Pada 1 Oktober 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan diskusi publik bertajuk “Mengingat Tragedi 1965-1966: Ragam Upaya Merawat Ingatan Kolektif.” Diskusi yang diadakan digelar di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan; ini menghadirkan empat narasumber dari latar belakang yang berbeda-beda, yaitu Harry Wibowo, Saras Dewi, Arian Arifin, dan Alwi Johan.
Harry Wibowo, Koordinator dari Perhimpunan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), menyampaikan konsep dasar dari hak asasi manusia dan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang disertai dengan koersi tergolong sebagai tindak pidana atau kejahatan. Hal inilah yang menjadi logika dari penggabungan antara kerangka hukum hak asasi manusia dan hukum kejahatan internasional. Pemahaman mengenai konsep dasar dari hak asasi manusia menjadi langkah penting bagi kita untuk dapat memahami peristiwa 1965-1966 dengan dimensi kejahatannya yang begitu masif. “Dasar dari International People’s Tribunal waktu itu adalah riset-riset dan sekian banyak bukti yang diajukan setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap peristiwa 65-66 sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Menariknya, waktu itu dalam International People’s Tribunal, peristiwa 65-66 juga bisa dikatakan sebagai kejahatan genosida,” ujar Harry Wibowo.
Saras Dewi yang merupakan seorang Akademisi dari Departemen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, menekankan bahwa dunia akademik berpotensi menjauhkan kita dari hak asasi manusia beserta dimensi kemanusiaannya, jika tidak dilakukan dengan kehati-hatian. Ia menekankan pentingnya penekanan dan pengulangan prinsip hak asasi manusia dan pengalaman korban pelanggaran hak asasi manusia dalam proses belajar mengajar. Jika perlu, kegiatan akademik dapat dilakukan melampaui metode konvensional berupa studi literatur, seperti melalui penayangan film dokumenter yang mengangkat pengalaman korban. Ia juga menekankan pentingnya kita menjadikan hak asasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. “Seberapa gandrungnya kita terhadap hak asasi manusia? Apakah hak asasi manusia menjadi bagian dari percakapan kita sehari-hari?” ujar Saras Dewi dalam diskusi.
Perspektif lain juga turut dihadirkan, dimana Arian Arifin, vokalis dari grup musik metal bernama Seringai turut berbagi tantangan dalam menyampaikan isu sosial yang kompleks dalam bentuk lagu. Grup musik ini memiliki sebuah lagu mengenai peristiwa 1965-1966 yang berjudul “Enam Lima.” Ia mengungkapkan tantangan dalam mengemas isu sosial yang begitu kompleks menjadi sebuah lagu. Dalam pengamatannya, musisi atau penyanyi yang kerap mengangkat isu sosial melalui lagu mereka pun masih terbatas pada musisi atau penyanyi dengan genre yang tergolong sedikit pendengarnya. Ia pun menyampaikan harapannya, “mungkin ga sih ada penyanyi-penyanyi pop yang lebih bisa reach out dan lebih besar tapi punya tema-tema seperti ini?”
Selain itu, Alwi Johan, seorang pemengaruh di media sosial, memberikan pandangannya mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk mendiseminasi informasi dan pengetahuan mengenai peristiwa 1965-1966. “Kalau menurut saya, apa kesukaan kita masing-masing. Misalnya suka lukisan, berkontribusilah dengan lukisan. Suka nulis, dengan tulisan,” tuturnya. Alwi Johan juga menyampaikan bahwa kita bisa berupaya merawat ingatan melalui hal-hal kecil dan fakta-fakta trivial agar bisa menarik orang-orang yang masih awam dengan peristiwa 1965-1966. Untuk mendapatkan bahan yang bisa digunakan dalam upaya tersebut, ia menyarankan kita untuk berdialog dan mewawancarai para penyintas.
Secara keseluruhan, keempat narasumber menyoroti berbagai cara untuk merawat ingatan kolektif mengenai peristiwa 1965-1966 berdasarkan latar belakang mereka masing-masing. Inovasi dan kreativitas dalam upaya ini sangat penting untuk memastikan bahwa ingatan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi, terutama di tengah upaya sistematis untuk menutupi kebenaran sejarah. Hal ini perlu kita terus lakukan di tengah berbagai pembungkaman sistematis yang dilakukan oleh Negara untuk mempertahankan narasi sejarah keliru versi Negara. Seperti yang tertulis di tangga gedung Komnas Perempuan, “bangsa yang besar adalah bangsa yang berani melawan lupa; sebab kebenaran.”
Rekaman diskusi publik ini dapat disaksikan kembali di sini.
Tags
Admin
Without Bio