2 Tahun Kudeta Myanmar: Peran Pemerintah dan Masyarakat Sipil Indonesia untuk ASEAN yang responsif

Tanggal 1 Februari 2021, sebuah catatan kelam ditorehkan dalam sejarah demokrasi dan hak asasi manusia di Myanmar. Pada tanggal tersebut dua tahun yang lalu, militer Myanmar melakukan aksi percobaan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dan baru terbentuk. Tindakan sewenang-wenang ini tentu memperburuk situasi di Myanmar yang belum lama menjadi negara demokratis  setelah berpuluh-puluh tahun lamanya berada di bawah rezim otoritarianisme. 

Kudeta militer tidak saja memporak-porandakan tatanan pemerintah di Myanmar, tetapi juga memberangus masyarakat di Myanmar yang menolak kudeta tersebut dengan tindakan represif, seperti perampasan hak sipil dan kebebasan dasar, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan pembunuhan di luar proses hukum, pemberlakuan jam malam dan pembatasan aktivitas masyarakat, pengadilan tanpa proses hukum yang akuntabel, hingga pemberlakuan eksekusi mati terhadap para aktivis pro-demokrasi, Phyo Zeya Thaw, Ko Jimmy, Hla Myo Aung, dan Aung Thura Zaw, pada Juli 2022 lalu, di saat hukuman mati sudah tidak digunakan lagi di Myanmar selama puluhan tahun. Seperti pernyataan National Unity Government (NUG), yang merupakan pemerintah sah di Myanmar, terkait 165 anak yang terbunuh pada 2022 karena serangan udara di berbagai sekolah dan lebih dari 1.400-nya dipenjara sewenang-wenang. Hal tersebut juga terjadi pada kelompok lainnya dimana lebih dari 2.600 orang disiksa dan meninggal sejak Desember 2021.

Situasi brutal di Myanmar mendesak ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) sebagai organisasi di kawasan Asia Tenggara dimana Myanmar menjadi salah satu anggotanya untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan di Myanmar, termasuk upaya resolusi konflik sebagaimana tujuan dibentuknya ASEAN. Upaya ASEAN yang semula meyakini bahwa situasi yang terjadi di Myanmar sebagai konflik internal perlahan berubah menjadi sikap tegas menolak keterlibatan pemerintahan militer di setiap pertemuan-pertemuan ASEAN, hingga pertemuan khusus ASEAN yang dibentuk untuk merespon situasi di Myanmar, yang kemudian menghasilkan Five Point Consensus (5PCs) untuk ditindaklanjuti Myanmar. Namun dua tahun sejak kudeta berlangsung, dan kepemimpinan ASEAN sudah berganti tiga negara, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, dan kini Indonesia, ASEAN masih belum mampu mengembalikan situasi di Myanmar seperti sebelum terjadinya kudeta militer. Hingga pada KTT ASEAN 2022 di Kamboja, pemimpin negara ASEAN menyetujui bahwa perlu adanya langkah-langkah implementasi dari 5PCs yang dapat terukur baik dari segi aksi maupun tenggat waktu. 

Indonesia, sejak kudeta militer diproklamirkan, sudah proaktif merespon dan menginisiasi pertemuan antar menteri luar negeri untuk membahas konflik kemanusiaan di Myanmar. Simpati Indonesia juga dapat dilihat melalui masifnya upaya masyarakat sipil untuk mendukung masyarakat Myanmar melalui rangkaian aksi kampanye selama berlangsungnya ASEAN Leaders Meeting pada 2021 maupun di Kantor Sekretariat ASEAN hingga terlibat dalam permohonan uji materiil terhadap Pasal 5 UU Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan agar Pengadilan HAM di Indonesia juga dapat memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar wilayah negara Indonesia atau yang lebih dikenal dengan mekanisme Universal Jurisdiction. Jika permohonan ini dikabulkan, maka tidak menutup peluang bagi Indonesia untuk dapat mengadili junta militer Myanmar ketika berada di teritorial Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri dalam kanal websitenya serta Pidato Presiden Joko Widodo pada 11 November 2022 untuk segera memberikan perhatian khusus pada isu Myanmar oleh ASEAN. Presiden Jokowi juga menghimbau agar perwakilan Myanmar junta tidak lagi diundang ke pertemuan-pertemuan ASEAN di level manapun. Namun demikian, pernyataan Presiden Jokowi dalam merespon 2 tahun kudeta militer dengan menyatakan bahwa akan mengirimkan jenderal untuk membantu proses transisi di Myanmar dikhawatirkan akan membuat penyelesaian konflik tidak berjalan sesuai harapan.

Tanggal 1 Februari 2023, menandakan dua tahun sejak kudeta militer diumumkan. Namun demikian, situasi HAM di Myanmar tidak kunjung membaik. Pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing menyebut akan melakukan pemilu ulang pada Agustus 2023 yang harus ditolak oleh seluruh elemen dunia, termasuk ASEAN. Secara tegas, ASEAN juga harus menolak kehadiran perwakilan junta militer dalam ASEAN Foreign Minister Meeting (AFMM) yang akan diselenggarakan pada 3-4 Februari 2023 besok, maupun dalam pertemuan-pertemuan ASEAN lainnya. Di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai Ketua ASEAN, harus ada langkah konkrit dan ketegasan yang dilakukan oleh Indonesia sebelum situasi di Myanmar kian memburuk, termasuk merespon kondisi pengungsi Rohingya yang terus berdatangan ke negara-negara ASEAN lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand, dan memastikan perlindungan maksimal diberikan kepada para pengungsi.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Burma mendorong 

  1. Pemerintah Indonesia sebagai Chair ASEAN untuk memberikan pernyataan tegas agar tidak memberikan perizinan kepada Militer Junta datang ke forum regional, sebagai melegalisir keberadaannya dalam ASEAN seperti AMM dan ASEAN Tourism Forum.
  2. Pemerintah Indonesia untuk mempertegas koordinasi serta upaya kolaborasi dengan berbagai pihak mulai dari tingkat lokal dan nasional seperti dengan koalisi masyarakat sipil serta tingkat kawasan dan global. 

 

Jakarta, 2 Februari 2023
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Burma

  1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
  2. Asia Justice and Rights (AJAR)
  3. CIVICUS: World Alliance for Citizen Participation
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. ALTSEAN-Burma