Kapolda Kepulauan Riau memerintahkan jajarannya untuk melakukan penyelidikan/penyidikan kepada 7 (tujuh) anggota Polresta Barelang yang diperintahkan menangkap korban, tidak terkecuali terhadap  Kasat Resnarkoba Polresta Belerang selaku atasan yang juga ikut bertanggungjawab secara hukum terkait kematian alm. Henry Alfree Bakari;
  2. Kapolresta Barelang memberhentikan secara tidak hormat Brigadir JR yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak kejahatan;
  3. JPU mengajukan upaya hukum atas vonis ringan, 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara, yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam terhadap terdakwa.

 

Jakarta, 10 Januari 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator 

Narahubung : 0877 8555 3228