34 Tahun Talangsari: Pidato Penyesalan Presiden bukanlah Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Talangsari

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) menanti penanganan peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari. Jika Presiden bersungguh-sungguh dengan pidato pengakuannya, tentu saja harus dibuktikan dengan aksi nyata Negara untuk memberikan hak-hak korban dengan bermartabat. Pemulihan adalah salah satu hak korban dan tidak boleh dianggap sebagai penyelesaian karena berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, korban juga berhak atas keadilan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.

Pemulihan non-yudisial yang digaungkan Pemerintah sebagai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah hal baru. Pada tahun 2015, Pemerintah membentuk Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan bersama Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Badan Intelijen Negara, TNI, dan Komnas HAM. Namun Komnas HAM membantah jadi bagian dari Komite ini. Tidak ada kelanjutan dari tim ini.

Tahun 2016, Pemerintah kembali membentuk Tim Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang secara tegas menyatakan tidak akan mengeluarkan output berupa permintaan maaf. Di tahun yang sama Kementerian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung di bawah wewenang Kemenkopolhukam membentuk Tim Gabungan Terpadu Untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Sama seperti tim sebelumnya, tidak ada kejelasan hasil dari kedua tim tersebut.

Pada tahun 2018, Wiranto sebagai Menkopolhukam membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah mufakat tanpa proses peradilan. Dewan ini digadang-gadang pemerintah sebagai pengganti UU Nomor 27 Tahun 2008 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lagi-lagi, tidak ada hasil.

Tahun 2019, pemerintah kembali berakrobat soal pemulihan dengan Tim Terpadu Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat yang pada akhirnya mengadakan Deklarasi Damai Talangsari. Deklarasi tersebut memuat kesepakatan secara sepihak dengan otoritas daerah bahwa kasus Talangsari tidak akan dibuka kembali. Akhirnya Ombudsman menyatakan bahwa deklarasi tersebut merupakan bentuk maladministrasi.

Dengan adanya banyak upaya penyelesaian lewat jalur non-yudisial secara serampangan yang telah dilakukan negara, wajar jika pada akhirnya korban pelanggaran HAM berat Talangsari akhirnya memilih sikap skeptis saat Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Keppres No. 17 tahun 2022) diumumkan, termasuk saat Presiden menyatakan penyesalannya. Terutama jika tim penyelesaian itu terdiri dari orang-orang yang tidak berintegritas dengan proses dan alur kerja yang tidak transparan. Selain itu rentetan tim di atas menunjukkan bagaimana Pemerintah berusaha menyelesaikan kasus secara tidak transparan dan akuntabel, yakni berbagai kesepakatan damai tanpa berusaha lebih aktif menyelesaikan perbedaan pendapat antara Komnas HAM dan Jaksa Agung yang terjadi sejak 2008 agar korban segera mendapatkan keadilan yang menjadi haknya. 

Oleh karena itu, dalam peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari Lampung ini, KontraS dan PK2TL menuntut:

  1. Agar Pemerintah segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kasus Talangsari Lampung 1989;
  2. Agar Pemerintah memberikan hak korban atas pengungkapan kebenaran dan hak atas pemulihan yang menyeluruh, transparan dan bermartabat sesuai dengan standar pemulihan internasional

Penyesalan tanpa tindak lanjut yang bermartabat adalah manipulasi. Pemulihan tanpa pengungkapan kebenaran dan keadilan adalah impunitas.

 

7 Februari 2023

Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)