Respon KontraS atas Peristiwa Pembubaran Ibadah GKKD Bandar Lampung: Cegah Berulangnya Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Tindak Tegas Pelaku Intoleran!

Pada hari Minggu 19 Februari 2022, terjadi pembubaran terhadap Ibadah yang dilakukan oleh jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) kota Bandar Lampung. Pembubaran tersebut dilakukan oleh Ketua RT 12 Kelurahan Rajabasa Jaya Bandar Lampung bersama lima orang warga. Berdasarkan kronologi yang kami terima Ketua RT bersama lima warga RT 12 merangsek masuk ke dalam wilayah gereja pada  Pukul 9.30 WIB ketika jemaat gereja sedang menjalankan proses peribadatan dan memaksa jemaat gereja untuk menghentikan kegiatan peribadatan. Ketua RT 12 Kelurahan Rajabasa Jaya menyatakan bahwa pembubaran ibadah tersebut ia lakukan karena Jemaat GKKD belum memiliki izin dan karena pendeta jemaat GKKD telah menyatakan tidak akan menggunakan rumah sebagai tempat beribadah. 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesali pembubaran ibadah kepada jemaat GKKD Bandar Lampung. Kejadian tersebut sangatlah miris mengingat pembubaran terjadi hanya berselang satu bulan pasca Presiden Joko Widodo “memerintahkan” Kepala Daerah se-Indonesia untuk menjamin hak beribadah pada Rakornas Kepala Daerah Nasional tanggal 17 Januari 2023. Kasus penyerangan terhadap hak untuk beragama dan berkeyakinan juga bukan yang pertama kali terjadi di Bandar Lampung, sebelumnya pada bulan Juli 2022 pernah terjadi penyerangan terhadap Gereja Santo Paulus Bandar Lampung. Selain di Bandar Lampung, pelarangan beribadah juga dialami oleh beberapa jemaat gereja salah satunya oleh Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Cilegon.

Pembubaran ibadah seperti yang dialami oleh jemaat GKKD Bandar Lampung merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pada praktiknya serangan terhadap hak beragama juga didukung oleh aturan mengenai izin pendirian rumah ibadah yang proses pengurusannya cukup rumit serta berbelit, pada kasus GKKD Bandar Lampung pihak jemaat GKKD sendiri telah mengurus izin pendirian rumah ibadah sejak tahun 2014 namun baru direspon dan diberikan izin pasca kasus pembubaran ibadah tersebut viral. Perlu digaris bawahi bahwa yang memerlukan izin adalah pendirian rumah ibadah bukan praktik beribadah, maka alasan membubarkan kegiatan peribadatan yang dilakukan di rumah seperti yang dilakukan Ketua RT 12 Kelurahan Rajabasa Jaya Bandar Lampung merupakan tindakan yang melanggar hukum dan seharusnya diantisipasi oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. 

Selain pelanggaran konstitusional, tindakan pelarangan kegiatan beragama semacam ini merupakan pelanggaran terhadap standar Hak Asasi Manusia Internasional seperti Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada sisi lain Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 (UU HAM) dengan tegas menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun, dengan kata lain perlakuan yang dialami oleh jemaat GKKD Bandar Lampung merupakan pelanggaran mendasar terhadap standar HAM internasional, konstitusi serta aturan hukum nasional itu sendiri.

Dalam konteks menjamin hak beragama warga negara, pemerintah perlu menjamin hak untuk beragama dengan sepenuhnya mendukung pendirian rumah ibadah dengan tidak menunda-nunda pengurusan izin pendirian rumah ibadah. Kami menilai bahwa pelanggaran terhadap hak beragama di Indonesia seringkali didukung oleh aturan yang “mengekang” hak beribadah itu sendiri serta abainya pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menjamin kebebasan beragama sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945.

Kejadian semacam ini harus ditindak tegas agar tak memunculkan keberulangan di kemudian hari. Sebab, kejadian serupa tentu akan memunculkan ketakutan di tengah masyarakat dalam penikmatan hak beribadah dan beragama. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat terkait dengan aktivitas toleransi beragama. 

Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak beberapa pihak agar:

  1. Pemerintah daerah untuk melindungi dan menjamin hak beragama dan beribadah serta melindungi umat beragama dari serangan terhadap hak beribadah;
  2. Aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama seperti halnya pembubaran dan persekusi; dan 
  3. Pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin serta mempermudah perizinan pendirian rumah ibadah untuk menjamin terciptanya ruang aman dan nyaman umat beragama untuk beribadah.

 

Jakarta, 21 Februari 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator