Peristiwa Pemasangan Terpal Pada Patung Bunda Maria Oleh Polsek Lendah: Bentuk Serangan Terhadap Kelompok Minoritas Yang Tak Berkesudahan

Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam peristiwa pemasangan terpal pada patung Bunda Maria di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 22 Maret 2023. Berdasarkan informasi yang kami himpun, pemasangan terpal tersebut dilakukan oleh anggota Polsek Lendah berdasarkan keresahan dan protes oleh salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) lokal saat menjalankan ibadah menjelang puasa di Masjid Al-Barokah.

Tindakan penutupan patung Bunda Maria sebagai simbol keyakinan oleh aparat kepolisian tentu tidak tepat dan dapat membahayakan keberadaan jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebab, praktik semacam ini jelas-jelas telah mengangkangi instrumen internasional dalam Pasal 18 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diadopsi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang pada intinya menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Terlebih, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tergolong dalam hak yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi (non-derogable rights) sebagaimana tertulis dalam Pasal 28I UUD 1945 serta Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Kami sangat menyayangkan tindakan mengakomodir aduan keresahan atas nama keyakinan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum Polsek Lendah. Tindakan semacam ini merupakan pelanggaran langsung terhadap konstitusi Indonesia, disayangkan karena dalam kasus ini pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh anggota Polri yang seharusnya menjadi penegak hukum. Seharusnya, petugas kepolisian Polsek Lendah dapat bersikap profesional dan berperan aktif untuk menolak aduan tersebut. Kami memandang, tindakan petugas kepolisian dari Polsek Lendah sangat berbahaya sebab akan berimplikasi pada lahirnya rasa takut yang mendalam dan menimbulkan kerentanan bagi kelompok minoritas untuk melaksanakan aktivitas peribadatan. Tindakan tersebut juga melanggengkan arogansi serta kesewenang-wenangan organisasi masyarakat tertentu untuk terus melanggar hak atas beragama, berkeyakinan dan berkepercayaan.

Problem kekerasan sistemik berupa pembatasan hak beragama dan berkeyakinan tentu bukan kali pertama terjadi. Sebulan yang lalu, tepatnya pada 19 Februari 2023, jemaat GKKD di Bandar Lampung dibubarkan ketika sedang melakukan ibadah. Lebih lanjut, berdasarkan pemantauan yang KontraS lakukan, kami mencatat terdapat 47 peristiwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi sepanjang tahun 2022.

Kami menilai, fenomena langgengnya serangan terhadap kelompok minoritas semacam ini berpotensi dapat terus terjadi di kemudian hari, oleh karena minimnya pengawasan dan evaluasi bermakna dalam tubuh internal Kepolisian serta kegagapan aparat penegak hukum dalam menyikapi protes-protes oleh kelompok tertentu. Kepolisian, dalam hal ini Polda Yogyakarta harus bersikap tegas menindak seluruh anggotanya yang terlibat dan memulihkan kembali hak-hak korban pada situasi sebelum pelanggaran HAM terjadi.

Oleh karenanya kami mendesak beberapa pihak untuk:

Pertama, Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta segera menindak tegas dan memeriksa seluruh anggota yang terlibat dalam peristiwa ini secara transparan. Kami juga mendesak hasil pemeriksaan tersebut dapat diungkap ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban;

Kedua, Ketua Komnas HAM secara proaktif melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas kepolisian Polsek Lendah berdasarkan mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;

Ketiga, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melindungi hak beragama dan berkeyakinan dari berbagai bentuk serangan, baik melalui aktor negara maupun kelompok-kelompok tertentu.

Jakarta, 24 Maret 2023
Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti, S.IP.
Koordinator

Narahubung: 0895-7010-27221