Pengesahan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang: Merusak Sistem Hukum dan Perampasan Hak Rakyat Semakin Nyata

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras langkah pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang oleh DPR-RI. Sejak awal kehadirannya Perppu Cipta Kerja diwarnai gelombang penolakan berupa protes dan demonstrasi rakyat khususnya dari berbagai serikat buruh dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

Pada tanggal 21 Maret 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-undang melalui forum rapat Paripurna yang dihadiri oleh delapan fraksi. Perppu Cipta Kerja sendiri disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2022 dan merupakan Peraturan Pengganti Undang-undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021.

Sama seperti pendahulunya (UU Cipta Kerja), Perppu Cipta Kerja memberikan “karpet merah” atau privilege kepada pengusaha dan investor namun mengenyampingkan hak-hak kelas pekerja. Beberapa materi muatan Perppu Cipta Kerja yang bermasalah antara lain memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk mengatur mengenai upah murah dengan lebih fleksibel, membuka ruang bagi outsourcing dengan lebih luas serta mempermudah Pemutusan Hubungan Kerja/PHK.[1] Pada sisi lain Perppu Cipta Kerja juga mengubah kebijakan terkait dengan pertanian, pangan dan impor pangan sehingga akan menguntungkan investor namun tidak berpihak pada petani tradisional.

Pada sisi lain, pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden sendiri sesungguhnya merupakan bentuk akal-akalan pemerintah, yang secara langsung membangkang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan mengenyampingkan aspirasi masyarakat. MK sendiri memandatkan pembentuk undang-undang-dalam hal ini DPR RI-untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.[2] Alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Presiden Joko Widodo memaksakan keinginan untuk menggaet investor dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja.

Lebih jauh, kami berpendapat bahwa pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh DPR begitu berbahaya bagi konsep negara hukum yang menghendaki adanya pembagian kekuasaan (distribution of power). Judicial review di Mahkamah Konstitusi sejatinya merupakan salah satu mekanisme check and balances dalam negara demokrasi untuk mengoreksi keputusan pemerintah. DPR sebagai perwakilan rakyat pun seharusnya dapat mendukung putusan mahkamah tersebut yang bersifat final and binding, sekaligus mengartikan bahwa tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh sehingga Presiden sebagai objek putusan harus tunduk pada hal tersebut. Sayangnya, DPR tak lebih dari sebatas ‘tukang stempel’ kebijakan pemerintah.

Kami melihat bahwa fenomena ini sangatlah berbahaya, sebab akan menjadi preseden yang buruk bagi pembuatan regulasi/kebijakan pemerintah ke depan. Otomatis, tidak ada satupun jalan yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk menggugat regulasi yang dibuat Presiden bersama DPR. Hal ini jika ditelisik lebih jauh, merupakan bentuk absolutisme kekuasaan yang mana memusatkan otoritas ada pada eksekutif.

Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang oleh DPR-RI menunjukkan bahwa DPR-RI sama sekali tidak memperdulikan aspirasi masyarakat khususnya kelompok buruh melalui berbagai protes dan demonstrasi yang sudah dilangsungkan. Sama seperti Presiden, DPR-RI juga menunjukkan keberpihakan kepada investor dan pengusaha dan mengorbankan kepentingan rakyat. Disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang juga berarti bahwa DPR-RI melakukan pembangkangan terhadap putusan MK, bukannya melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja DPR-RI justru mengambil fast track dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang materi muatannya sama dengan UU Cipta Kerja.

Atas dasar itu, kami menyatakan:

Pertama, Menolak keras pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang dan mendorong DPR-RI untuk patuh pada Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020;

Kedua, Mendorong DPR-RI untuk membatalkan UU Cipta Kerja dan merumuskan undang-undang yang berpihak kepada masyarakat khususnya kelas pekerja.

 

Jakarta, 21 Maret 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti

Koordinator

[1] Suara Penolakan Kelompok Buruh Terhadap Perppu Cipta Kerja, https://news.detik.com/berita/d-6506264/suara-penolakan-kelompok-buruh-terhadap-perppu-cipta-kerja-jokowi

[2] Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua Tahun, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816