Pada 30 Mei 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan acara diskusi publik dengan tema “Jalan Buntu Penuntasan Penghilangan Paksa di Indonesia.” Kegiatan ini merupakan diskusi publik kedua yang diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian acara dari Pameran Seni bertema “Dukade” sebagai sebuah perwujudan dalam memperingati momentum MeiLawan 2024, sebuah kampanye untuk gerakan menolak lupa terhadap peristiwa kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bulan Mei. Terdapat sejumlah peristiwa penting yang harus terus diingat yakni Simpang KKA 1999, pembunuhan Marsinah, tragedi Mei 1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Jambo Keupok 2003, Reformasi 1998, dan Pekan Penghilangan Orang secara Paksa. Sementara itu, di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana demokrasi dan amanat Reformasi telah dirusak dan dikhianati serta perlahan sejarah peristiwa-peristiwa diputihkan dan disangkal.
Diskusi publik ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Paian Siahaan (ayah dari Ucok Munandar Siahaan, korban Penghilangan Paksa 1997-1998), Saras Dewi (Akademisi UI), dan Tioria Pretty (Wakil Koordinator KontraS). Topik dari diskusi ini, secara spesifik, diambil untuk memperingati Pekan Penghilangan Orang secara Paksa yang secara internasional diperingati setiap 26-31 Mei. Penghilangan Paksa sendiri di Indonesia terjadi dalam sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Dalam diskusi ini, peristiwa Penghilangan Paksa 1997-1998 dibahas secara spesifik karena kentalnya upaya politisasi dan penghilangan ingatan mengenai peristiwa ini di era kontemporer oleh pemegang status quo kekuasaan di negara ini.
Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, salah satu dari 13 orang korban Penghilangan Paksa 1997-1998 yang sampai saat ini masih dinyatakan hilang, menyampaikan bahwa keluarga korban tidak pernah mendapatkan keadilan sampai saat ini. Meskipun telah berupaya berkali-kali menghadapi pemerintah, keluarga korban merasa dipermainkan karena tidak pernah ada penuntasan kasus dengan adil. Alih-alih menyelesaikan kasus Penghilangan Paksa 1997-1998, Presiden Joko Widodo malah mengangkat Prabowo Subianto, yang merupakan terduga pelaku, sebagai Menteri Pertahanan dan memberikannya pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan Bintang 4. Bagi Paian, hal tersebut sangat melukai hati keluarga korban. “Kami tidak lagi dianggap sebagai manusia yang dihargai hak asasi manusianya,” ujar Paian.
Saras Dewi, yang merupakan seorang akademisi di Universitas Indonesia, menggarisbawahi dua hal dari fenomena Pemilihan Umum 2024 silam, yaitu impunitas dan pertarungan untuk mempertahankan ingatan. Saras menjelaskan bahwa impunitas adalah suatu kekebalan dari diri seseorang karena posisi kuasanya. Impunitas inilah yang kemudian memungkinkan seorang terduga pelaku kejahatan HAM untuk menjadi Calon Presiden dalam Pemilihan Umum, bahkan berhasil memenangkannya. Impunitas kemudian juga berinteraksi dengan pertarungan dalam mempertahankan ingatan publik mengenai kejadian kelam HAM di Indonesia, khususnya Penghilangan Paksa 1997-1998. Menurut Saras, dalam konteks Pemilihan Umum 2024, terdapat suatu praktik komunikasi politik yang berlandaskan gimmick dan ahistoris, yakni berupaya untuk menghapuskan sejarah Indonesia. “Dan hal ini harus kita lawan, harus kita bicarakan setiap hari, setiap menit, setiap detik,” tekan Saras.
Tioria Pretty menarik kembali ingatan kita pada janji Nawacita dari Presiden Joko Widodo saat berkampanye untuk Pemilihan Umum, yang menegaskan janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Akan tetapi, pada kenyataannya, semua hal tersebut hanyalah janji manis yang dilontarkan kepada konstituen, alih-alih sebuah bentuk kepedulian nyata terhadap korban dan keluarga korban. Kemudian, terkait dengan proses hukum kasus Penghilangan Paksa 1997-1998, Pretty menyoroti alasan Kejaksaan Agung yang konyol dan mengada-ada. Kejaksaan Agung menolak untuk melanjutkan proses hukum ke tahap penyidikan dengan alasan bahwa Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus ini belum dibentuk. “Sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM ad hoc baru bisa dibentuk setelah ada hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung,” tutur Pretty.
Dari kegiatan diskusi publik ini, semua narasumber menggarisbawahi keengganan politik yang disengaja oleh pemerintah untuk tidak menuntaskan kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Kini, keengganan politik tersebut diperparah dengan praktik nepotisme dan manipulasi konstitusi yang memberikan karpet merah bagi Prabowo Subianto, terduga pelaku dalam Penghilangan Paksa 1997-1998, sebagai penguasa negeri ini berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo, sebagai anak kandung dari Reformasi, kini telah melakukan pengkhianatan terhadap Reformasi itu sendiri.
Jakarta, 2 Juni 2024
Badan Pekerja KontraS
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan