Jeda Kemanusiaan: Batal Tanpa Diimplementasikan, Gagal Tangani Konflik dan Permasalahan Pengungsi Papua

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyoroti Perjanjian Jeda Kemanusiaan Papua yang dibatalkan tanpa pernah diimplementasikan sebelumnya. Perjanjian  Jeda Kemanusiaan merupakan kesepaktan yang ditanda tangani pada tanggal 11 November 2022 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Majelis Rakyat Papua (MRP) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Jenewa sebagai respon atas kondisi pengungsi yang terdampak “konflik bersenjata” di enam wilayah Papua.

Sejak akhir 2021, warga sipil pada enam wilayah yaitu Maybrat, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo dan Kabupaten Puncak telah mengalami dampak negatif dari konflik bersenjata, puluhan ribu warga sipil pun mengungsi meninggalkan tempat tinggal masing-masing. Berdasarkan informasi terakhir pada bulan Desember 2022 setidaknya 60.642 warga di enam wilayah tersebut menjadi pengungsi dengan 732 di antaranya meninggal dunia. Selain harus meninggalkan tempat tinggal mereka, warga juga dihadapkan dengan gizi buruk yang menimpa anak-anak pengungsi disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang cukup selama warga berada di pengungsian.

Jeda kemanusiaan yang disepakati di Jenewa rencananya dilakukan di Kabupaten Maybrat. Inisiatif yang dimaksud adalah mekanisme untuk secara sementara menghentikan “kontak senjata” di antara para pihak yang berkonflik, dalam konteks konflik bersenjata di Papua jeda kemanusiaan yang dimaksud disebut bertujuan untuk menghentikan konflik serta memberikan kesempatan untuk membantu para pengungsi dan menangani tahanan, sayangnya perjanjian jeda kemanusiaan tersebut dihentikan pada bulan Februari 2023 tanpa pernah diimplementasikan.

Sejak awal perjanjian Jeda Kemanusiaan tersebut sesungguhnya terkesan dibuat dengan tidak serius, para pihak yang terlibat konflik seperti TNI dan TPN-PB tidak dilibatkan, Panglima TNI secara tegas menyatakan bahwa pihaknya tidak yakin dengan perjanjian jeda kemanusiaan, kelompok TPN-PB juga menyatakan bahwa mereka menolak isi perjanjian jeda kemanusiaan. Pada sisi lain pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah sama sekali belum membentuk tim pelaksana jeda kemanusiaan, Komnas HAM Periode 2022-2027 juga menyatakan bahwa mereka tidak berada dalam posisi untuk melanjutkan perjanjian jeda kemanusiaan.

Berangkat dari kondisi mengenai batalnya pelaksanaan jeda kemanusiaan tanpa pernah diimplementasikan serta kondisi pengungsi Papua yang terkesan diabaikan, KontraS melakukan sebuah catatan kritis terkait dengan kondisi pengungsi di Papua dan kaitannya dengan jeda kemanusiaan yang tidak juga menyelesaikan akar persoalan konflik yang terjadi di Papua. Catatan kritis ini diharapkan menjadi acuan maupun referensi bagi publik dan pemangku tanggung jawab untuk menilai dan mengukur solusi atas persoalan konflik bersenjata dan dampaknya terhadap keselamatan masyarakat sipil khususnya para pengungsi internal. 

Pasca perjanjian jeda kemanusiaan tersebut ditandatangani hingga kemudian batal, berdasarkan hasil pemantauan yang kami lakukan situasi kekerasan serta pengabaian hak masyarakat sipil Papua tak kunjung membaik. Mulai dari hak pengungsi yang semakin diabaikan, terjadinya eskalasi konflik antara TNI dengan kelompok bersenjata Papua, penyanderaan pilot hingga pernyataan serampangan beberapa pihak mengenai darurat sipil di Papua menunjukkan nihilnya tanda-tanda perbaikan atas situasi kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Melalui Catatan Kritis ini KontraS menganalisis bahwa perjanjian jeda kemanusiaan sama yang kini telah dibatalkan tersebut gagal memberikan solusi atas konflik yang terjadi di Papua serta menangani permasalahan pengungsi yang terjadi.

 Berdasarkan catatan-catatan terssebut KontraS mendesak:

  1. Pihak yang berkonflik dalam hal ini TNI-Polri dan TPN-PB untuk segera menghentikan konflik bersenjata dan menjamin keselamatan warga sipil di Papua;
  2. Pemerintah Indonesia harus segera memperjelas situasi penanganan konflik yang terjadi di Papua. Situasi yang ada juga harus dijelaskan secara transparan dan berbasis akuntabilitas kepada publik serta masyarakat internasional;
  3. Pemerintah Indonesia untuk segera menangani dan memberikan hak dasar pengungsi dari enam wilayah Papua sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.
  4. Pemerintah Indonesia dan Komnas HAM untuk melakukan dialog damai dan mediasi dengan kelompok bersenjata di Papua.

 

Jakarta, 22 Februari 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

 

Klik disini untuk melihat Catatan Kritis selengkapnya