Menyoal Dasar Pernyataan Wakil Ketua DPR RI Terkait Papua Dalam Status Darurat Sipil dan Akhiri Konflik di Papua Dengan Pendekatan Non-Kekerasan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan terkait dasar pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang politik dan keamanan, Lodewijk Paulus di berbagai media yang memberikan penjelasan bahwa saat ini situasi Papua sedang dalam status darurat sipil. Mengingat hingga saat ini, belum ada keputusan resmi dari Presiden terkait status operasi keamanan di Papua dan bagi kami penyelesaian masalah dengan pendekatan keamanan, seperti darurat sipil tidak akan dapat menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di Papua.

Kami menilai, pernyataan tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat memicu eskalasi kekerasan dan dapat memperparah situasi kemanusiaan di Papua. Dikhawatirkan pernyataan Wakil Ketua DPR itu dijadikan validitas oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang. Dikarenakan, melalui kebijakan darurat sipil negara memiliki wewenang yang begitu besar dan berpotensi terjadi adanya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pejabat negara untuk tidak reaktif menyikapi situasi konflik yang sedang terjadi.

Apabila merujuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dengan adanya kebijakan darurat sipil pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telepon maupun radio, menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik hingga dapat mengontrol semua akses informasi seperti penyebaran tulisan/gambar dan penerbitan. Wewenang pemerintah yang besar tersebut, tentunya akan dapat menimbulkan persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban.

Berkaitan dengan status operasi keamanan di Papua, KontraS sebelumnya pernah mengajukan permohonan informasi publik kepada Kemenkopolhukam pada 5 April 2022 dengan nomor surat 17/SK-KontraS/IV/2022, mempertanyakan terkait status keamanan di Papua saat itu. Namun surat tersebut tidak mendapatkan balasan. Dengan tidak diberikannya informasi tersebut, membuktikan bahwa pengerahan aparat keamanan secara masif ke Papua patut dipertanyakan sebab tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari negara atas pengerahan pasukan keamanan  yang selama ini dilakukan. 

Berdasarkan catatan kami, sebanyak 8264 personel gabungan TNI/POLRI diterjunkan ke tanah Papua. Kedatangan pasukan dengan jumlah besar ini memicu terjadinya kontak senjata antara TNI/POLRI dengan TPNPB-OPM. Akibatnya sepanjang Desember 2021 – November 2022 diketahui terdapat sekitar 48 (empat puluh delapan) peristiwa kekerasan yang terjadi. Banyak korban yang jatuh justru didominasi warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak.

Kami menilai berulangnya berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua, membuktikan pendekatan keamanan atau militerisme tidak dapat menyelesaikan pokok masalah. Pemerintah seharusnya melihat konflik yang selama ini terjadi di Papua berdasarkan pada akar masalah. Merujuk pada temuan tim kajian LIPI tentang Papua, terdapat 4 (empat) akar masalah yang menjadi pemicu terjadinya konflik kekerasan di wilayah Papua. Pertama, marjinalisasi terhadap masyarakat Papua. Kedua, kegagalan pembangunan. Ketiga, persoalan status politik Papua. Keempat, pelanggaran hak asasi manusia. Bahwa atas temuan tersebut, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan mengupayakan cara-cara non-kekerasan berupa pendekatan dialog untuk menyelesaikan akar permasalahan yang terjadi. 

Lebih lanjut menyikapi adanya penyanderaan yang diduga dilakukan kelompok Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM) pada Selasa 7 Februari 2023 di lapangan terbang Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, terhadap seorang pilot pesawat Susi Air, berkewarganegaraan Selandia Baru.  Pihak yang berkonflik patut bersikap hati-hati, sehingga orang yang disandera dapat dibebaskan dengan keadaan selamat. Semua pihak harus menghindari cara-cara kekerasan dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Keselamatan orang yang disandera harus menjadi prioritas. Kami mendorong pihak yang berkonflik mengedepankan pendekatan secara damai atau non-kekerasan dalam menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi.

 

Jakarta, 11 Februari 2023
Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Narahubung:
+6287785553228