Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) meragukan adanya dukungan Pemerintah dan DPR atas penyelidikan projustisia Komnas HAM dalam kasus Munir, yang masih mengendap selama lebih dari 21 tahun.
Lebih jauh, di tengah absennya dukungan Pemerintah dan DPR, KASUM mensinyalir mulai adanya pihak-pihak yang mendeligitimasi dan mendiskreditkan pembukaan kembali kasus Munir. Menurut Kasum, mereka tidak memahami hakikat pelanggaran hak asasi manusia yang serius, sifat investigasinya, dan penuntutannya. Pembunuhan Munir bukanlah kejahatan biasa dan seharusnya tidak diperlakukan seperti itu oleh sistem peradilan.
Dari mulai dugaan adanya intervensi elite politik di DPR RI kepada pimpinan Komnas HAM agar lembaga nasional HAM tersebut tidak melanjutkan penyelidikan Kasus Munir hingga lontaran pernyataan publik Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Sumatra Utara (Pusham USU), Alwi Dahlan Ritonga, terkait Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pengusutan kasus Munir.
Kami juga mensinyalir adanya unsur internal Komnas HAM yang cenderung keberatan dengan kelanjutan penyelidikan projustisia kasus Munir. Hal ini berpotensi membuat kasus ini berujung tanpa hasil yang optimal bukan hanya akibat kendala politik eksternal tapi juga kendala rendahnya kemauan baik dari Komnas HAM sendiri.
Khusus yang terakhir, dalam pernyataan yang dimuat oleh Detik Sumut pada Selasa 25 November 2025 dengan judul artikel “Direktur Pusham USU Sebut Komnas HAM Salah Kaprah Soal Kasus Munir,” Alwi menuding Komnas HAM RI melakukan tiga “salah kaprah” dalam upaya membuka kembali kasus Munir. Klaim ini bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga berpotensi mengaburkan substansi perjuangan panjang melawan impunitas.
Lebih dari dua dekade setelah pembunuhan Munir pada September 2004, keluarga korban, masyarakat sipil, dan komunitas internasional masih menuntut pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan. Dalam konteks tersebut, kritik Alwi, yang menyebut Komnas HAM melakukan tiga “salah kaprah” perlu dibantah secara argumentatif dengan merujuk pada prinsip-prinsip HAM, UU nasional, serta standar hukum internasional.
1. Kekeliruan Memahami Ne Bis In Idem dan Konteks Kasus Munir
Alwi menyebut “salah kaprah” pertama Komnas HAM adalah pelanggaran asas ne bis in idem, merujuk Pasal 76 KUHP dan Pasal 14 ayat (7) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang melarang seseorang diadili dua kali untuk perkara yang sama. Menurutnya, membuka kembali kasus Munir setelah ada putusan inkrah terhadap Pollycarpus dan Indra Setiawan merupakan pelanggaran prinsip kepastian hukum dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Argumen ini mengandung kekeliruan logis dan hukum yang mendasar. Ne bis in idem hanya berlaku terhadap kejahatan biasa, bukan kejahatan luar biasa seperti pelanggaran berat HAM. Meskipun individu tertentu sudah pernah diadili, divonis hukuman atau divonis bebas, bukan berarti individu tersebut tidak bisa diadili kembali. Prinsip ini juga bukan terhadap keseluruhan aktor, peristiwa atau konstruksi kejahatan. Dalam kasus Munir, aktor utama yang diduga berada di balik perintah atau perencanaan pembunuhan belum pernah diadili sama sekali.
Pengadilan hanya menyentuh eksekutor lapangan dan pejabat maskapai, sementara dugaan keterlibatan aparat dan pengambil keputusan tidak pernah tersentuh oleh proses hukum.
Lebih jauh, kerangka nasional dan internasional secara tegas memberikan ruang, bahkan mewajibkan negara, untuk membuka kembali penyelidikan ketika terdapat indikasi pelanggaran berat HAM atau upaya sistematis menutup-nutupi kasus.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mewajibkan negara memastikan penyelidikan dan penuntutan efektif atas pelanggaran HAM serius, sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM membuka ruang bagi Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justicia ketika terdapat dugaan pelanggaran HAM berat. Tidak ada satu pasal pun yang menyebut bahwa ne bis in idem yang halangi penyelidikan pelanggaran berat HAM atau membatasi penyelidikan ulang terhadap pihak yang belum pernah diproses hukum.
Dalam hukum internasional, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) justru menegaskan negara wajib menginvestigasi pelanggaran HAM serius secara menyeluruh dan efektif, terlebih ketika terdapat dugaan impunitas atau miscarriage of justice. Prinsip right to truth, yang telah diperkuat oleh Komite HAM PBB dan Dewan HAM PBB, mewajibkan negara memastikan korban dan publik mengetahui kebenaran tentang pelanggaran HAM yang berat, termasuk siapa yang bertanggung jawab.
Karena itu, klaim Alwi bahwa Komnas HAM melanggar ne bis in idem bukan hanya tidak berdasar, tetapi mengabaikan esensi hukum HAM yang menekankan penyelidikan tuntas terhadap dalang utama pelanggaran. Komnas HAM justru menjalankan mandat konstitusionalnya, termasuk dengan memeriksa figur-figur kunci seperti mantan Deputi V BIN, Muchdi PR, yang sejauh ini belum pernah mendapat pemeriksaan menyeluruh dalam kerangka pelanggaran HAM yang berat.
2. Kekeliruan Memahami Unsur “Pelanggaran HAM yang Berat” dalam Kasus Munir
Kritik kedua Alwi adalah bahwa kasus Munir tidak memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan oleh UU Pengadilan HAM 26/2000 maupun Statuta Roma. Menurut Alwi, syarat terjadinya pelanggaran HAM berat adalah adanya serangan yang “meluas dan sistematis” terhadap penduduk sipil, yang biasanya dicontohkan melalui kasus-kasus seperti Rumah Geudong atau peristiwa kekerasan massal lainnya. Karena kasus Munir hanya melibatkan satu korban, ia menilai unsur tersebut tidak terpenuhi.
Pandangan ini terlalu sempit, ahistoris, dan tidak sejalan dengan perkembangan yurisprudensi internasional. Statuta Roma secara jelas menggunakan frasa “widespread or systematic”, yang berarti sifat serangan tersebut bersifat alternatif, bukan kumulatif. Kasus pembunuhan Munir memiliki indikasi memenuhi syarat sistematis yang artinya berdasarkan rencana atau kebijakan yang telah disusun sebelumnya. Terutama dalam kasus Munir, ada perencanaan yang terorganisir dan rencana yang metodis, serta penggunaan instrumen dan fasilitas negara dalam pembunuhannya. Dalam kasus Munir, sejumlah elemen kuat menunjukkan adanya keterlibatan aparat negara dan koordinasi tingkat tinggi: penggunaan pesawat komersial BUMN sebagai sarana eksekusi, keterlibatan pejabat maskapai, dugaan keterlibatan pejabat intelijen, hilangnya dokumen negara, lemahnya pelacakan keterangan saksi kunci, dan rangkaian tindakan menghalang-halangi investigasi.
Selain itu, konteks politik pembunuhan Munir tidak dapat dilepaskan dari aktivitasnya sebagai pembela HAM yang kritis terhadap institusi keamanan negara. Deklarasi PBB tentang Pembela HAM menegaskan bahwa pembunuhan terhadap pembela HAM merupakan pelanggaran serius yang mewajibkan investigasi independen dan berkelanjutan oleh negara. Dengan demikian, menempatkan kasus Munir dalam kategori pembunuhan biasa justru mengabaikan konteks struktural dan politik yang menyertainya.
Argumen Alwi ini tidak hanya salah secara normatif, tetapi berpotensi menormalisasi impunitas terhadap kejahatan politik yang dilakukan terhadap pembela HAM.
3. Kekeliruan Menyimpulkan “Ketidakindependenan” Komnas HAM
Alwi juga menyebut “salah kaprah” ketiga terkait dugaan ke tidak-independen-an Komnas HAM, merujuk pemberitaan Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, yang menyatakan siap mundur jika penyelidikan kasus Munir tidak tuntas. Menurut Alwi, pernyataan tersebut menunjukkan kegamangan psikologis yang bisa mengganggu objektivitas penyelidikan.
Argumen ini sangat lemah secara metodologis. Pertama, independensi Komnas HAM bersifat struktural, dijamin melalui UU No. 39 Tahun 1999 dan Prinsip-Prinsip Paris (Paris Principles), yang menjadi standar internasional lembaga HAM. Independensi institusi tidak semata-mata ditentukan oleh pernyataan ketua atau pengurusnya di media massa, melainkan oleh mekanisme internal lembaga, sistem pengambilan keputusan kolektif, standar verifikasi fakta, serta kerangka akuntabilitas publik.
Pernyataan Ketua Komnas HAM seharusnya dilihat sebagai urgensi penuntasan kasus dan tidak bisa dijadikan dasar menilai kualitas penyelidikan. Pada akhirnya, penyelidikan Komnas HAM akan diuji melalui proses hukum berikutnya, termasuk di Kejaksaan Agung dan di pengadilan, bukan hanya melalui analisis yang spekulatif.
Maka menggunakan komentar pribadi ketua Komnas HAM sebagai framing untuk mendelegitimasi penyelidikan merupakan argumen ad hominem yang tidak relevan di tengah upaya Komnas HAM dalam mengusut kasus Munir.
Dari pandangan-pandangan itulah KASUM menegaskan bahwa:
Komnas HAM RI bertindak sesuai mandat hukum ketika membuka kembali kasus Munir sebagai dugaan pelanggaran HAM yang berat.
Kritik yang melemahkan upaya penyelidikan justru bertentangan dengan prinsip HAM dan kewajiban negara untuk menjamin kebenaran dan keadilan.
Pemerintah harus membuka dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir secara penuh, menghentikan segala bentuk delegitimasi terhadap Komnas HAM, dan memastikan dukungan institusional untuk penyelidikan lanjutan.
Dua puluh satu tahun telah berlalu sejak Munir dibunuh. Keadilan tidak boleh dikaburkan oleh opini yang menyesatkan atau retorika yang tidak berdasar hukum. Negara memiliki kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar, harus tuntaskan kasus Munir ini hingga seluruh aktor, termasuk aktor negara, dipertanggungjawabkan secara hukum.
Jakarta, 8 Desember 2025
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)
Usman Hamid (Ketua)
Bivitri Susanti (Sekretaris Jenderal)
Ketua
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
