Respon KontraS atas Tragedi Wamena: Investigasi Secara Independen dan Pulihkan Hak-Hak Korban dengan Menyeluruh!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menaruh perhatian serius terhadap konflik yang terjadi antara aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan masyarakat di Wamena pada 23 Februari 2023. Konflik yang terjadi kembali menegaskan akutnya permasalahan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Bencana kemanusiaan berupa konflik dan dan kekerasan kembali berulang hingga memaksa warga sipil harus meregang nyawa. 

Berdasarkan informasi yang kami terima, konflik bermula dari munculnya isu penculikan anak  SD di Sinakma. Peristiwa ini menyebabkan perbedaan pendapat antara Kepolisian dan pihak keluarga korban yang diduga diculik. Akhirnya terjadi perlawanan antara masyarakat kepada pihak Kepolisian, yang memiliki locus di Sinakma, Jalan Wamena Habema. Kemudian, terjadi lempar batu yang dilakukan massa kearah aparat kepolisian.  Menganggap sulit dikendalikan, aparat keamanan setempat dalam hal ini Kepolisian mengambil beberapa langkah seperti halnya mengeluarkan gas air mata berkali-kali.

Dalam data terakhir yang kami dapatkan, imbas dari konflik tersebut yakni sejumlah 10 orang korban dinyatakan meninggal dunia yang terdiri dari 8 Orang Asli Papua (OAP) dan Warga non Papua dengan 2 orang. Korban meninggal mengalami luka tembak, ada yang di bagian leher, dada, dan bagian belakang, Adapun kerusuhan ini juga menimbulkan 18 orang luka yang didominasi dari kalangan sipil. Kabar terakhir menyebutkan bahwa 10 jenazah korban kerusuhan telah dimakamkan serta korban luka masih mendapatkan perawatan di RSUD Wamena. Kami begitu menyesalkan pertumpahan darah yang kembali terjadi di Bumi Cenderawasih antara aparat keamanan dengan warga sipil. 

Keberulangan peristiwa semacam ini tentu bukan tanpa alasan. Selama ini siklus kekerasan yang terus berulang merupakan implikasi dari kegagapan pemerintah dalam menangani permasalahan yang pelik di Bumi Cenderawasih. Pendekatan yang dilakukan selama ini terbukti tidak berhasil dan nihil untuk dikoreksi. Jalan yang dipilih tak sama sekali membuat situasi Papua kondusif dan menjadi pulih. Sebaliknya, kekerasan terus muncul sehingga memantik masalah baru lainnya. Sayangnya, bukannya mengevaluasi secara serius, pemerintah selalu resisten mempertahankan metode yang sama dengan pengarusutamaan cara pandang keamanan seperti penambahan jumlah aparat hingga posko-posko militer. 

Jika dilihat dari penyebab kerusuhan, kasus ini diawali dengan kabar hoax kemudian dilanjutkan oleh provokasi. Masalah semacam ini seharusnya dapat diantisipasi secara cepat dan tanggap lewat jalan dialog oleh pihak aparat keamanan. Sayangnya, berbagai kasus di Papua gagal ditangani sehingga menimbulkan efek luas di kalangan masyarakat. Hal ini menandakan bahwa aparat yang bertugas di lapangan tidak cukup cakap dalam mencegah konflik, bahkan seringkali menempatkan mereka sebagai aktor utama dalam konflik dan pelanggaran HAM. Tidak sampai disitu, kami juga melihat terdapat potensi adanya pengerahan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) dalam proses antisipasi kerusuhan. Sebab, penanganan yang dilakukan terlihat tak terukur dan tak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan Undang-Undang maupun peraturan internal Kepolisian. 

Penindakan yang diambil seharusnya dapat dilakukan dengan humanis sehingga tak berdampak pada timbulnya korban tewas. Sebagaimana yang disebutkan dalam Perkap No. 1 Tahun 2009, anggota di lapangan harus memperhatikan prinsip-prinsip legalitas, necesitas, proporsionalitas dan masuk akal. Selain itu, anggota juga seharusnya telah mengetahui kehadiran Perkap no. 16 tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Dalam aturan ini anggota dilarang keras untuk melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur dan membawa senjata tajam/peluru tajam.

Walaupun belum mendapatkan hasil autopsi secara resmi, kami mendapatkan informasi bahwa korban tewas didominasi akibat dari senjata api aparat. Hal ini tentu melanggar Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials sebagaimana diatur dalam standar Internasional yang mana menyebutkan bahwa aparat harus memprioritaskan masyarakat agar tetap hidup, jikapun penggunaan senjata api tak terelakan. Selain itu, Kepolisian juga seharusnya tunduk pada Code of Conduct for Law Enforcement Officials sebagai acuan penggunaan kekuatan di lapangan untuk menghindari tindakan illegal dan berlebihan. 

Sejauh ini, kami memantau bahwa terdapat 13 orang yang ditahan pasca kerusuhan yang terjadi. Kami melihat bahwa penegakan hukum yang dilakukan cenderung sewenang-wenang, sebab para pelaku hanya berasal dari unsur warga sipil. Sementara itu, belum ada tanda-tanda pelanggaran aparat yang akan diusut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi penegakan hukum yang tidak adil, sehingga membutuhkan langkan investigasi yang sifatnya independen. 

Peristiwa kerusuhan berujung pada penembakan semacam ini harus diusut secara tuntas dan berkeadilan guna menciptakan kondusifitas sesungguhnya di Bumi Papua. Segala bentuk kekerasan tidak dapat ditolerir dan para pelaku yang menyebabkan korban kehilangan nyawa harus ditindak secara tegas agar tak memperlebar luka masyarakat Papua. Di samping itu, kondisi para korban harus harus menjadi prioritas dan mendapatkan pemulihan efektif, salah satunya berupa reparasi. 

Atas dasar hal tersebut kami mendesak berbagai pihak 

Pertama, Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi secara independen dan imparsial guna mencari fakta dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi Wamena;

Kedua, pemerintah untuk segera memulihkan secara efektif hak seluruh korban yang terkena imbas akibat tragedi ini;

Ketiga, Pemerintah pusat untuk memastikan agar situasi dapat berjalan secara kondusif dan tidak mengambil langkah gegabah dalam menyelesaikan konflik di Papua;

Keempat, Kapolri dan Panglima TNI memastikan dilakukannya proses penegakan hukum terhadap anggota di lapangan yang berpotensi melanggar hingga berimplikasi pada jatuhnya korban jiwa. 

 

Jakarta, 26 Februari 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator