Jakarta 14 Oktober 2024, Perwakilan Warga Pulau Sangihe, Jaringan Advokasi Tambang dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe menghadiri audiensi dengan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap gugatan warga Pulau Sangihe terkait Perbuatan Melawan Hukum yang sebelum teregister di Pengadilan Negeri Tahuna dengan Nomor Perkara 117/Pdt/G/2023/PN/Thn. Komisi Yudisial harus segera menindaklanjuti laporan pengaduan terhadap para majelis hakim pemeriksa selaku para Terlapor demi terciptanya keadilan bagi warga Pulau Sangihe yang sedang memperjuangkan hak atas kelestarian lingkungan dari daya rusak perusahaan tambang emas.
Sebelumnya, Menteri ESDM digugat oleh perwakilan warga masyarakat Pulau Sangihe di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan register perkara nomor 146/G/2021/PTUN.Jkt, terkait objek gugatan Izin Operasi Produksi Pertambangan Emas PT. TMS. Pada tingkat pertama di PTUN Jakarta gugatan tersebut dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O). Namun pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta sebagaimana Putusan Nomor 140/B/2022/PT.TUN-Jkt tanggal 30 Agustus 2022 yang pada pokoknya objek sengketa berupa Izin OP Pertambangan Emas PT. TMS ditunda pelaksanaannya dan gugatan dikabulkan seluruhnya. Pada tingkat Kasasi, permohonan PT. TMS ditolak oleh Mahkamah Agung sebagaimana putusan nomor 650 K/TUN/2022 tanggal 12 Januari 2023. Kemudian, dalam upaya Peninjauan Kembali PT. TMS juga ditolak Mahkamah Agung sebagaimana putusan nomor 15 PK/TUN/2024 tanggal 6 Mei 2024.
Selanjutnya setelah proses pengadilan yang telah ditempuh masyarakat menang dalam setiap tingkatan upaya hukum, terdapat fakta adanya yang mengaku sebagai wakil masyarakat sebanyak 4 (empat) orang terkena dampak ditunjuk dan diangkat oleh PT. TMS sebagai Pemrakarsa atau Penanggung Jawab dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal warga Pulau Sangihe yang terdampak aktivitas perusahaan tambang emas tidak pernah sama sekali menunjuk atau menguasakan kepada pihak manapun, mengingat seluruhnya warga Pulau Sangihe menolak adanya aktivitas pertambangan karena akan menimbulkan daya rusak lingkungan luar biasa. Oleh sebab itu, warga Pulau Sangihe yang diwakilkan oleh petani dan nelayan Pulau Sangihe kembali mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan ke PN Tahuna dengan register perkara nomor 117/Pdt.G/2023/PN.Thn.
Adapun tergugatnya terdiri atas 4 (empat) warga lokal yang mengaku-ngaku sebagai perwakilan warga, Menteri ESDM Republik Indonesia hingga Dinas Provinsi Sulawesi Utara. Bahwa gugatan didaftarkan tanggal 04 Oktober 2023, Putusan tanggal 19 September 2024, yang mengandung arti lamanya waktu perkara ini sampai dengan putusan adalah 11 bulan 2 minggu, jauh melampaui batas normal waktu 5 bulan sebuah perkara perdata di peradilan tingkat pertama. Padahal perkara tersebut bukanlah perkara yang substansi dan pembuktiannya rumit, apalagi 4 (empat) Tergugat (warga lokal) cukup aktif, bahkan Turut Tergugat bertindak seperti Tergugat sehingga sangat terkesan lamanya penundaan-penundaan sidang yang dilakukan telah melampaui lamanya waktu persidangan itu sendiri. Bahwa oleh karenanya secara terang dan nyata persidangan perkara tersebut telah mengesampingkan dan/atau melanggar Asas Berperkara Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan.
Dalam pertemuan tersebut turut hadir 3 pihak yaitu Andrie Yunus (Kepala Divisi Hukum KontraS), Mario (Jaringan Advokasi Tambang Nasional), dan Didi Koleangan (Perwakilan Warga Pulau Sangihe). Secara garis besar, pertemuan ini merupakan permohonan terhadap Komisi Yudisial agar ikut memantau mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.
Pada kesempatan tersebut, Andrie Yunus, Kepala Divisi Hukum KontraS, menyampaikan bahwa warga Pulau Sangihe yang didampingi Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe mengajukan pengaduan ke Komisi Yudisial. Koalisi turut menyoroti pentingnya keterlibatan KY dalam pengawasan ini, mengingat konflik ini telah menyebabkan pelanggaran HAM sejak 2021. “Kami meminta agar KY memantau langsung jalannya perkara yang akan dilaporkan karena hal ini bersifat publik yang menyangkut hak asasi manusia (HAM)” ujar Andrie. Aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe dinilai telah menggerus ruang hidup masyarakat, merusak lingkungan, dan menyebabkan bencana yang berdampak pada mayoritas warga yang berprofesi sebagai nelayan dan petani.
Selain itu, Mario, perwakilan dari Jaringan Advokasi Tambang Nasional, menjelaskan bahwa adanya pertambangan dengan aktivitas berlebih telah menggerus setengah dari ruang hidup masyarakat Pulau Sangihe. Komisi Yudisial dinilai memiliki peran penting dalam mengawasi tindak lanjut perjuangan warga Pulau Sangihe. “Isu ini telah melanggar HAM termasuk kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal yang merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Sangihe,” ujar Mario.
Seterusnya, Didi yang mewakili warga Pulau Sangihe, menyampaikan kekecewaannya terhadap sistem pengadilan yang tidak adil dalam menanggapi perkara ini. Masyarakat yang terdampak merasa dirugikan dalam mencari keadilan, mengingat masih adanya ketidakpuasan terkait sikap hakim dan pengadilan dalam perkara sebelumnya. Warga Pulau Sangihe berharap proses persidangan dengan gugatan baru dilakukan dengan lebih adil dan objektif, tanpa adanya campur tangan majelis hakim yang sama. “Kami hanya ingin keadilan dari majelis hakim, kami tidak minta untuk dibela,” ujar Pak Didi.
Selanjutnya, Pihak Komisi Yudisial melalui perwakilannya, Joko Sasmito selaku Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi menyampaikan bahwa pelaporan dugaan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim harus harus diperiksa terlebih dahulu, apakah sudah sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA). Jika persyaratan formal sudah terpenuhi, KY akan memulai proses laporan tersebut. “Jika aduan pelanggaran kode etik terbukti, maka akan ada tindak lanjut sesuai prosedur yang berlaku,” ujar Joko.
Tim Pengawasan Perilaku Hakim, yang diwakili oleh Suhaila dan Mukti, menambahkan bahwa proses pengaduan ini akan ditindaklanjuti guna memastikan bahwa majelis hakim sebagai para terlapor dapat diperiksa. Meski KY memerlukan waktu untuk mempelajari kasus ini lebih lanjut, mereka berkomitmen untuk memberikan yang terbaik. “Kami akan berupaya dalam mengawal proses hukum agar pihak yang terkait bisa mendapatkan keadilan,” ujar Mukti.
Dalam proses audiensi dan pengaduan ini, Koalisi Pulau Sangihe turut menyerahkan dokumen dan bukti pendukung dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang memeriksa perkara 117/Pdt.G/2023/PN.Thn. Setelahnya, pengaduan tersebut diregister oleh bagian pengaduan KY melalui nomor 0876/X/2024/P tanggal 14 Oktober 2024.
Tags
Admin
Without Bio