Hasil Adopsi Universal Periodic Review Indonesia 4th Cycle: Komitmen dan Tanggung Jawab Baru yang Harus Diimplementasikan oleh Negara

Pada 21 Maret 2023, melalui situs resmi Badan HAM PBB (OHCHR), Pemerintah Indonesia memberikan hasil adopsinya dari 269 rekomendasi yang diterima dari perwakilan negara-negara anggota HAM PBB di Sidang UPR pada 9 November 2022 lalu di Palais De Nations, Jenewa, Switzerland. Berdasarkan sekumpulan rekomendasi yang diterima, sebanyak 55 rekomendasi ditolak secara halus melalui status noted (dicatat), 5 rekomendasi didukung secara parsial sedangkan 210 rekomendasi diberikan status supported (didukung).

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk UPR yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus, Arus Pelangi, KontraS, KIKA, Koalisi FreeToBeMe (FTBM) Indonesia, SAFEnet, Transmen Indonesia mengapresiasi langkah pemerintah untuk menerima sebagian besar rekomendasi yang diterima namun kami kecewa akibat keputusan Pemerintah Indonesia yang tidak memberikan komitmennya pada beberapa rekomendasi yang tertuang dalam Universal Periodic Review (UPR) 4th Cycle.

Beberapa rekomendasi yang dicatat yakni ratifikasi OP-ICCPR yang fokus pada moratorium hukuman mati, mendatangkan Special Rapporteur ke Papua untuk investigasi independen terkait kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan, ratifikasi statuta roma, dan penghapusan UU ITE pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya untuk meratifikasi OP-CAT dan ICPPED.

Kami melihat bahwa Pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatiannya secara merata terhadap beberapa isu yang disebutkan. Khususnya pada isu hukuman mati, tidak ada satu rekomendasi pun yang diberikan status didukung, mulai dari ratifikasi OP-ICCPR hingga moratorium hukuman mati. Padahal, penjatuhan hukuman mati melanggar ketentuan Pasal 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sejak 2020 hingga September 2022, terdapat 66 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia. Padahal, banyak hal yang kemudian dilewatkan oleh pemerintah terkait proses vonis hukuman mati seperti fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan psikologis dan fisik pada penundaan berkepanjangan terhadap eksekusi mati, unfair trial, hingga prinsip kehati-hatian hakim saat memeriksa dan memutus kasus hukuman mati.

Pemerintah Indonesia juga enggan memberikan akses kepada Komisaris Tinggi HAM PBB untuk menginvestigasi segala bentuk kekerasan yang terjadi di Papua. Padahal, pada 2015 Pemerintah Indonesia berjanji untuk memberikan akses kepada Warga Negara Asing (WNA) termasuk jurnalis asing untuk mengunjungi Indonesia. Namun, kebijakan tersebut berubah pada 2019 saat Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menko Polhukam saat itu, Wiranto, untuk membatasi akses kunjungan dengan alasan antisipasi pihak asing yang ingin menunggangi kerusuhan Papua. 

Sebagai kilas balik, penegakan HAM di Papua mengalami kondisi yang stagnan dan tidak kian membaik. Sebab, hal ini dapat dilihat dari 40 kasus kekerasan yang terjadi pada 2020, 39 pada 2021, dan 48 pada 2022 yang menimpa korban masyarakat sipil, dimana kasus-kasus tersebut datang dari Polri dan TNI sebagai pelaku utama. Pada putaran keempat, Pemerintah Indonesia tidak mendukung rekomendasi untuk upaya investigasi, akuntabilitas, dan pencegahan impunitas di Papua oleh aparat keamanan dimana akar permasalahan dari rantai kekerasan di Papua adalah kekerasan aparat yang terus dibiarkan.  Namun, dalam jangka waktu tersebut dan diiringi dengan kondisi HAM di Papua yang memburuk, Pemerintah Indonesia justru meresmikan 4 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang berpotensi menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan baru pada masyarakat sipil.

Koalisi juga menyoroti bahwa meskipun pemerintah berupaya untuk meratifikasi OP-CAT dan ICPPED, dua rekomendasi yang selalu disebutkan sejak UPR Putaran 1-3. Namun pemerintah menolak untuk memberikan komitmennya pada ratifikasi Statuta Roma. Padahal, Statuta Roma menyebutkan posisi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai lembaga internasional yang dapat melaksanakan jurisdiksinya atas pihak-pihak yang melaksanakan kejahatan kemanusiaan. Melirik rangkaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat, mulai dari peristiwa 1965 hingga Paniai, Indonesia telah melewati masa berbagai silih ganti Presiden yang enggan untuk menyelesaikannya. Meskipun Indonesia sudah memiliki UU No.26 Tahun 2000 yang membahas mengenai kejahatan kemanusiaan yang diadopsi melalui Statuta Roma, namun hal ini hanya diadopsi secara parsial dan tidak menempatkan ICC sebagai salah satu aktor yang dapat menyelesaikan kejahatan-kejahatan tersebut.

Pemerintah juga hanya berkomitmen untuk mencatat tujuh rekomendasi terkait kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai, dan perlindungan pembela HAM. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Luksemburg, Estonia, Swiss, dan Norwegia mendesak pemerintah Indonesia untuk merevisi atau mencabut pasal-pasal bermasalah di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dan peraturan lainnya. Sementara Prancis mendesak pemerintah Indonesia agar mendukung Kerja Sama Internasional untuk Informasi dan Demokrasi.

Minimnya komitmen pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai, serta hak untuk membela HAM dan perlindungan terhadap pembela HAM, sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, berdasarkan laporan Amnesty International Indonesia yang dirilis pada Oktober 2022, selama periode Januari 2019 sampai Mei 2022, terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran, dan terduga pelaku adalah aktor negara dan non-negara. Hingga Desember 2022, data pemantauan termutakhir dari Amnesty International Indonesia menunjukkan peningkatan jumlah korban menjadi setidaknya 1.021.

Dari banyaknya kasus pembungkaman kebebasan berekspresi di Indonesia, beberapa kasus yang mendapatkan atensi publik termasuk ancaman pidana dan perdata terhadap perempuan pembela HAM, Fatia Maulidiyanti, hanya karena dirinya menyebarluaskan temuan sebuah penelitian yang menduga adanya keterlibatan seorang pejabat publik dalam praktik penurunan pasukan militer yang tidak sah di lokasi-lokasi pertambangan di Intan Jaya, Papua. Di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, upaya warga untuk melindungi lahan dari operasi pertambangan ditanggapi dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan dan  menyebabkan beberapa orang luka-luka dan penahanan sewenang-wenang 11 warga sipil. Baru-baru ini, seorang pemuka agama, Pastor Chrisanctus Paschalis Saturnus alias Romo Paschal, dilaporkan ke polisi oleh seorang pejabat publik di Riau karena Romo Paschal menemukan dugaan keterlibatan pejabat publik tersebut dalam bisnis pekerja migran ilegal.

Terkait rekomendasi yang berhubungan dengan orientasi seksual, identitas & ekspresi gender dan seks karakteristik (SOGIESC) pemerintah mendukung 8 dari total 13 rekomendasi. Kami menyayangkan di dalam komentarnya pemerintah menyebutkan bahwa pemerintah perlu menimbang secara hati-hati terkait rekomendasi yang berkaitan dengan orang-orang LGBTQIA+ dikarenakan tidak adanya konvensi internasional secara khusus yang melindungi kelompok LGBTIQ. Selain itu, pada komentarnya pemerintah juga memastikan bahwa setiap orang setara di hadapan hukum serta tidak ada ketentuan yang mengkriminalisasi kelompok LGBTIQ di dalam hukum nasional Indonesia.  

Tentu saja ini tidak sejalan dengan kenyataan sehari-hari yang terjadi di lapangan. Tindakan diskriminasi terhadap orang-orang LGBTIQ semakin meningkat dan semakin terstruktur, contohnya, tidak satupun organisasi LGBTIQ di Indonesia dapat mendaftarkan organisasi secara resmi apabila terdapat kata lesbian/gay/biseksual/transgender/waria di dalam dokumen konstitusi organisasi. Maraknya peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ juga menjadi trend, terutama pasca disahkannya KUHP, salah satunya yang terbaru adalah seperti Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) 2021 di Kota Bogor yang bermaksud untuk ‘merehabilitasi’ orang-orang LGBT. Kami juga mencatat wacana tentang penerbitan perda anti-LGBT di Kota Medan, Kota Makassar, Garut dan Bandung. Diskriminasi struktural yang sama melalui perda juga ditujukan kepada perempuan dan transpuan, yang menurut data Komnas Perempuan dilembagakan melalui 421 regulasi diskriminatif pada tingkat lokal.

Oleh karena itu, berdasarkan segala bentuk argumen dan pemaparan data di atas, kami berharap:

  1. Pemerintah Indonesia benar-benar berkomitmen untuk menjalankan 210 rekomendasi yang didukung pada UPR putaran keempat
  2. Pemerintah Indonesia tidak acuh dan tetap memberikan perhatiannya pada 55 rekomendasi yang dicatat dan 5 rekomendasi yang didukung secara parsial.

Jakarta, 23 Maret 2023

 

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk UPR

Narahubung:
Nadine Sherani Salsabila – KontraS, nadine@kontras.org
Lini Zurlia – ASEAN SOGIE Caucus, lzurlia@aseansogiecaucus.org