Pada Rabu 12 April 2023, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Surabaya menerima banding dari Mayor Helmantho Dakhi, salah satu prajurit yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga sipil di Papua. Dalam putusan yang dibacakan dinyatakan bahwa Putusan Pengadilan Militer Tinggi Ill Surabaya Nomor 37- K/PMT.III/AD/Xll/2022 tanggal 24 Januari 2023 dibatalkan. Selain itu, putusan yang awalnya menyatakan terdakwa dipidana seumur hidup diturunkan menjadi 15 tahun dengan tetap dipecat pada dinas kemiliteran.
Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keras penjatuhan putusan No.4-K/PMU/BDG/AD/II/2023 ini karena memberikan keringanan hukuman kepada Mayor Helmantho Dakhi yang semula penjara seumur hidup menjadi 15 tahun. Pada putusan di tingkat sebelumnya, dalam amar putusan disebutkan bahwa hal-hal yang memberatkan diantaranya adalah Perbuatan terdakwa meresahkan dan memberikan trauma kepada korban dan masyarakat; Merusak hubungan antara TNI dan masyarakat Papua; Merusak citra TNI di masyarakat; dan Perbuatan terdakwa sadis, tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM. Kami pun cukup sepakat dengan putusan tersebut karena setimpal dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa Mayor Helmantho Dakhi.
Jika ditelisik lebih dalam pun peran yang dilakukan oleh Mayor Dakhi sangat krusial dan terbukti pada pembuktian di persidangan sehingga pantas dapat mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku lainnya. Selain itu, dalam dunia kemiliteran dan pelanggaran HAM dikenal konsep pertanggungjawaban komando yang mana setiap orang yang memiliki kewenangan memegang komando – yang gagal untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan illegal bawahannya dapat dimintai pertanggungjawabannya.[1] Hal ini tentu berlaku juga kepada Mayor Dakhi selaku pimpinan kesatuan yang tidak dapat melakukan kontrol efektif terhadap anak buahnya ketika melakukan pelanggaran yang fatal. Dalam kasus ini pun, Mayor Dakhi hanya tidak terlibat dalam proses mutilasi dan pembuangan saja, sementara sejak awal bahkan perencanaan ikut terlibat sepenuhnya.
Kami pun mendapatkan informasi bahwa putusan ini berlainan dengan Putusan DILMILTI III SURABAYA Nomor 41-K/PMT.III/BDG/AD/III/2023 terhadap terdakwa lainnya yang justru memperkuat pengadilan tingkat sebelumnya. Artinya, pelaku militer lainnya tetap divonis selama seumur hidup.
Keringanan hukuman yang diberikan kepada pelaku pembunuhan dan mutilasi 4 warga sipil di Papua tentu akan melukai rasa keadilan bagi keluarga korban, warga Kabupaten Nduga dan masyarakat Papua secara umum. Terlebih, sampai hari ini belum diketahui secara pasti apa motif sesungguhnya di balik tindakan para pelaku hingga menghilangkan nyawa secara keji.
Atas dasar situasi dan uraian di atas, kami menyatakan:
Pertama, mengecam keras Putusan Pengadilan Militer Tinggi Ill Surabaya Nomor 37- K/PMT.III/AD/Xll/2022 yang meringankan hukuman Mayor Helmantho Dakhi.
Kedua, mendesak Oditur Militer untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Jakarta, 30 Mei 2023
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, LBH Kaki Abu, Elsham Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, TAPOL, Amnesty International Indonesia, Human Rights Monitor, SOS untuk Tanah Papua Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Bersatu Untuk Kebenaran di Tanah Papua bersama Kwita Papua.
[1] Dalam instrumen hukum internasional, pertanggungjawaban komando dapat ditemukan dalam Pasal 86 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977), Pasal 6 dari Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind yang disusun oleh Internatonal Law Commission, Pasal 7 (3) Statuta ICTY, Pasal 6 (3) Statuta ICTR dan Pasal 28 (2) Statuta ICC. Instrumen hukum nasional juga mengatur tentang pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang merupakan adopsi dari isi Statuta ICC. https://www.hukumonline.com/berita/a/pertanggungjawaban-komando-hol8112/